Apa Jadinya Aku dan Kamu tanpa Baginda Rasul?

Oleh: Muhammad Syukran*
Pinterest.co.uk

Dari hati yang paling dalam, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan-Nya. Kalimat tauhid ini berada di urutan pertama tanda syarat sahnya rukun Islam. Tak akan berarti seseorang yang beribadah pagi dan malam tanpa kalimat ini di hatinya. Islam adalah cinta. Berdosa seorang hamba dan sebilah pisau yang menebas leher seorang pemeluk agama cinta itu tanpa salah. Serangkaian ibadah bagi tiap pemeluknya adalah bentuk taat berbalut cinta kepada Sang Pencipta, Allah ‘azza wa jalla

Jauh sebelum Islam berlayar ke seluruh penjuru hingga berlabuh di hati semua makhluk, ada sejarah yang tak pernah terlupakan. Ada syuhada berdarah yang terus dikenang. Ada jutaan lembar buku sejarah dan sirah dikarang, ada syair dan madah yang senantiasa dilantunkan. Semua itu semata-mata untuk junjungan alam, Abul Qasim Sayyidul Kaunain. Shalawat serta salam kepadanya, Baginda Muhammad ﷺ selalu tercurah. 

Hari itu, Senin 12 Rabi'ul Awal dimana kehamilan Sayyidah Aminah memasuki bulan ke-9. Malam itu langit begitu cerah tak ada mendung yang menyelimuti. Sayyidah Aminah yang sedang sendiri di rumahnya terkejut melihat tiang-tiang rumah terbelah. Detik berikutnya Allah perintahkan Malaikat Ridhwan, malaikat penjaga surga untuk meminta seluruh bidadari berdandan cantik demi menyambut kedatangan sang baginda. Allah perintahkan Malaikat Jibril melalui firman-Nya: “Hai Jibril, turunlah ke bumi dengan seluruh malaikat perintahkan mereka berbaris rapi demi mengagungkan Rasulullah ﷺ. Hai Jibril, berilah kabar ke seluruh penjuru langit dan bumi sesungguhnya telah tiba saatnya kedatangan nabi akhir zaman, kekasih Allah, Muhammad ﷺ". Saat itulah, lahir Nabi agung akhir zaman, kekasih Allah Swt. yang sempurna, Rasulullah Muhammad ﷺ. 

Setiap hari bersejarah bermula pasti ada pula peristiwa besar yang turut memeriahkan. Pada 12 Rabi’ul Awal menjadi titimangsa yang paling dinanti oleh seluruh penduduk langit dan bumi. Sebagai bentuk kegembiraan atas hadirnya sosok panutan alam, tak heran pula jika beberapa kejadian langka dan mengagumkan turut mendahului dan mengiringi kelahirannya. Seperti yang terjadi pada tahun 571 M, tentara Abrahah yang hendak menyerang Ka’bah hancur diserang kawanan burung Ababil, itu terjadi di tahun kelahiran Baginda ﷺ. Pada malam kelahirannya pula istana Kisra berguncang hingga 14 ruangannya runtuh. Api sembahan kaum Majusi di Persia yang telah hidup ribuan tahun lamanya pun padam. Langit pun ditutup sehingga para jin tak bisa mencuri kabar apapun darinya. Begitupula kejadian lain yang dialami orang terdekat dan sekeliling Mekah. 

Mekah adalah tempat pilihan terbaik yang pernah ada, dibanding bagian belahan lain. Semenanjung Arab adalah pilihan yang sangat tepat. Di saat itu terdapat dua bangsa besar pusat peradaban, Persia dan Romawi. Di sisi lain ada Yunani dan India. Kala itu Persia menjadi tempat perdebatan berbagai pandang agama dan filsafat. Seperti yang diketahui bersama bahwa di sana terdapat aliran Zoroaster yang dianut para penguasa. Salah satu ajarannya adalah menganjurkan setiap laki-laki untuk menikahi ibu, anak perempuan, atau saudara perempuannya. Bahkan, Raja Yazdajird II yang berkuasa pada pertengahan abad ke-5 Masehi menikahi putri kandungnya sendiri. Ajaran aneh ini hanya salah satu dari sekian banyak ajaran agama Zoroaster yang benar-benar menyimpang dari akal sehat. Akan tetapi, tentu bukan disini tempatnya untuk membeberkan semua itu.
 
