Menghadirkan Sosok Nabi Muhammad di Tengah Paceklik Identitas

Oleh: Ali Akbar Alfata *

(Sumber: Tirto.id)

Seorang manusia mengalami berbagai fase dalam menjalani kehidupannya. Setiap perpindahan dari satu fase ke fase lainnya selalu terjadi pergolakan yang menimbulkan berbagai spelukasi tentang kehidupan. Pertanyaan tentang esensi diri, tujuan, serta ke arah mana hidup berjalan. 

Pergolakan tersebut semakin dalam di era modern saat ini. Berbagai permasalahan selalu tampak lebih kompleks, sehingga anak muda yang notabene tumbuh di era ini memilki pergumulan batin yang lebih besar. Namun, huru-hara dalam diri memang tak selalu menemui jalan yang manis. Adakalanya huru-hara ini bermuara menuju krisis identitas, baik itu dari segi agama, kebangsaan, moral, dan lain sebagainya. 

Anak muda menjadi momok perubahan zaman, hal ini diyakini karena memang pemuda memilki karakteristik labil. Perpindahan fase yang disebutkan tadi terjadi dalam waktu yang berdekatan, serta kehausan mencari hakikat diri yang menggebu-gebu. Krisis ini tidak lepas pula terjadi pada pemuda-pemuda muslim. Mereka dalam pencarian jati dirinya selalu menginginkan jawaban tentang kebenaran, sehingga agama menjadi objek pencarian kebenaran tersebut. Tentu saja, Islam punya jawaban atas berbagai hal dalam hidup. Namun, yang menjadi permasalahan adalah Islam seperti apa yang sampai kepada mereka. 

Di sinilah permasalahannya dimulai ketika orang berbondong-bondong untuk menjadi jawaban akan permasalahan ini, serta mengajukan diri mereka untuk menjadi representasi dari Islam itu sendiri, tanpa memikirkan standar-standar yang harus dimiliki. Akhirnya, dalil-dalil agama dijarah dan diperlakukan tak semestinya. Semuanya ditunggangi sebuah tujuan lain dengan label surga. 

Para pemuda yang labil dan belum terlalu mengerti secara mendalam malah terjebak dalam pemahaman Islam yang demikian, dan jatuh terpleset di gorong krisis identitas keislamannya. Akhirnya, Islam yang dipahami pihak luar adalah Islam yang dalil-dalilnya telah dijarah tersebut. Pemahaman seperti ini nantinya menjelma menjadi radikalisme yang dicap sebagai teroris oleh pihak yang memang ingin memanfaatkan keadaan ini. Islam di satu sisi tampil sebagai pihak yang meninggikan perdamian, di sisi lain, identitas keislaman kita telah direnggut oleh orang-orang tak bertanggung jawab, hingga kita tidak mengerti ingin mengatakan diri kita bagian dari apa dalam agama ini. 

Di sisi lain pula, pemuda muslim yang mengalami krisis identitas berbelok dari prinsip-prinsip yang dibangun dalam tubuh Islam. Mereka keluar mencari kebenaran serta mencoba berbagai hal dalam hidup. Hedonisme yang tak mengenal tepi menjadi agama baru dan nilai-nilai kemanusiaan mulai terkikis karena sibuk memberi minum jiwa yang dalam lubuk hati terdalam menginginkan jawaban dalam kehidupan. 

Kenyataannya yang masyarakat lakukan adalah mendikte. Krisis identitas yang selayaknya disikapi dengan kepala dingin malah ditampar dengan embel neraka, azab, dan hukuman Tuhan. Kita mengeluhkan anak muda tak bermoral, lalai dengan game, terlalu banyak bersenang-senang, dan lain sebagainya. Kita men-judge mereka sebagai orang yang bersalah, dan memerintahkan mereka untuk meninggalkan semua hal itu. 

Kemudian, apa solusinya? tidak ada. Kita tidak pernah memberikan sesuatu untuk menggantikan kesenangan yang mereka alami. Kebutuhan jiwa mereka adalah jawaban, bukan amarah dan kebencian. Ketimbang mengatakan “jangan lari” lebih baik katakan “berhenti”. Komunikasi dengan anak muda itu memang sebuah keharusan apabila kita ingin menyampaikan pemahaman Islam secara sehat. 

Lantas, apa yang dapat menggantikan kesenangan-kesenangan itu? Atau siapa?. Dalam hiruk pikuk paceklik identitas, sudah selayaknya sosok Nabi Muhammad Saw. lah yang bisa menjadi jawaban menghadapi krisis ini dan hadir sebagai figur sempurna di kalangan pemuda muslim. 

