Memetik Keteladanan Dari Imam Ash-Shawi; Murid Kesayangan Imam Ad-Dardir

Oleh: Muhammad Syukran*



Imam Ash-Shawi lahir pada tahun 1175 H di sebuah desa di tepi sungai Nil arah Barat wilayah Mesir, bernama Shan al-Hajar. Dulu orang-orang Yunani menyebut daerah itu dengan nama Sais, daerah tersebut berdekatan dengan Provinsi Basioun dan daerah yang lainnya. Adapun al-Hulaifiy dinisbahkan kepada salah satu miqat di Madinah yaitu Dzul Hulaifah, dikatakan bahwa leluhur beliau berasal dari sana sebelum hijrah ke Mesir. 

Beliau adalah imam al-allamah, qudwatus salikin, murabbi al-muridin, Syihabuddin Abu Al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Asy-Syarif Al-Hanafi Al-Hulaifi Ash-Shawi Al-Maliki Al-Khalwati. Al-Hanafi nisbah kepada Muhammad Al-Hanafiyah. Nasabnya tersambung kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib كرم الله وجهه

Ayahnya dikenal budi pekertinya, wara’, tekun beribadah, dan taat kepada Allah, ini diakui oleh penduduk setempat. Ibunya putri dari seorang pemuka kabilah Buhaira di desa Jabaris. Ibunya seorang gadis yang shalehah lagi wara’. Diriwayatkan bahwa Imam Ash-Shawi pernah membacakan sesuatu dari ilmu Tauhid kepada ibunya. Lalu ibunya berkata: “Wahai anakku; semua yang engkau bacakan untukku tadi sudah terlebih dulu ada di hatiku, hanya saja aku tak mampu mengibaratkan dengan kata-kata seperti yang engkau jelaskan.” 

Beliau dididik oleh ayahnya dengan bekal takwa dan iman. Rutin menghafal al-Quran dengan ayahnya. Ayahnya wafat saat beliau berumur 5 tahun, dan telah menyelesaikan hafalannya di umur tersebut. Selanjutnya beliau mulai diasuh oleh saudaranya. Pada suatu hari beliau meminta izin untuk menuntut ilmu ke Al-Azhar di Kairo, yang kemudian dilarang oleh keluarganya karena usianya yang masih sangat muda. Beliau pun menunda untuk beberapa waktu, lalu kabur ke desa al-Qadhabah yang terdapat beberapa kerabat disana. Disana beliau menyampaikan azamnya untuk menuntut ilmu, karena begitu besar niatnya menuntut ilmu maka saudaranya mengaminkan keinginannya. Mereka datang ke Kairo untuk masuk ke Al-Azhar di tahun 1187 H, di usianya yang belum menginjak 12 tahun, untuk menapaki jejak takdir yang telah digariskan Allah kepadanya sejak dia masih berada di dalam perut ibunya. 

Masa-Masa Menuntut Ilmu 

Pada saat itu Al-Azhar dipenuhi dengan para ulama berprestasi, seperti Al-Allamah Syekh Syaafi’ Al-Khaffaji, Al-Allamah Syekh Muhammad Ubadah Al-‘Adawy, Al-Allamah Syekh Ahmad As-Sujaa’i pengarang hawasyi terkenal, menurut kabarnya pada suatu hari Syekh As-Sujaa’i sakit, dan menyuruh murid-muridnya bertalaqqi di rumahnya, yang pada saat itu sedang mengaji kitab “Syarh Ibnu Aqil ‘ala Al-Khulashah”. Saat murid-muridnya sudah berkumpul beliau berkata: “Apakah Ash-Shawi sudah datang?”. Mereka menjawab: “Belum ya Syekh”. Beliau kembali berkata: “Tunggulah sampai dia datang, dan katakan padanya bahwa pengajian tidak akan dimulai sampai dia datang.” 

Dari sekian banyak ulama yang beliau cicipi ilmunya ada seorang syekh pakar di bidang hadis dan tafsir yaitu Al-Allamah Imam Sulaiman bin Umar dikenal dengan Al-Jamal. Beliau adalah pengarang hasyiyahAl-Jalalain” berjudul “Al-Futuhaat Al-Ilahiyah”, adapun Syekh Al-Jamal sangat mengagumi Ash-Shawi. 

