Rasib, Pola Pikir dan Kewarasan Kita

 


Oleh : Muhibussabri Hamid*

Sumber: Unslpash.com, Michael Dziedzic

Dalam riwayat disebutkan bahwa semua yang terjadi dalam kehidupan orang Islam tidak pernah sia-sia. Jika berhasil dalam melakukan sesuatu urusan, mereka akan mendapatkan apresiasi atas keberhasilan usaha mereka. Jika tidak berhasil mereka akan mendapatkan hikmah atau pelajaran atas kegagalan tersebut. Artinya mereka tidaklah benar-benar hancur.

Namun dalam kenyataannya, mereka sangat susah menerima kegagalan yang terjadi sebagai sebuah proses menuju kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya mereka akan membuat sebuah narasi dalam pikiran dan hati mereka bahwa mereka telah gagal, hina, bodoh dan tidak memiliki tempat untuk kembali. Mereka harus menjauh dan tidak layak lagi bertemu dengan siapapun.

Selanjutnya narasi tersebut akan mereka yakini sebagai sebuah kebenaran yang akan ia pertahankan hingga mereka putus asa. Padahal keyakinan tersebut merupakan was-was syaitan, kedhaliman terhadap nilai kehidupan dan pengkerdilan terhadap nilai ketuhanan.

Pola ini tidak boleh terjadi dalam diri mereka yang beriman dengan agama Islam. Sebab seorang muslim menyakini bahwa dalam kehidupan di dunia tidak hanya dilihat dan dinilai dari sisi berhasil saja, namun juga ketika mereka gagal atas pencapaian-pencapaian tertentu. Sebutlah rasib (tidak lulus ujian) sebagai salah satu contoh nyata kegagalan menurut definisi kita.

Bagaimana bisa kita menganggap dan menerima keberhasilan (baca; najah) sebagai kejayaan namun menolak dan mengutuk gagal (baca; rasib) sebagai kehancuran. Serius, mental dan pola pemikiran ini naïf sekali dan harus kita perbaiki detik ini juga.

Perbaiki pola pikir

Tajuk ini pernah mencuat di 2014, hingga akhirnya keluarlah sebuat kolom menarik dalam Buletin el Asyi KMA yang berjudul “Rasib, Hinakah?”. Memori inilah yang mendorong penulis mengangkat kembali subtansi topik tersebut karena saat ini perkara yang sama kembali mencuat dalam tubuh KMA. Dalam tulisan tersebut penulisnya mengingatkan, bahwa publik tidak berhak menganggap orang rasib hina dan bodoh, sebaliknya orang rasib juga tidak boleh men-judge dirinya hina, dihina dan terhina dimata orang-orang.



Perkara ini tidak datang dari satu pihak saja, tapi dari dua arah, bisa saja lingkungan si rasib tidak sedikitpun menganggap dia hina, namun dia sendiri terlalu curiga, terbawa perasaan  dan berprasangka buruk terhadap orang di sekelilingnya. Padahal bisa jadi mereka ingin membantu kita, tapi karena terlanjur suuzan, akhirnya mereka takut dan menjaga jarak supaya tidak menimbulkan masalah baru.

Atau sebaliknya si rasib ingin survive, bangkit dan mencari bantuan dari lingkungan atas keadaan yang dia alami. Namun sangat disayangkan ternyata orang-orang menjauhi dan menganggap dia sebagai sebuah kegagalan. Walhasil dia pun menyerah dan berakhir depresi tanpa solusi.

Tetap waras dan keep fighting

Setiap orang bertanggung jawab dengan kehidupan mereka sendiri, artinya apapun jalan yang mereka pertimbangkan lalu mereka putuskan untuk mereka lalui, maka konsekuensi mereka yang akan menanggungnya sendiri. Siapapun itu, tidaklah bijak jika menjalani kehidupan mereka dengan klaim mulut orang-orang atau dengan hujatan komentar netijen. Mulut  yang berkomentar dan netijen yang mengkritik tidak menanggung konsekuensi yang akan kita jalani.

Amma ba’du, disisi lain sebagai makhluk sosial orang-orang bertanggung jawab atas beberapa hal yang terjadi dengan kita, karena kita bagian dari tatanan mereka. Jadi jangan sungkan datang untuk meminta tolong ketika terjepit, kehilangan arah, atau hanya sekadar Say hello.

Pun jika mereka datang menyapa, mencoba membantu dan mencari solusi atas masalah kita janganlah risih, acuh tak acuh, menganggap mereka sedang mengungkit aib dan datang untuk menghina. Bagi siapapun yang mencoba membantu, usakan dengan mauizah hasanah. Jangan sampai niat baik justru menghancurkan dan menyakiti saudara kita.

Lalu bagaimana cara menghadapi kondisi yang sedang kalian alami?

Guys, waraslah! Dalam hidup ini kita akan menemukan berbagai bunga kehidupan termasuk kegagalan. Jika mampu cobalah tetap fokus dan berbenah. Jika tidak mampu ketuklah pintu kamar orang-orang mahir untuk meminta tolong, atau bukalah pintu kamar kalian lebar-lebar supaya orang yang hendak membantu memapah kalian dari keterpurukan bisa masuk.

Kedepan masih banyak chapter lain yang harus kalian hadapi, ini masih belum seberapa. Jangan kehilangan diri kalian sendiri, terus melangkah. Ingat, kalian harus punya keinginan kuat untuk survive dibelantara ini. Jika ragu pulanglah, mungkin tempat kalian bukan disini.

*Penulis merupakan Dewan Majlis Syura Keluarga Mahasiswa Aceh di Mesir.

Editor: Annas Muttaqin.


 

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top