Dari sisi hubungan sosial Rasulullah Saw. sangat dicintai orang-orang di sekitarnya, baik itu muslim maupun non-muslim, sehingga akan membuat hubungan sosial kawula muda muslim ini membaik dengan meneladani akhlak-akhlak mulia tersebut. Kesederhanaan pun terdapat pada Rasulullah Saw, kendati pun beliau seorang Nabi, pedagang, serta pemimpin politik. Namun, beliau hidup secukupnya. Berbagai sifat hedonisme akan sedikit demi sedikit hilang dengan berpegang teguh pada keteladanan tersebut. Dan berbagai hal lain dari akhlak-akhlak Nabi Saw. yang mampu menekan bahkan menghilangkan angka pemuda dan pemudi muslim yang mengalami krisis identitas. 

Setelah menemukan solusi, barulah kita menentukan metode yang akan digunakan untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, sosial, serta kesederhanaan ini pada para pemuda. Tentu saja, dunia pendidikan memilki andil besar untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Memang tidak mudah, karena ini merupakan program jangka panjang, sehingga harus memilki kekuatan fundamental. 

(Sumber: Pinterest)

Hal pertama yang harus dilakukan adalah memperkenalkan Rasulullah Saw. sesuai dengan cita-cita kita tadi. Di indonesia, pengenalan Nabi selalu identik dengan peperangan melawan kafir Quraisy, sehingga menimbulkan kesan bahwa agama ini disebarkan dengan hunusan pedang. Nabi juga diperkenalkan sebagai seorang yang memilki istri banyak, sehingga timbul kesan bahwa Islam mencabut nilai-nilai keadilan bagi perempuan. Padahal semuanya memiliki hikmah tersendiri. Dan berbagai bentuk pengenalan Nabi yang malah membuat sosok Nabi tidak menjadi panutan bagi remaja muslim. 

Hal ini nyata terjadi, kurikulum negara kita selalu memperkenalkan Nabi dengan cara demikian. Ketika tingkat dasar yang dihafalkan adalah peperangan Nabi, jumlah pasukan, dan sebagainya. Sementara nilai-nilai akhlak hanya lewat sebagai teori yang dinilai mudah oleh pengajar, hingga murid pun demikian. 

Rasa cinta kepada Nabi adalah jawaban. Karena sering kali keteladanan selalu hadir setelah rasa cinta. Kecintaan tertinggi pada Rasulullah Saw. adalah meneladaninya. Namun, kecintaan tersebut tidak hadir tanpa pengenalan Rasulullah Saw. yang baik dan benar. Memperkenalkan Nabi dengan moral, sosial, serta kesederhanaan sebagai proritas utama. 

Adapun pengenalan Nabi Saw. baik dari sisi peperangan, hijrah, dan lain sebagainya tentu tetap diperlukan karena itu merupakan sirahnya yang memang selayaknya diketahui setiap muslim, pengenalan hal ini harus dibarengi dengan nilai-nilai moralitas yang kita sebutkan tadi. Pengenalan Nabi Muhammad Saw. yang baik akan menambah rasa cinta kepada beliau. Rasa cinta itu akan menumbuhkan benih-benih keinginan untuk meneladani Rasulullah Saw. Keteladanan tersebut akan menambah hal-hal baik di setiap pergaulan anak-anak muda. Kebaikan itulah yang akan menekan angka krisis identitas tersebut. 

Walhasil, setiap pemuda dan pemudi yang muslim bangga dengan identitas keislamannya serta meresapi luar dan dalam ketika menjalankan agama. Agama tidak lagi terpisah di sudut yang gelap dalam hati, seorang muslim adalah Islam itu sendiri, hingga setiap muslim dapat merepresentasikan Islam itu di bidangnya masing-masing. Kecintaan pada Allah dan Rasul hadir di dalam hati. 

Jalan yang akan ditempuh tidak mudah. Namun, semoga dengan mengetahui permasalahan, solusi, serta cara solusi itu dibagikan akan dapat diterapkan di ruang-ruang yang lebih kecil terlebih dahulu. Seiring berjalannya waktu skalanya akan lebih besar lagi. Amin. 


* Penulis adalah mahasiswa tingkat tiga Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah dan Filsafat Universitas Al Azhar Kairo

Editor: Annas Muttaqin


Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top