Jika itu Takdirnya : "Rabun"

Oleh: Muhammad Nabil Akhtiar
Sumber: Unsplash.com

Kumulai kisahku kali ini dengan membahas salah satu nikmat yang harusnya selalu disyukuri setiap hamba-Nya, nikmat mata. Mengaku atau tidak, mata merupakan salah satu pancaindera yang berkontribusi besar memberikan maklumat dan ilmu kepada orang yang memilikinya.

Tentu saja begitu, coba saja engkau tanyakan pada mereka yang kehilangan pancainderanya sejak lahir, apakah mereka mengetahui perbedaan antara warna merah dan putih?. Bisa diyakini mereka tak akan mampu mengetahuinya. Aku pun teringat beberapa waktu lalu ada salah satu program televisi dunia yang memperlihat betapa senangnya orang yang buta warna ketika mampu melihat dunia yang berwarna menggunakan alat bantu penglihatan.

Begitu juga pancaindera lainnya, kita misalkan saja telinga. Orang yang kehilangan pancaindera pendengaran sejak lahir akan sangat mustahil baginya untuk bisa berbicara. Ya tentu saja dikarenakan ia tak pernah mendengarkan suara orang yang berbicara.

Batinku sering mengejek orang yang cuai menjaga matanya hingga akhirnya terpaksa menggunakan bantuan alat untuk memperjelas penglihatan. Dari kecil jiwa membuliku sudah sangat bersemangat mengejek orang-orang yang menggunakan kacamata. Diantara yang tak terlepas dari bulianku tentu saja abang dan kakakku, Zahrul dan Mita. Sebagai orang-orang yang sangat konsisten menggunakan kacamata sejak bangku sekolah dasar, keduanya sudah sangat kebal dengan ejekan-ejekan dua bocah ingusan di rumah tersebut, aku dan abang keduaku, Zakwan.

Tapi pembaca sekalian, kali ini aku bukan mau menceritakan kisah masa kecilku dengan mereka, tapi tadi hanya pembuka sahaja untuk menjelaskan apa yang sudah menimpaku saat ini, belasan tahun setelah hari-hari panjang berpetak umpek dengan saudara-saudaraku. Singkat cerita, setelah menginjakkan kaki di tanah para nabi ini, aku baru sadar bahwa ada yang berubah dengan penglihatanku. Jika dulunya akan sangat mudah bagiku untuk mengidentifikasi orang-orang yang kukenal di jalanan, akhir-akhir ini pula sebaliknya. Aku tak menyangka aku butuh usaha ekstra membelalakkan mataku ke arah wajah-wajah orang di jalanan. Tentu tak terlalu masalah untuk menampakkan usahaku tersebut ketika yang bertembung pandang denganku itu seorang lelaki, tapi jika itu perempuan tentunya akan sangat memalukan.

Aku heran, apa yang terjadi dengan mataku. Penglihatan yang kubangga-banggakan dalam satu dekade terakhir kini melemah. Ditambah lagi kenyataan bahwa papan tulis di ruang perkuliahan tak lagi mau menampakkan isinya padaku. Tanpa kusadari rupanya, wajah-wajah orang sudah berubah menjadi blur di pandanganku, tulisan-tulisan di papan iklan sudah menunjukkan bayangannya, bola bundar pada televisi di warkop samping rumahku yang menampilkan pertandingan liga inggris sudah berubah menjadi titik putih yang lari kemana-mana. Akhirnya aku mengaku kalah, aku “Rabun”.

Detik itu pula aku teringat penjelasan guru IPA-ku di MIN dulu bahwasanya pancaindera memiliki keterbatasan dan kekurangan. Indera pengecapan contohnya, ia tak sanggup memakan makanan yang terlalu panas. Indera pendengaran, ia cuma sanggup mendengar suara audiosonik, sedangkan suara ultrasonik seperti suara semut takkan sampai pendengaran telinga telanjang manusia. Begitu juga mata, mata normal manusia sahaja tak bisa memandang segala perkara secara lepas apalagi apabila rabun sepertiku.

Padahal tidak semua yang tak dirasakan pancaindera manusia berarti tidak ada. Contohnya, ketika anda berada di dalam apartemen dan kemudian tiba-tiba ada yang mengetuk pintu, minda anda pasti berpikir bahwasanya ada orang yang mengetuk pintu tersebut. Padahal anda tidak melihat orang itu, tidak mendengarnya, tidak merasakankannya, mengecapnya, tapi mengetahuinya dari rangkaian premis-premis yang menghasilkan sebuah konklusi yang disepakati oleh pancaindera.