Juga ada Syekh Muhammad bin Muhammad Al-Amir Al-Kabir As-Sanabawiy Al-Malikiy, beliau sangat menyayangi Ash-Shawi dan sering mewasiatkannya doa, dan beberapa wirid. 

Lalu ada Syekh Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqiy Al-Maliki, yang terkenal dengan hasyiyahnya di berbagai ilmu. Termasuk juga Grand Syekh Al-Azhar Syekh Abdullah Asy-Syarqawiy. Para masyaikh tersebut memiliki andil besar dalam hidup Imam Ash-Shawi, walaupun begitu sosok Syekh Ahmad Ad-Dardir tidak pernah terlupakan di hati beliau. 


Berguru dengan Syekh Ahmad Ad-Dardir 


Syekh Ad-Dardiri adalah panutan bagi Imam Ash-Shawi, adapun hubungan mereka masing-masing melebihi batas biasa. Begitu pun karyanya. Karangan Syekh Ad-Dardir memiliki keistimewaan tersendiri di kalangan ulama mazhab Maliki. Mulai dari “Kharidah”, “Shalawat”, dan “Tuhfah” selalu menghiasi toko-toko buku ilmu agama. 

Di tahun kedatangan Ash-Shawi muda ke Kairo untuk menuntut ilmu ke Al-Azhar tahun (1187 H), setelah 6 bulan berlalu lalang, beliau barulah bertemu dengan Syekh Ad-Dardir hingga tertarik dengan majelis ilmunya. Saat pertama kali bertemu timbul rasa rindu yang mendalam, seperti rindu seorang anak kepada orang tuanya. Hingga suatu hari Syekh Ad-Dardir membaiat Syekh Ash-Shawi sebagai anak asuhnya, juga menjadikannya penerus tarekat Khalwatiyah. 


Di masa mulazamahnya bersama Syekh Ad-Dardir banyak hal terjadi, beliau tak merasakan nyenyaknya tidur di dalam hari sedang Syekhnya masih terjaga. Sering kali beliau tertidur di kaki Syekh Ad-Dardir, dan harus bangun lebih awal dari Syekh, apa lagi saat Syekh Ad-Dardir membelai telinganya karena ketiduran saat sedang membaca wirid. Sampai Syekh berkata: “Telingamu dingin sekali!”. Ash-Shawi berkata dalam hatinya: “Hingga aku paham isyarat tersebut di kemudian hari, aku berkeringat karena merasa sangat malu, kemudian aku mulai bersemangat dan sungguh-sungguh ketika mengambil wirid padanya”, setelah malam itu beliau tak pernah ketiduran lagi di majelis wirid bersama Syekh sampai seterusnya. 

Telah banyak perubahan dalam diri Syekh Ash-Shawi, segala kegundahan di dalam hatinya telah hilang seolah ketenangan hati Syekh Ad-Dardir masuk ke dalam dirinya. Tak pernah sekalipun dia berpaling ataupun bolos dari majelis zikirnya. Seperti yang dikatakan Syekh Ad-Dardir kemudian hari, “Anakku Ahmad tidak pernah terlihat dia sedang datang atau tidak datang” karena beliau sudah terlebih dulu hadir sebelum majelis dimulai. Syekh Ubadah menjadikan Syekh Ash-Shawi sebagai mitra supaya bisa dekat dengan Syekh Ad-Dardir: “Andai aku bisa menggadaikan ilmu dan ketenaran ini agar derajatku terhadap Syekh Ad-Dardir sama seperti kedekatanmu dengannya maka akan aku gadai wahai Shawi!”. Sebagaimana yang dirasakan Imam Ash-Shawi setelah mengambil wirid khusus kepada Syekh Ad-Dardir, beliau berkata: “Hati dan ragaku telah dipenuhi cahaya sebab mendengar zikir dengan telinga, maka bagaimana kondisi yang memasukkan zikir ke dalam hatinya?!”. 