Medium.com
Selain itu, di Persia juga terdapat kepercayaan Mazdakiyah. Menurut Imam Asy-Syahristani, agama ini setali tiga uang dengan Zoroaster, sama anehnya. Salah satu ajarannya adalah menghalalkan semua wanita dan harta yang ada di dunia ini. Dalam pandangan mereka, manusia adalah milik bersama, sebagaimana air, api dan harta. Agama sesat ini mendapatkan banyak pengikut dari kalangan sesat yang gemar menuruti dan mengumbar hawa nafsu.[1] 

Sementara itu, imperialisme Romawi mencengkram kuat. Kerajaan besar ini terlibat konflik berkepanjangan dengan Syria dan Mesir. Berbekal kekuatan militer yang mereka miliki, Romawi mengobarkan semangat imperialisme ke penjuru dunia. Salah satu misinya adalah menyebarkan ajaran kristen yang telah dimodifikasi sesuai keinginan mereka. 

Sebagaimana Persia, Romawi juga pernah “sakit keras”. Pada saat itu, hampir seluruh wilayah Romawi dilanda kesulitan. Ketimpangan ekonomi muncul dalam bentuk penindasan dan pajak yang mencekik banyak rakyat. Adapun Yunani kala itu masih tenggelam dalam kubangan takhayul dan metologi teologis yang menjebak penduduknya dalam debat kusir yang tidak bermanfaat. 

Sementara itu, tentang India dinyatakan Prof. Abu Hasan An-Nadwi sebagai berikut. Semua penulis sejarah India sepakat menyatakan, sejak paruh awal abad ke-6 Masehi India mengalami kemunduran luar biasa dalam bidang agama, akhlak, dan sosial. Bersama negara-negara tetangganya, India terperosok ke dalam dekadensi moral dan patologi sosial kemasyarakatan.[2] 

Jadi, kita harus mengerti, yang banyak menjatuhkan bangsa dan negara ke jurang kehancuran adalah peradaban dan tamadun yang dibangun atas dasar nilai-nilai materialistik, tidak disertai model ide luhur yang dapat menuntun ke jalan yang lurus dan benar. Di tengah hiruk pikuk itu, semenanjung Arab pada masa itu adalah kawasan yang tenang karena terhindar dari semua bentuk kekacauan yang menyebar di sekitarnya. Penduduk Arab kala itu tidak mengenyam kemewahan dan peradaban menjulang, seperti yang diraih Persia dan menjadikan mereka terperosok ke dalam kehancuran. 
Instagram @emad
Selain itu, mereka juga tidak disibukkan dengan berbagai bentuk paham amoral yang menghancurkan akhlak. Bangsa Arab kala itu tidak memiliki kepongahan seperti militerRomawi yang membuat mereka tidak berhenti mencaplok wilayah-wilayah di sekitarnya. Mereka juga tidak memiliki kekayaan filsafat-dialektika seperti bangsa Yunani yang mengubah mereka menjadi bangsa yang dikuasai takhayul dan mitos. 

Pada saat itu, Arab tak ubahnya bahan baku yang belum diolah dan diubah bentuk. Di tengah masyarakat yang masih murni inilah, fitrah kemanusiaan tetap terjaga. Nilai-nilai luhur, seperti kejujuran, kehormatan, suka menolong, dan menjaga harga diri mewarnai kehidupan masyarakatnya. Namun sayang, mereka belum mendapat pelita yang dapat menerangi jalan untuk mencapai keluhuran. Mereka hidup di tengah gelapnya kejahiliahan. Karena ketidaktahuan itulah, akhirnya mereka banyak yang tersesat. Mereka tega membunuh anak-anak perempuan dengan dalih menjaga kehormatan. Mereka rela mengeluarkan harta secara berlebihan demi mengejar kemuliaan. Mereka juga tak segan untuk saling membunuh satu sama lain demi menjaga harga diri. 

Kondisi seperti inilah yang digambarkan Allah Swt. dalam firman-Nya,”…dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat,” (Q.S. Al-Baqarah: 198). 

Ayat ini lebih merupakan petunjuk bahwa bangsa Arab rupanya lebih dapat “dimaafkan” dibandingkan bangsa lain kala itu, bukan untuk menunjukkan kebodohan atau penghinaan terhadap mereka. Alasannya, bangsa lain tenggelam dalam kemerosotan moral, padahal mereka di tengah obor peradaban dan tamadun yang terang-benderang. Kelebihan yang mereka miliki justru memerosokkan mereka ke dalam jurang kerusakan. Sementara itu, secara geografis, Semenanjung Arab terletak tepat diantara semua bangsa yang tengah bergejolak. 

Prof. Muhammad Al-Mubarak menyatakan, siapa pun yang melihat Semenanjung Arab pasti akan melihat bahwa wilayah ini memang terletak tepat di tengah-tengah dua peradaban besar: peradaban Barat materialis yang menciptakan potret manusia dalam bentuk yang sama sekali tidak sesuai dengan kebenaran dan peradaban spiritual-khayali yang berpusat di Timur, seperti India dan Cina.[3] Oleh karena itu semua, kali ini kita sepakat Semenanjung Arab menjadi pilihan yang sangat tepat. 

