Memahami Penerapan Bank Syariah di Aceh; Antara Penyokong dan Penentangnya

Oleh: M. Dani*
Sumber: (popularitas.com)

Akhir-akhir ini warga Aceh terpukau dengan berita gembira. Bagaimana tidak? Negeri yang dijuluki Seramoe Makkah ini mewajibkan praktek bank bernuansa syariah di seluruh lembaganya. Bukan hanya sampai di situ, bahkan akan menghapus praktek konvensional.
 
Hal ini merujuk pada Qanun Aceh No.11 Tahun 2018 tentang penerapan Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Tentu agar masyarakat Aceh menghindari muamalah ala jahiliyah yang menganggap jual beli itu semisal dengan riba.
 
Jika ditinjau lebih jauh, Aceh merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara. Aceh adalah Serambi Makkah. Ia merupakan daerah istimewa di mana syariat Islam berlaku di sana. Aceh adalah bumi para Ulama dan Aulia. Akan sangat banyak lagi pujian yang keluar dari mulut orang-orang jika ditanya tentangnya. Sudah saatnya Aceh membangkitkan ekonomi Islam agar bisa dijadikan tauladan bagi provinsi-provinsi lain. 
 
Mengharamkan riba bukan berarti Islam tidak memperhatikan kemajuan ekonomi umat, justru sebaliknya Islam sangat memperhatikannya bahkan lebih dari itu. Islam ingin semua mendapatkan haknya, bukan membuat si kaya semakin kaya, si miskin semakin melarat. 
 
Namun jikalau bukan dengan metode ini bagaimana bank mendapatkan keuntungan? Sehingga ia bisa terus beroperasi. Maka dari itu kita perlu memahami metode yang dijalankannya. Yuk kita bedah satu per satu!

    1. Mudharabah
 
Jikalau di bank konvensional memakai metode pemutaran uang hingga menghasilkan bunga, maka bank syariah menggunakan metode mudharabah atau bagi hasil.
 
Hasil bunga mengandung riba, berdampak menguntungkan sebelah pihak dan menzalimi pihak yang lain. Maka tak heran jika ia dilarang oleh syara’.
 
Melihat hal zalim ini, agama yang berslogan "shalihu ala kulli zamani wa makan" (cocok di setiap zaman dan tempat) menyelesaikan masalah ini dengan metode murabahah yang mana kedua pihak saling berperan penting serta saling melengkapi. Misalnya yang satu ada bakat dalam berbisnis namun tak ada modal dan yang satu ada modal tak banyak waktu untuk bekerja, maka terjalinlah silaturahmi berbentuk bisnis bagi hasil sesuai ketentuan yang telah disepakati melalui perantaraan akademi bank syariah. Jika untung maka untung bersama dan begitu juga jika terjadi kerugian. 
 
Ijma' ulama mengatakan hukum mudharabah ialah halal. Di antara banyak dalilnya ialah kisah Nabi Muhammad yang pergi berniaga sebagai mudharib (peminjam modal) ke Syam dengan harta Khadijah binti Khuwailid sebagai pemberi modal, biarpun kisah ini terjadi sebelum ia diangkat menjadi rasul, tetapi adanya iqrar (pengakuan) mengenai kebolehannya setelah Sayidina Muhammad menjadi rasul.
 
    2. Murabahah
 
Jika seseorang ingin meminjam dengan status bisnis maka akad itu disebut mudharabah. Namun bagaimana kalau si peminjam ingin membeli suatu barang? Maka muncullah metode akad murabahah.
 
Katakanlah sang peminjam ingin membeli mobil, namun dengan keterbatasan ekonomi memaksakannya untuk meminjam ke bank syariah. Maka bank syariah-lah yang akan membeli mobil si nasabah tersebut. Secara otomatis akad yang awalnya hutang berubah menjadi akad membeli, karena status mobil tersebut sudah milik bank, maka sudah semestinya bank mengambil untung dari jual beli tersebut. Sehingga terhindarlah dari riba.
 
