Penebusan

Oleh: Darwin*

(Sumber:Pinterest)


“Apa yang bisa kulempar?” 
“Sasar kepalanya,” 
“Aku sangat takut jika ia mati.” 
“Justru itu yang kuinginkan.” 
“Tapi aku ragu melakukannya.” 
“Tapi kau harus melakukannya!” 
“Sekali lagi, Bus, apa yang membuatmu ingin sekali dia mati?” 
“Jika kau melemparnya dengan batu belum tentu ia akan mati.” 
“Ada kemungkinan ia akan mati.” 
“Memang. Artinya kau harus melemparnya tepat di kepala. Hanya itu yang akan membikinnya mampus. Aku tak menyangsikan kemampuanmu, Tul.” 
“Bus, ini benar-benar akan membuatku menjadi seorang bajingan. Aku ragu.” 
“Tul, ingat, aku sama sekali tak ingin mencabut bayaranmu.” 
“Tapi kurasa kau harus memikirkan ulang keputusanmu,” 
“Yah,kenapa bisa-bisanya kau suruh aku mikir? Kau kubayar, bodoh.” 
“Bus, kita berkawan sejak kecil, tak pernah kudapati isi kepalamu sebrengsek ini.” 
“Bukan saat yang tepat mengajakku kepada jalan yang lurus, Tul. Bajingan itu tak lama lagi akan melintas, jangan mendebat isi kepalaku, kalau tak mau rencana ini gagal.” 
“Aku ingin menggagalkannya.” 
“Bodohnya, bodohnya. Kau sedang butuh uang membayar bunga si Rentenir, apa kau ingin mampus di tangan si lintah darat itu?” 
“Aku bisa meminjamnya kepada orang lain,” 
“Orang lain yang mana...? Hari sekarang tak ada orang yang akan bermurah hati meminjamkan uang selain rentenir. Orang lain yang mana, Tul?” 
“Tapi aku ragu dengan pekerjaan ini?” 
“Kau hanya perlu menyasar kepalanya. Ini sungguh sangat mudah.” 
“Ia bisa mati. Dan aku bisa dipenjara.” 
“Tak ada yang akan melihat; kau aman. Kubayar pula.” 
“Tuhan Maha Melihat, Bus.” 
“Aih, bukankah Tuhan Maha Pengampun, Tul?” 
“Bisa panjang urusan kalau bicara soal nahi mungkar denganmu, Bus. Ada saja yang kausahut.” 
“Kau yang memperlama urusan, Tul. Padahal bisa kaujawab asese dari tadi.” 
“Sudah kubilang, aku ragu. Dan aku bisa meminjam uang kepada orang lain.” 
“Berpikirlah jernih, Tul. Lintah darat itu akan mengerat lehermu jika uangnya tak kaubayar,” 
“Kenapa uangmu tak kau pinjamkan padaku tanpa harus melempari batok kepala.” 
“Itu syarat yang harus kaupenuhi dan aku akan meminjamimu uangku.” 
“Aku bisa meminjam kepada orang lain.” 
“Silakan saja. Palingan lusa aku melihat kepalamu menggelinding di aspal.” 
“Tak usah menakutiku. Si Rentenir tak punya hati sepertimu.” 
“Memang bukan dia yang kumaksud. Aku yang akan memenggal kepalamu.” 
“Jadi kau mengancamku?” 
“Kedengarannya?” 
“Aku temanmu tapi aku bukan bajingan sepertimu, Bus.” 
“Hm. Bisa-bisa kau menyebutku bajingan, aku bahkan tak pernah membunuh orang.” 
“Isi kepalamu cukup menjadi penanda.” 

Malam itu aku benar-benar menentang isi kepala Panbus, dan kami pulang ke palung masing-masing. Sedang seorang laki-laki yang menjadi sasaran dari rencana Panbus malam itu masih hidup hingga sekarang. 


Panbus mati keesokan hari. Aku menyeret tubuhnya dari pekarangan belakang rumahnya ke bibir sungai. Sesampai di sana aku mencari bongkahan batu dan memasukkannya ke dalam karung di mana tubuhnya meringkuk, kubikin batu itu menindih perutnya, dan kubungkam mulut karung tersebut dengan jalinan sabut, lalu kubenamkan bersama dengan Panbus ke dasar sungai. 