Imam Ash-Shawi terus bermulazamah hingga akhir usia Syekh Ad-Dardir, saat sedang terbaring sakit Syekh Ad-Dardir terus memanggil Syekh Ash-Shawi, “Dimana anaku Ahmad?” tanyanya kepada hadirin. Mereka mengatakan bahwa Ash-Shawi ada di lantai bawah, lalu menyuruhnya naik, lalu Syekh berucap: “Mengapa kamu telat anakku? Tiga hari aku merindukanmu", hadirin lalu menjawab: “Sungguh dia belum keluar dari rumah ini sejak hari pertama anda sakit ya Syekh”. Di akhir hayatnya Syekh berkata: “Jika aku wafat kelak tak akan ada seorang pun yang mampu memisahkanku dengan anakku Ahmad”


Kesungguhannya dalam Bertarekat 

Suatu hari saat Syekh Ad-Dardir sedang membaca wirid khusus bersama muridnya, hadir pula Syekh Sayyid Khauruddin Al-Ghazi, dan berkata: "Tarekat itu sangatlah sulit, saat pertama kalinya murid diajak haruslah kalian dalam keadaan sehat, tertib...”, lalu datanglah Ash-Shawi. Beliau berkata: “Wahai anakku, sayangilah dirimu; berilah hak untuk badanmu" sangking kurusnya badan beliau. Lalu jamaah berdiri dan menangis serentak; Syekh bermaksud menegur murid yang lain dan menyanjung Ash-Shawi. 

Adapun Syekh Ash-Shawi tidak makan kecuali hanya beberapa potong roti, terbiasa lapar saat puasa atau tidak, berkhalwat sesuai izin syekhnya, kadang kala dia makan sedikit nasi selama 3 malam, sangking dambanya dengan makanan manis, lalu dia tidak makan 3 malam kemudian, hingga suatu hari dia mendengar lantunan zikir dari seseorang yang berbunyi: “Wahai Maha Penolong, tolonglah kami, jika seorang pemuda mengetuk pintu dan bersamanya ada sebutir kurma yang lezat, lalu dia mengambilnya lalu menutup pintu, dan tidak memakannya sama sekali". Hingga terbesit di hatinya: "Sesuatu datang kepadamu tanpa diminta, maka makanlah ia", hingga dia makan dalam sehari hanya 3 butir kurma tidak lebih dari itu! 

Imam Ash-Shawi telah banyak bergabung di beberapa tarekat sufi; beliau telah mengambil tarekat Khalwatiyah kepada Syekh Ad-Dardir dan Syekh Abdul Mut’al Al-Kharrasyi, tarekat Syadzuliyah kepada Imam Abdul Wahab Al-Afifiy dan Al-Kharrasyi. Tarekat Qadiriyah kepada Sayyid A’rabiy Al-Bairutiy. Juga tarekat Damadasyiyah, dan selebihnya beliau ambil kepada Imam Al-Amir Al-Kabir. 


Akhlaknya dan Pujian Para Ulama untuknya


Dikatakan oleh Sayyid Ahmad Asy-Syisyti murid Imam Ash-Shawi dalam kitabnya ‘Manaqib Ash-Shawi’: “Beliau sungguh-sungguh mengajak umat ke jalan yang benar, Allah membantunya menghalau umat dari sifat dengki, durhaka dan keras kepala, sehingga manfaatnya dapat kita rasa sekarang dan selamanya. 

Beliau (Imam Ash-Shawi) biasa mendakwahi orang-orang kepada Allah dengan perbuatan dan ucapannya, lemah lembut dan penyayang kepada sesama, mendidik muridnya dengan segala perhatian, menunjuk mereka ke derajat yang mulia, hingga semerbaknya tercium hingga seantero alam, dan tabirnya tersebar hingga ke lembah-lembah”

Dari sekian banyak karamah Sidi Syekh Ahmad Ash-Shawi, disebutkan oleh Syekh Husein dalam kitabnya ‘Nuzhah Al-Fikriy’ diambil dari kitab ayahnya Syekh Muhammad Al-Jasar yang menulis: “Seseorang menyampaikan padaku salah satu karamah Sidi Syekh Ahmad Ash-Shawi, Allah memberkahi beliau dengan mengetahui kabar rahasia wafatnya ayahku,” sebelum kabar itu tersiar ke Mesir. Syekh Ash-Shawi saat itu sedang menghadiri sebuah acara bersama ayah dan kerabatnya: “Kami mendengar beliau menyuruh kami untuk membacakan Al-Fatihah untuk Haji Musthafa Al-Jasar”, yaitu Kakekku. Lalu ayahku menangis. 