Dalam hal tersebutlah tergelincir filsuf materialis yang menyatakan bahwa Tuhan itu tidak ada atas dasar bahwa pancaindera tak bisa merasakannya. Bukankah adanya alam ini menunjukkan adanya Pencipta?

Balik lagi ke cerita kita, seketika aku langsung pulang ke rumah, lalu kucurhat kepada abangku, Zahrul. Jika mengingat masa lalu tentu aku malu jadi, memang sudah sunnatullah terjadi hal yang sedemikian rupa. Tapi sebagai adiknya kupikir “Kapan lagi ya aku bisa menyusahkan abangku ini??”.

Sebagai orang yang berpengalaman di bidang perkacamataan, ia langsung mengajakku mengecek diri ke dokter mata. Hasilnya jelas, mataku terpapar rabun jauh -1,25. Belum parah memang, tapi Zahrul terus memaksa diriku untuk pergi berbelanja kacamata ke Attaba esok harinya. Sebagai orang yang tak paham dan tak pernah belanja kacamata, kuberikan mandat kepadanya untuk memberikan opsi kacamata yang cocok untukku.

“Zaki, muka kawu ani kan oval sikit, lawa jua kalau kawu membali spek yang oval jua!!” (Zaki, mukamu ini kan agak lonjong, keren juga kalau kau beli kacamata yang lonjong juga) ujar abangku tersebut dengan filosofi-filosofi. Memang sebagai orang yang tergila-gila dengan filsafat sejak mudanya, ia selalu memiliki filosofi tertentu untuk setiap pilihannya, walaupun terkadang tak masuk dalam nalarku.

Akal memang bisa membayangkan berbagai perkara, tapi sayangnya ia juga memiliki keterbatasan seperti halnya pancaindera. Khayalan manusia misalkan cuma bisa mengkhayalkan sesuatu yang pernah ia liat sebelumnya atau mengumpulkan bagian-bagian dari yang pernah ia lihat sebelumnya. Contohnya, ketika manusia membayangkan adanya malaikat, ia akan menggabungkan bagian perkara-perkara yang ia lihat sebelumnya, seperti muka malaikat seperti muka manusia cantik, sayapnya sayap elang dan lain sebagainya. Artinya mustahil manusia membayangkan sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

“Kulitmu atukan coklet, kurasa lagi glamour kalau kawu pakai yang warna gold bah, elegan sikit!!” (Kulitmu itukan coklat, kurasa kau lebih keren kalau pakai yang warna emas, elegan gitu!!) tukas abangku itu lagi.

Akupun mencoba mempertimbangkannya dalam mindaku, tapi sebagai orang yang tak pernah menceburkan diri dalam traksaksi jual beli kacamata, kepalaku zonk (kosong). Untuk menjernihkan pikiranku, kubukalah gawaiku, lalu berselancar ria di tab pencarian google mencari model-model kacamata.

Tiba-tiba pesan whatsapp masuk di beranda notifikasi. Kawan sekelasku Hamidah mengirimkan sebuah foto kepadaku yang membuatku keheranan. Setelah kubuka keherananku bertambah.

“Apa maksudnya ia mengirim foto ini untukku!!” batinku. Di dalam foto tersebut terlihat seorang wanita yang terbalut dalam pakaian pengantin dengan make-up yang tebal.

Aku memang sangat familiar dengar wanita tersebut, kurang lebih dua tahun yang lalu hatiku jatuh hati kepadanya. Setelah lama menahan rasa, saat itu aku pun menghubungi Hamidah, teman sekelasku, sahabat karib dan sekampung dengan wanita tersebut, Dara. Kepada Hamidah aku luahkan segela perasaan yang kupendam untuk Dara. Dara, adik kelasku di SMA yang super aktif di dalam kegiatan berorganisasi, dan juga interaktif di kelas serta kesayangan para guru. Tentu saja banyak cerita yang kuanggap sebagai kenangan spesial bersamanya, walaupun aku tak merasa ia menganggap begitu.

Dua tahun lalu kunyatakan pada Hamidah bahwa aku siap melamarnya. Namun ternyata ideku ditolak mentah-mentah oleh Hamidah.