Begitulah Sang Pencipta memilih tempat yang layak untuk agama cinta ini lahir dan berkembang. Setelah memilih sosok untuk ditempati ruh cinta itu, lalu dipilihlah daerah tinggal yang layak untuk cinta itu disemai. Hingga suatu hari orang berbondong-bondong berziarah lalu beribadah cinta pada kekasih. 

Jika boleh berkata, yang miris akhir-akhir ini adalah pembunuh para pecinta. Menisbahkan diri sebagai pengikut setia, tapi menghardik mereka yang mencintai Baginda. Telah hilang cinta dari dalam diri mereka. Merenggut setiap cinta yang telah lama dijaga. Hingga darah bertabur dan nyawa hilang di mana-mana. Adakah yang lebih sadis darimu wahai yang juga mengaku pecinta. Sedang aku tak pernah melihatmu ikut membacakan madah dan shalawat untuknya. Merayakan kelahirannya dengan segenap cinta seperti yang lain. Kalau begitu akan kuceritakan sedikit kisah pecinta sejati untuk kamu dengarkan sejenak. 

Sayyiduna Abdurrahman bin ‘Auf ra. bercerita: “Suatu hari aku mengikuti baginda Nabi. Kulihat beliau memasuki kebun kurma. Tiba-tiba beliau sujud. Aku pun menunggu sujudnya yang lama sehingga aku khawatir beliau telah meninggal. Maka, aku menatapnya lekat-lekat. Beliau langsung mengangkat kepala. ‘Ada apa Abdurrahman?’ ‘Wahai Rasulullah, engkau letakkan kepalamu disini lama sekali, aku khawatir engkau telah meninggal.’ Bahkan aku berkata dalam hati, ‘Aku tak akan berjumpa lagi dengan Rasulullah.’ Beliau ﷺ menjawab, ‘Tadi ada utusan Allah mendatangiku. Ia berkata, 'Wahai Muhammad maukah engkau kuberitahu sebuah kabar gembira? Allah berkata: Siapa bershalawat untukmu satu kali, maka Allah bershalawat untuknya sepuluh kali.” 

Baginda Nabi ﷺ bersujud dan meratakan dahinya yang mulia dengan tanah. Mengapa beliau melakukan itu? Mengapa beliau segembira itu? Gembira bukan karena beliau dikirimi shalawat. Beliau bergembira karena balasan yang Allah berikan. Beliau gembira dengan shalawat yang Allah curahkan kepada kita. Ibnu Athaillah mengomentari hadis ini dengan ulasan yang menggetarkan hati: “Seandainya sepanjang hidup engkau melakukan amal ketaatan, lalu Allah memberimu satu shalawat saja, tentu shalawat itu lebih berat dari pada semua amalmu selama hidup. Sebab, engkau bershalawat sesuai dengan kapasitas kemampuanmu, sementara Allah bershalawat sesuai dengan sifat ketuhanannya-Nya. Ini baru satu shalawat. Lalu, bagaimana jika Allah bershalawat untukmu sebanyak 10 kali atas setiap satu kali shalawatmu atas Rasulullah ﷺ? 

“Andai kamu tidur tanpa punya cita-cita untuk berjumpa Baginda Nabi ﷺ dalam mimpimu, niscaya sia-sia saja tidurmu itu.” Habib Ali Jufri. 

“Tatkala Muhammad sang petunjuk lahir, semesta raya bermandi cahaya dan wajah zaman tersenyum penuh bahagia,” seorang Ahmad Syauqi saat merindukan Rasulullah lantas ia senandungkan bait syair indah. “Burung-burung berkicau teramat bahagia di malam kelahiran Baginda Nabi, dan kilatan cahaya terpancar dari Ahmad junjungan kami. Meski telah kupuji engkau dengan segala pujian, Rasul sungguh, engkau melebihi segala bentuk puji dan penjelasan,” Pujian seorang nasrani asal Suriah (Jacques Sabri Shammas) untuk Rasulullah ﷺ. 

“Baginda Nabi itu penuh belas kasihnya lil jami’ (pada semua), bukan pada manusia saja, kalian harus ingat itu. Karena kalian pewaris para Nabi, jadi kalian perhatikan ini.” Ujar Sayyidi Syekh Abdullah Izzuddin ketika menjelaskan tentang syafaqah wa rahmah Sayyidina Rasul

“Bulan Rabiul Awal itu bulan cahaya, bulan di mana cahaya semestanya lahir, isilah dia dengan mengenal Rasulullah lebih dekat lagi dengan cara membaca sirah-sirahnya, hadis atau bershalawat padanya,” pesan Sidi Syekh Jamal Faruq. 