Syekh Ash-Shawi mendatanginya dan menyampaikan kabar duka pada ayahku. Kemudian beliau memegang bahu ayahku dengan tangan mulianya, dan berkata: “Kamu adalah al-Jasar (pemberani)” untuk menghiburnya. Tak lama kemudian ayahku menerima kabar bahwa kakek sudah meninggal dunia, dan pada saat itu belum ada telegram atau pos antara Mesir-Syam. Begitulah yang dikatakan Syekh Husein Al-Jasar. 


Karangannya


Imam Ash-Shawi telah banyak mengarang kitab dari berbagai bidang keilmuan, kebanyakannya dari tahsyiyah dan syarh, kitab-kitab tersebut telah berkontribusi banyak dalam khazanah keilmuan Islam, yang manfaatnya telah kita rasakan bersama: 

- Al-Asrar Ar-Rabbaniyah wa Al-Fuyudhat Ar-Rahmaniyah ala Ash-Shalawat Ad-Dardiriyah
- Al-Fawaid As-Saniyah ala Matni Al-Hamziyah, telah disyarah oleh Imam Al-Bushiri. 
- Syarh Tuhfah Al-Ikhwan fi ‘Ilm Al-Bayan, syarahan karangan Imam Ad-Dardir. 
- Balagah As-Sali li Aqrab Al-Masalik, dikenal dengan ‘Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala Asy-Syarh As-Shagir’, adapun Syarh As-Shagir adalah karangan Imam Ad-Dardir ‘Aqrab Al-Masalik li Madzhab Al-Imam Malik’. 
- Syarh Manzhumah Asma’ Allah Al-Husna, syarahan untuk karangan Imam Ad-Dardir. 
- Hasyiyah ‘ala Syarh Al-Kharidah Al-Bahiyah, dan Manzhumah ‘Al-Kharidah Al-Bahiyah’ keduanya syarahan untuk karangan Imam Ad-Dardir. 
- Syarh li Manzhumah Jauharah At-Tauhid, karangan Syekh Ibrahim Al-Laqqani. 
- Risalah fi Ar-Rad ‘ala Munkariy Karamat Al-Auliya’, dikarang dalam waktu semalam saja, adapun kitab ini untuk menepis tuduhan seseorang kepada karamah Imam Ad-Dardir, hingga Imam Ad-Dardir mengomentari: “Seolah-olah dia (Ahmad) menulisnya sesuai dengan isi hatiku”, juga merupakan karangan perdana beliau. 
- Ar-Risalah fi Al-Jihad
- Syarh Jalil ‘ala Dua’ (Yasin). 
- Taqrirat ‘ala Dalail Al-Kairat
- Risalah fima lil Khalwat min Syurut wa Adab
- Hasyiyah ‘ala Mukhtashar Al-Bukhari
- Hasyiyah ‘ala Qashidah Baanat Su’ad
- Hasyiyah ‘ala Maulid karangan Imam Ad-Dardir. 
- Risalah fi Syarh Al-Basmalah
- Hasyiyah ‘ala Tafsir Al-Qadhi Al-Baidhawi
- Hasyiyah ‘ala Al-Jalalain



Akhir Hayatnya 

Di tahun 1240 H beliau hendak berangkat ke tanah suci untuk menunaikan haji, pada hari itu jalanan dipenuhi oleh banyak orang yang terdiri dari murid dan para ahbabnya. Di hari-hari itu pula beliau terus mengulang sepenggal kalimat, “Waktu sudah dekat wahai kasih, doakan aku..” ini yang membuat sedih para sahabatnya. 

Setelah menyelesaikan rukun haji, beliau bergegas untuk ziarah ke maqam para wali di Madinah Al-Munawarah. Beliau menghabiskan waktu disana hingga kemudian sakit. Pada 7 Muharram tahun 1241 H beliau menghembuskan nafas yang terakhir di Madinah Al-Munawarah. Semoga Allah tempatkan beliau di sebaik-baik tempat di sisi-Nya. Begitupun kita semoga kelak Allah kumpulkan bersama Rasulullah Saw. dan para pewarisnya. Nafa'anaAllahu bihi wa bi ulumihi fi ad-daraini, Amin.




*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Akidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo.

*Editor: Teuku Rizki Maulana Utama

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top