“Kau baru mau kuliah Zaki, dan Dara pun masih kelas 3 SMA. Apa kamu tak kasihan dengan dirimu dan dirinya. Jangankan cita-citamu untuk menjadi orang Indonesia tercepat yang meraih gelar Doktor di Kairo, untuk lulus sarjana saja kau akan susah. Tahan Zaki, 4 tahun tak akan lama, jodoh pun tak akan kemana. Yakinlah, jika Allah takdirkan ia denganmu, ia pasti akan mendapatkanmu.”

Aku pun akur dengan nasehatnya tersebut. Segera kulupakan niatku tersebut. “Ya, aku masih punya target lain, dan ia juga. Kenapa aku harus mengutamakan masalah jodoh daripada perkara lain, jika banyak perkara yang lebih penting dari itu.” Gumamku dalam hatiku ketika itu.

Melihat foto Dara dengan pancainderaku itu tak membuatku percaya, maka kucoba merangkai premis-premis akal untuk mendapatkan hasil yang meyakinkan. Namun, teringat aku kembali dengan apa yang kubaca di bukunya Syeikh Abdurrahman Habannakeh Al-Maidany. Buku tersebut kubaca di perpustakaan Dayah Qaranfil beberapa tahun lalu bahawasanya, akal itu memiliki keterikatan dengan memori, khayalan, serta kecerdasan yang kesemua itu terbatasi dengan alam indera kita tadi. Premis-premis akal tadipun takkan mencapai hasil yang diinginkan kecuali mendapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang diketahui pancaindera kita. Dan bukankah kita semua setuju bahwa pancaindera kita terbatas?

Maka dengan berat rasanya aku coba cara ketiga, cara yang tak akan salah Al-khabar as-Shadiq (kabar yang terpercaya). Kucoba kirimkan pesan pada Hamidah :

“Bukankah ini Dara?? Apa maksudnya ini, Hamidah??”

Kutunggu beberapa saat sehingga Hamidah kemudian terlihat di tab berandanya ia mulai mengetik sesuatu. Geram rasanya hatiku menunggunya saat itu

“Aku minta maaf, Zaki. Aku tidak membantumu mempersunting Dara Fonna Sanusi. Hari ini adalah hari pertunangan Dara dengan seseorang yang sudah dijodohkan oleh keluarganya. Bulan depan mereka akan melaksanakan pernikahan. Aku terlambat selangkah, tak kusangka ada yang mendahuluimu. Aku sudah berusaha menyampaikan perasaanmu kepada Dara dan ibunya. Namun Dara mengatakan yang dia tak memiliki perasaan spesial denganmu, ia menganggapmu sebagai abangnya sahaja.”

Aku terkejut, rasa sesak di hatiku semakin memuncak. Tak kusangka akan berakhir begini. Di sisi lain abangku sibuk menawarkan beberapa jenis kacamata kepadaku. Akupun memilih salah satu dari kacamata-kacamata tersebut secara acak.

Malam harinya, walaupun dalam keadaan galau dan frustasi aku menyempatkan diri pergi ke warung kopi di sekitaran Alf Maskan memenuhi undangan kawan-kawanku  mengajak nobar (nonton bareng) pertandingan piala dunia antara Perancis menghadapi Belgia. Memang aku datang agak telat, kira-kira di tengah istirahat babak pertama laga tersebut.

Kumasuki warkop tersebut dari tengah kerumunan pelanggan yang khusyuk menanti mulainya babak kedua pertandingan. Tak kusangka aku pun menjadi pusat perhatian sebagian besar pelanggan warkop. Tak sedikit dari kawan-kawanku tertawa terbahak-bahak melihat penampilanku.

“Ada apa?” tanyaku.

“Apanya "ada apa", gayamu itu loh sudah kayak bapak-bapak di warkop. Kok bisa kau pilih kacamata bapak-bapak begitu?” kata sahabatku, Ragil.

Aku pun melepas kacamataku seraya memperhatikan baik-baik alat bantu penglihatan tersebut. Sebuah kacamata berbentuk lonjong, serta berwarna emas, dan hiasan bergerigi di sampingnya memberikan dampak tua terhadap pemakainya.

“Ya juga ya, kok mirip kayak punya bapakku di Rumah!!” gumamku lagi dalam hati.

Aku pun tak mengira akan memilih yang gayanya setua itu, tentunya tak bisa kusalahkan abangku, karena ia memberikan beberapa pilihan padaku. Memang kegalauankulah yang membuatku memilih kacamata tersebut.

