Pilihan Menjadi Wanita Cerdas

Oleh: Musrifa Saldi*
(Sumber:Masmufid.com)


Bijaksana adalah pilihan kita para wanita cerdas. Begitulah sepenggal kalimat yang kubaca dan kucoba memahami maknanya sambil menunggu antrian di Jawazat. Tepat di belakangku ada sepasang suami istri yang duduk berdampingan. Saat itu suasana di Jawazat begitu ramai dan bising. Sejumlah pelajar mengantri di depan meja resepsionis. Tidak sengaja aku menyimak percakapan kedua pasangan suami istri tadi. 

“ Mas, namaku sudah ditulis di list antrian belum?” 

“ Tidak usah, kamu ikut mengantri sama saya aja nanti, karena kamu tabi’" jawab suaminya dengan tenang. 

“Kok namaku gak ditulis? Ntar kalau enggak dapat antrian gimana? Aku harus pulang lagi gitu?" Komentar istrinya dengan nada tinggi. 

“Kalau aku gak bisa ngurus visa gimana Mas?” Omelnya terus terusan. Sana tulis! kamu harus tanggung jawab!” Tambah istri. 

“Jagalah lidahmu sebagaimana kamu merawat emas dan perak.”Ungkapan yang sarat makna sekaligus berat merealisasikannya. Namun begitulah nasehat yang disampaikan Ali bin Abi Thalib. Ketika seseorang memberi kita perhiasan berupa emas, perak, atau barang berharga lainnya, apakah kita segera menyimpannya dengan baik di tempat yang baik atau malah menyia-nyiakan pemberian orang tersebut? Sudah pasti kita akan mengambil pilihan pertama, kita akan menjaga dan menyimpan perhiasan tersebut dengan baik. Begitu pula dengan lisan, ia merupakan secuil anugerah dan nikmat yang Allah berikan, desainnya sangat sempurna. Lidah yang merupakan nikmat Allah bisa berpotensi sebagai sumber kebaikan atau keburukan pada diri manusia. Apakah kita masih ingin menyia-nyiakannya dengan melontarkan kalimat yang tidak baik?. 

Seperti percakapan sepasang suami istri di atas tadi, apakah sang suami menginginkan istrinya berkata seperti tadi? Apakah ada orang yang ingin mendengar tutur kata yang tidak menyenangkan dari lawan bicaranya? Berbicara dengan baik kepada lawan bicara adalah salah satu etika yang semestinya diperhatikan oleh setiap orang. Sebagai wanita yang cerdas, seharusnya hati menjadi neraca untuk menimbang terlebih dahulu perkataan yang akan dilontarkan oleh lisan. Jika perkataan yang ingin disampaikan baik maka silahkan berbicara. Namun apabila sebaliknya, diam adalah pilihan terbaik. Apabila seseorang tidak mampu mengendalikan lisannya, bisa-bisa ia bertutur tanpa memikirkan perasaan saudaranya, hingga timbul kerenggangan hubungan antar sesama. Lisan adalah daging yang tak bertulang dan tajam. Terkadang saat berbicara kita tidak bermaksud ingin menyinggung lawan bicara, namun tanpa disadari ada saja orang yang tersinggung dengan ucapan kita. 

Nikmat lisan sering disalah gunakan oleh siempunya, sehingga banyak ditemukan orang-orang terpeleset dan masuk ke lubang gosip, mencela, berbohong, memfitnah, mengadu domba dan lain sebagainya. Nah, lalu bagaimana sih kiat menjadi wanita cerdas yang mampu menjaga lisan dengan baik?. Ada beberapa action yang dapat dilakukan untuk menjaga lisan. Sebagaimana disebutkan oleh Imam Al- Ghazali dalam karya monumentalnya Ihya’ ‘Ulumuddin. Diantara beberapa kita tersebut adalah: mengindari pembicaraan yang kurang berfaedah saat berbicara, menjaga diri kita agar tidak boros dalam berbicara, jangan sampai lidah kita terpancing hingga melontarkan perkataan yang berkaitan dengan kebatilan, tidak berlebihan dalam berdebat dan benar-benar menjauhi perkataan yang mengandung unsur permusuhan, dengki, menyakiti atau menjatuhkan orang lain. 

Ada satu kisah yang dapat dijadikan pembelajaran bagi kita dalam menjaga lisan. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab ada seorang gadis yang tinggal bersama ibunya di sebuah rumah kecil. Ibunya adalah seorang penjual susu. Suatu ketika Amirul Mukminin Umar bin Khattab sedang berkeliling di komplek perumahan warga. Sampai di dekat rumah gadis itu, Umar pun mendengar perbincangannya dengan ibunya. Ketika sang ibu mempersiapkan dagangan, kemudian sang ibu hendak mencampurkan air ke dalam susu tersebut, kemudian sang anak berkata, “ jangan Bu!” “ Tidak apa-apa Nak, toh Amirul Mukminin juga tidak melihat kita.” Kata ibunya.“ Mungkin Amirul Mukminin tidak melihat, namun Allah maha melihat Bu.” kata gadis itu. Mendengar perbincangan tersebut Umar begitu kagum dengan kejujuran dan kesopanan gadis tadi, sehingga ia menikahkan putranya ‘Ashim dengan gadis tersebut. 

Berbicara soal menjaga lisan, hal ini merupakan salah satu proker alias program kerja seorang wanita sebagai madrasah ula (sekolah pertama) bagi anak-anaknya, apakah cukup hanya dengan menyuruh mereka bertutur kata baik dan melarang berkata buruk? Tentu saja tidak. Action seorang wanita dengan memberi teladan yang baik jauh lebih memberi pengaruh dalam mendidik si buah hati. Untuk mencapai kesuksesan mendidik lisan anak kelak, seorang wanita harus sudah mulai berlatih sejak dini agar bertutur kata dengan baik kepada yang tua, kaum muda maupu teman-teman sebaya. Ketika program ini dapat terlaksana, maka bangsa akan melahirkan generasi berakhlakul karimah, yang senantiasa menjaga tutur katanya. 

*Penulis adalah mahasiswi Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo. 

Editor: Maulidia Azzukhraifa.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top