Masih banyak metode akad syariah lainnya yang mana seluruhnya itu halal sesuai fatwa Badan Syariah Nasional MUI. Maka dari ini terbuktilah bahwa agama Islam yang dibawa 140 tahun lalu masih sangat efektif di masa modern ini.
 
Sangat disayangkan saat di samping kegembiraan ini masih ada saja oknum-oknum yang tidak mendukung bahkan menggugat konsep yang begitu rapi ini dengan ujub-ujub agama. Tuduhan fatal ini harus dibantah segera mungkin agar tidak meragukan bagi orang banyak.
 
Tuduhan pertama ialah mereka mengatakan metode mudharabah ini tidak sesuai dengan syariah karena adanya orang ketiga yaitu pihak bank, sedangkan di masa Nabi cuma berlaku dua pihak yaitu yang meminjamkan (pemilik modal) dan yang peminjam (pemakai modal).
 
Tuduhan ini muncul sebab pikiran yang sempit, karena bukan semua yang tidak dilakukan Nabi adalah bid'ah. Selama itu tidak ada larangan, bahkan itu baik maka sah saja untuk dilakukan. Bukankah Nabi Muhammad Saw. bersabda: "Sesungguhnya jual beli itu berangkat dari saling ridha." 
 
Perlu diperhatikan lagi ialah kaidah fiqih jumhur ulama berbunyi "al-Aslu fi ibadah haram hatta warada dalil ma ya'muruhu, wa aslu fi tijarah halal hatta warada dalil ma yuharrimu" atau asal dari segala ritual ibadah itu haram sampai datang dalil yang memerintahnya, sebaliknya asal dari jual beli itu halal sampai datang dalil yang mengharamkannya. Dari kaidah ini putus sudah tuduhan pertama di sini.
 
Tuduhan kedua ialah para oknum bersikeras mengklaim adanya riba, yaitu denda bagi siapa yang telat mengembalikan pinjaman dari tempo yang ditetapkan. Tuduhan ini muncul akibat kurangnya turun ke lapangan langsung.
 
Tambahan uang jika telat membayar hutang tersebut ialah dalam bentuk hukuman agar disiplin, bukankah Islam memerintahkan hambanya untuk disiplin? Dan pula yang harus diketahui ke mana uang denda itu dibawa, apakah akan masuk ke kantong pejabat bank? Tentu tidak. Melainkan ia akan diserahkan kepada mashalihul ammah atau kepentingan umum. Apa salahnya jika dari umat untuk umat?
 
Mungkin iya, jika kita lihat lebih dalam bank syariah belum maksimal sebaik mungkin dalam mengaplikasikan teori syariahnya, namun ini bukan menjadi alasan kita menggugat metode ini. Melainkan tetap memberi pelatihan kepada para pegawainya agar dapat menerapkan sebagaimana teorinya yang telah disepakati MUI akan keabsahannya.
 
 
Bukankah kaidah fiqhiyah berkata, "La yudriku kulluh, la yutraku kulluh" atau kalau tidak bisa dapat semua bukan berati meninggalkan seluruhnya. Begitu juga saat ini jikalau bank syariah belum dapat beroperasi 100% bukan berarti kita meninggalkan yang 80% syariahnya.
 
Apakah kita tidak mengingat proses pengharaman khamar yang melalui proses tadarruj (sedikit demi sedikit), begitu juga menghadapi hal yang sudah mendarah daging di masyarakat, maka kita selaku orang yang berilmu harus mengajaknya langkah demi langkah.
 
Semoga tulisan ini dapat menyadarkan kita kembali tentang bahayanya riba dan moga ekonomi umat semakin meningkat ke depannya. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
 
 
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Syariah wal Qanun, Universitas Al-Azhar - Kairo.
Editor: Syafri Al Hafidzullah

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top