Semua makhluk itu berlomba dalam mencintai Nabi, yang berakal maupun yang tidak berakal. Sayyidina Umar ketika berjalan dengan Nabi, kadang di samping kanan atau kiri, kadang di depan Nabi. Ketika Baginda Nabi menanyainya, mengapa kamu begitu? Sayyidina Umar menjawab; Aku takut musuh datang menghampirimu, karena kematianmu adalah petaka dan kematian umat. 

Ketika Baginda berjalan di gunung Uhud, gunung Uhud bergoyang, saking senangnya diinjak oleh Baginda, ketika Baginda hampir jatuh, dia baru berhenti. 

Sayyidina Tsauban badannya sampai kuning, karena sibuk memikirkan, beliau akan dimasukkan kedalam surga yang ada Rasulullah atau tidak. Karena tiada nikmatnya surga kalau tak ada Rasulullah di dalamnya. 

Para Sahabat ketika membuatkan Baginda mimbar baru untuk khutbah, pohon kurma yang sudah kering menangis sejadi-jadinya karena rindu Rasulullah tidak khutbah di sana lagi, kalau saja Baginda tidak mengusap dan menenangkannya, mungkin dia akan menangis sampai hari kiamat. 
Instagram @everydaycairo

Sayyidina Tsabit bin Qais ketika turun ayat: “...Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi,” (Q.S. Al-Hujurat: 2). Beliau takut ke majelis Rasulullah, karena kalau beliau berbicara, suara beliau pasti keras, dan beliau bisa masuk neraka karena itu. Ketika Baginda menyadari ketidakhadiran Sayyidina Tsabit, Baginda menanyakannya kepada sahabat yang lain. Mereka menjawab: Dia takut wahai Rasul, sebab suaranya lebih besar dari suaramu. Hingga kemudian Rasulullah berkata: “Akan tetapi dia bagian dari penduduk surga dan juga para sahabat yang lain.” 

Rasulullah ﷺ memeluk Sayyidina Bilal ra. dari belakang dan bertanya: “Tahukah engkau siapa aku?” Bilal berkata: “Abu Bakar? Umar atau Ali?” “Tidak Tahukah engkau siapa aku ya Bilal?” “Tentu saja aku tahu, Ya Rasulullah. Aku sengaja tidak menebak secara benar sehingga punya waktu lebih lama merasakan pelukan engkau.” 

Banyak kenangan indah yang membuat Bilal pergi menjauhi Madinah ketika Nabi ﷺ dipanggil Allah Swt. Bayangan Rasulullah dan para sahabat tercinta hadir dan membuatnya selalu rindu. Andai kita mengerti betapa sengsaranya menahan rindu kehilangan Kekasih, kita akan tersiksa sepanjang siang, segelap malam. Puluhan tahun kemudian, Sayyidina Bilal ra. nyaris tak sanggup menanggung rindu, siang malam dia memanggil: “Ya Rasulullah Muhammad ﷺ..” Hingga datang waktu yang dinanti, saat menjelang ajal tiba, Sayyiduna Bilal ra. Berteriak: “Ya Farhataa (Duhai sungguh hari terindah)!” 

Demikianlah cinta mereka pada Kekasih, akankah dengan semua ini kita akan bersama. Jangan-jangan selama ini memang benar seperti dakwaan, kamu tidak benar-benar cinta. Hanya tipu muslihat, mengajak umat mengikuti nabi tanpa menumbuhkan rasa cinta dalam hati saat bertindak. Ini begitu memilukan dan memalukan, lebih baik jangan sebut diri seorang pecinta jika tak ada cinta dalam hatimu. Betapapun cintanya dirimu padaku semua ini adalah dusta, kamu tak pernah mencintaiku. Jika memang benar, aku sudah melihat cintamu tulus pada Kekasihku Muhammad ﷺ. Lau laa ka ya Muhammad lamma khuliqatil aflak

Seperti halnya aku dan kamu, sejoli yang memiliki kesamaan di sisi yang sama. Mari nafikan segala perbedaan yang ada, karena dengannya kita akan akur dan saling mencintai. Kita adalah milik(khadim)nya Rasulullah, menumbuhkan cinta dan kerinduan kepada beliau merupakan suatu kewajiban dalam setiap tarikan nafas kita. Jika kamu masih bersikeras, satu hal yang harus diingat bahwa tanpa sang Kekasih kita tak akan pernah bertemu wahai cintaku. Apa jadinya aku dan kamu tanpa sang Kekasih, Baginda Muhammad ﷺ. 




*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo.

Editor: Muhammad Nafis Akhtiar, Lc.


[1]Lihat Al-Milal wa An-Nihal, karya Imam Asy-Syahristani, 2/86-87. 
[2]Mâdzâ Khasira Al-'Âlam bi Inhithâ Al-Muslimîn, h.28. 
[3]Al-Ummah Al-'Arabiyyah fi Ma'rakah Taḥqîq Al-Dzât, h.147.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top