Malamnya aku kembali ke sana dan menyelami dasar sungai. Dengan sebilah pisau yang kubawa, kukerat ikatan di mulut karung itu dan kulepas Panbus ke arus deras. Sampai sekarang, istrinya menganggap Panbus minggat, dengan dalih ada perempuan lain yang bermain selama ini. Usahaku menggugurkan jejaknya benar-benar berhasil. 

Laki-laki yang menjadi sasaran Panbus malam itu, merasa canggung mendengar ceritaku ini. Dua hari lalu tanpa direncanakan kami bertemu di sebuah kedai minum. Aku menceritakan kepadanya beberapa kisah hidupku bersama bekas istri Panbus—yang kunikahi secara Islam. Ia memuji kemuliaan hatiku menikahi seorang janda, “Saudara telah menyelamatkan negeri ini,” katanya. Tapi aku tak mau membeberkan maksud dari perkataannya di sini, penjelasannya bisa panjang. 

Yang membuat ia canggung tak lain karena cerita perbuatanku pada suatu siang di sungai dekat kebun coklat sana. Ia bertanya kenapa aku membunuh Panbus, kukatakan padanya bahwa aku telah diancam bunuh olehnya. Panbus adalah lelaki gegabah dalam mengambil keputusan dan sembrono saat bicara. Aku yang tengah dililit utang amat sangat tersinggung oleh perkataannya malam itu. Oleh karena itu aku tergerak untuk membunuhnya kemudian, dan berpikir untuk merampas semua uang yang akan dipakai untuk membayarku “kalau aku mau membunuhmu.” 

“Tapi kemudian kau memang membunuhnya,” 
“Iya. Terkadang, kupikir, itu juga kesalahanku. Dan untuk menebus kesalahanku aku harus menghidupi bekas istrinya. Istriku sekarang.” 
“Kau mencintainya?” 
“Tentu. Ia adalah perempuan yang selalu kami obrolkan semasa remaja.” 
“Kau mencintainya sejak dulu?” 
“Aku mencintainya sejak dulu, tapi temanku mencintainya sungguh-sungguh lebih sungguh dariku.” Kataku. “Tapi, sayang, jalan hidup yang ia pilih lebih buruk dariku.” 
“Apa kau tidak memikirkan nasibnya saat akan membunuh suaminya?” 
“Aku berpikir akan menikahinya.” 
“Di mana dia ketika kau membunuh Panbus di pekarangan belakang rumah? Bagaimana bisa selancar itu?” 
“Istri Panbus sedang di luar. Siang itu aku datang kepadanya menampakkan tampang seakan bujukannya kini benar-benar mempengaruhiku, ‘aku siap membunuhnya’ kataku padanya. Ia juga memberiku nama dan gambarmu. Tapi, kukatakan ‘aku ingin setengah bayaranku di muka. ‘baiklah’ katanya. Ia beranjak ke kamarnya dan aku mengikutinya dari belakang, pada saat itulah, ketika ia membuka pintu kamar tampaklah bagiku sebuah jalan terang menuju keberuntungan. Aku menikamnya di situ.“ 
“Tapi kautahu,” lanjutku. “Malam itu aku menangis. Sungai itu mengingatku pada Panbus. Masa remaja kami habiskan bersama-sama di sana. Menggelayut di dahan pohon yang menciduk permukaan sungai, mencebur menyaingi kecipak ikan. Tapi malam itu aku membunuhnya, rasanya aku telah menghilangkan sebuah anugerah dalam hidupku. Dan Itu tak adil, kurasa aku juga harus membunuh laki-laki yang ada dalam rencana jahatnya, dia yang telah membuat Panbus tak lagi waras.” 

Aku merasa tuntas sudah menyinggung sebagian rencanaku kepadanya, yang tak sempat kulaksanakan tujuh tahun lalu. Aku tak pernah menemukan jejak lelaki yang ada dalam gambar yang diberikan Panbus itu kepadaku. Kupikir, memburunya adalah tugasku seumur hidup. Membuat hidupnya gugur adalah bentuk lain dari penebusanku atas kematian Panbus. Dan kukira ini adalah utang dan lebih besar dari semua utang yang pernah kualami. Aku telah membunuh teman sekaligus sahabatku sendiri. Kupikir, aku tahu bagaimana cara mengakhiri hidup seorang bajingan yang urusannya belum tuntas dengan Panbus.


Editor: Annaya Nur Bismi

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top