“Aduhai cinta, karena engkau aku menjadi buta dalam memilih kacamata!!”

****

Dua Tahun kemudian.

Butuh hampir dua tahun bagiku untuk menyembuhkan hatiku, hampir dua tahun pula waktu yang kubutuhkan untuk move on, dua tahun ini pula nilai akademikku anjlok ke titik terendahnya. Beberapa kali aku berusaha bangkit, beberapa kali pula aku jatuh.

“Dengan adanya alam, kau pasti yakin adanya Tuhan. Dengan mukjizat yang diberikan pada Nabi-Nya orang terdahulu kau yakin kebenaran nabi Muhammad SAW. Karena mukjizat merupakan pembenaran terhadap kebenaran Nabi tersebut, dan pembenaran tersebut takkan diturunkan kepada si pendusta. Dan bagimu yang pernah berjumpa dengan Nabi-Nya, cukuplah kabar-kabar yang meyakinkan lagi mutawatir tentang mukjizat nabi yang membuat engkau yakin kebenarannya. 

Nah, kalau akalmu sudah yakin dengan Nabi, pastinya engkau percaya dengan apa yang dibawa oleh Nabi tersebut, walaupun nalar dan pancainderamu tak mampu menjangkaunya. Kan sudah kujelaskan bahwa akal, nalar dan pancaindera terbatas, sehingga tak mampu menjelaskan semua eksistensi yang ada alam ini. Maka keyakinan engkau pada nabimu menjadikan engkau yakin juga adanya malaikat, surga, neraka, qadha juga qadar-nya.”

“Jika engkau tanya, bukankah Tuhan bisa menjalankan dunia ini tanpa malaikat, surga dan neraka. Hai bro, Tuhan melakukan sesuatu atas pilihan-Nya, bukan atas pilihanmu. Allah SWT. bisa saja melakukan segala sesuatu tanpa malaikat, tapi Allah sengaja menciptakan malaikat, dan tentunya nalarmu takkan memahami. Kalau akalmu yang mengatur buruk dan baiknya perbuatan Tuhan, kan jadi masalah itu, karna tau Tuhan ada tanpa ada sebab, mengatur tanpa diatur.

Masalah qadha, qadar, jodoh, kematian, itu pilihan Allah juga. Walau begitu, ia bukan pula alasanmu untuk meninggalkan usaha, karena nabi Muhammad mengajarkan kita untuk berusaha. Kenapa beliau membuat parit ketika perang Khandaq kalau tau bahwa semua di tangan Allah. Kenapa pula beliau menyuruh kita menjaga kesehatan, berobat kalau tau kita pasti sakit dan mati. Bukan tugasmu untuk mengatur semua itu, engkau berencana, Allah yang mengatur segalanya.”

“Jika itu takdir-Nya, tentu itu yang terbaik bagimu. Jika itu cobaan-Nya, tentu akan ada balasan yang setimpal atas sabarmu”

Nasehat guruku sebelum beliau berpulang ke tanah air itu menjadi titik balik semangatku. Membuatku kembali bergemuruh, memperbaharui niatku, visi-misiku di negeri Kinanah ini. Itu yang mungkin membuatku bertahan beberapa bulan terakhir ini.

Hari ini sembari pulang dari kegiatan English Course di Meuligoe KMA aku diamanahkan mengantar akhwat KMA yang tinggal dekat rumahku menggunakan bus.

Di tengah perjalanan, salah seorang dari mereka memberanikan diri memulai percakapan denganku, sehingga mahasiswi-mahasiswi lain pun ikut nimbrung ke percakapan kami. Memang aku agak jarang berbicara, semenjak kejadian beberapa tahun silam. Perbincangan kami pun melebar ke berbagai topik pembahasan.

“Bang, abang kenal dengan Dara Fonna, tidak??” tanya salah seorang dari mereka padaku membuat telingaku menjadi naik. Apa telingaku tak salah dengar, dan bagaimana ceritanya, kok bisa pula nama dia sampai ke kairo sini. Mungkinkah orang lain?

“Dara Fonna apa namanya?”

“Dara Fonna Sanusi, anak Pak Sanusi!!”

Aku menepuk dahiku.

“Oh Tuhan, kenapa Engkau biarkan nama itu disebut kembali??” batinku.



Editor: Ali Akbar Alfata

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top