Mengenal Antropologi Sebagai Perantara Menguak Identitas Diri



Oleh: Ali Akbar Al Fata*
(Sumber: unsplash)

Salah satu sebab kemerosotan masyarakat adalah nihilnya pengetahuan tentang identitas diri sendiri alias krisis identitas. Pengenalan identitas belakangan disalah artikan sebagai bentuk eksklusivisme, sebuah pernyataan yang bersembunyi dengan senyapnya di balik demokrasi dan kebebesan berpendapat. Ketidakmampuan kita dalam memisahkan berbagai penyelewengan definisi membuat perkara semakin runyam.

Pihak yang senantiasa berusaha mengenal diri dan menjauh dari “persepsi umum” dianggap tertutup dan golongan tidak bisa move on. Sebaliknya, pihak yang selalu berjalan dengan elastisnya bersama modernitas dianggap maju sebagai sebuah masyarakat yang terbuka terhadap perubahan, tanpa mengkaji resiko dari perubahan-perubahan itu.

Kita lihat contohnya, sebagai orang Aceh, ada orang-orang yang berusaha menjaga bahasa Aceh sebagai bahasa utama sehari-hari. Dimana ada golongan lain yang memilih berbahasa Indonesia sebagai perantara yang lebih mudah, sehingga corong yang mereka miliki bisa lebih luas. Tidak ada yang salah di antara keduanya, karena pada akhirnya tidak semua orang harus berbahasa Aceh sebagai bahasa utama dan tidak semua orang harus berbahasa Indonesia sebagai bahasa utama, dengan berbagai alasan masing-masing. Namun, yang menjadi permasalahan, sering kali sesuai dengan contoh ini, yang berbahasa Aceh, baik secara sadar maupun tidak dianggap “orang mundur” atau “orang yang tidak bergerak.”

Secara teori memang contoh ini tidak boleh terjadi. Akan tetapi, pada kenyataanya ini terjadi. Harus diakui, di berbagai daerah yang secara kebiasaan masyarakatnya masih dekat dengan budaya, hal seperti ini terjadi. Tentu saja, ini disebabkan oleh persepsi, di mana perhatian lebih kita kepada kultur dan linguistik dianggap bentuk sikap tertutup. Dan lebih utamanya lagi krisis identitas ini menyebabakan sikap rendah diri dan pesimisme tak berdasar terhadap potensi yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.

Mengenal dan mempelajari Ilmu Antropologi merupakan satu dari sekian cara untuk mengenal diri. Antropologi sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu anthropos yang berarti manusia dan logos yang berarti wacana (bernalar, berakal) atau disebut ilmu. Secara etimologis, antropologi berarti ilmu yang mempelajari manusia.

David E. Hunter, salah seorang antropolog, dalam The Study of Anthropology (1976) menjelaskan, antropologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang lahir dari adanya keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia. Dipahami dari definisi ini bahwa objek dari Ilmu Antroplogi adalah manusia itu sendiri yang dikaji dari kedudukannya sebagai individu, masyarakat, suku bangsa, kebudayaan dan perilakunya.

Antropologi secara umum bertujuan untuk meningkatkan pemahaman manusia tentang identitas manusia itu sendiri. Perhatian utama ilmu ini adalah aplikasi penerapannya demi mencari solusi dari masalah-masalah manusia.

Manfaat Ilmu Antropologi

Salah satu tujuan antropologi adalah memajukan peradaban dengan mengenal karakter manusia. Bisa dilihat dari berbagai sisi:

1. Manfaat dari sisi Ekonomi

Salah satu hal penting dalam dunia industri adalah mengenal medan pasar yang akan diduduki. Dulu, saat ekonomi masih di tahap sederhana, berbicara dengan bahasa suatu daerah sudah membantu kelancaran bisnis. Namun, hari ini bisnis hadir dengan lebih kompleks, sehingga tuntutan pelaku usaha pun semakin besar, seperti menggunakan ilmu ini dalam praktek lapangan misalnya.

2. Manfaat dari sisi efektivitasnya bagi proses pengenalan diri

Ilmu Antropologi mengkaji manusia dari empat hal, yaitu arkeologi dimana dapat diketahui cara hidup manusia terdahulu melalui peninggalan mereka yang dapat dikaji secara fisik. Bisa juga dari sisi perubahan biologis suatu masyarakat dari masa ke masa, atau dari sisi budaya dan linguistik yang dimiliki serta proses perubahannya. Di ilmu Antropologi keempat hal ini dipelajari dalam satu kesatuan, sehingga dapat dikunyah dengan lebih efektif.

3. Menjawab keingintahuan dan rasa penasaran

Hal dasar yang harus dimiliki manusia adalah keingintahuan, khususnya terhadap diri sendiri. Ilmu ini pada tahap tertentu dapat menjawab rasa penasaran kita terhadap manusia sebagai orang yang memiliki ras tertentu. Mengenal identitas diri berarti beramal dengan hadis Rasulullah saw.. ;

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ

Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”

Dalam hal ini, mengenal diri sendiri merupakan langkah awal untuk mengenal Allah Swt. pada kadar-kadar yang diridhai-Nya.

4. Terbiasa terhadap keragaman dan memupuk rasa toleransi

Mobilitas yang tinggi hari ini menyebabkan orang dengan berbagai latar belakang sangat mudah berinteraksi atau bahkan bertemu secara langsung, yang artinya juga dibutuhkan komunikasi yang lebih rumit sesuai dengan karakteristik masyarakat yang dijumpai. Dengan belajar antropologi berarti memudahkan kita berdialog dengan keragaman itu sendiri, sehingga perbedaan ini bisa dipandang sebagai sebuah keindahan serta mengenal kekhususan-kekhususan segelintir orang atas yang lainnya, demi memupuk rasa toleransi yang tinggi.
(Gambaran kebiasaan masyarakat tradisional dalam mengolah dapur. Sumber foto: Pinterest)

Manfaat-manfaat dari Ilmu Antropologi ini bisa diimplementasikan sebagai cara-cara kita mengenal identitas diri. Sehingga, kita mampu menjadi orang yang tidak buta melihat potensi. Kebiasaan kita yang sangat meremehkan bangsa atau kaum sendiri sedikit demi sedikit bisa diobati dengan Ilmu ini. Karena pada akhirnya, end products dari Antropologi adalah pencegahan krisis identitas yang lebih jauh lagi. Adapun tujuan lainnya adalah membuat dunia sebagai tempat yang aman bagi manusia untuk hidup dalam keragaman.

Mereka yang secara khusus mengkaji ilmu ini atau secara umum belajar sejarah tidak boleh dipandang sebagai orang kolot yang tidak mau maju dan banyak berhalusinasi. Agak lebay gambarannya memang, tapi diyakini persepsi seperti ini masih berkeliaran di sekeliling kita. Ya, benar, hal yang kurang tepat dari belajar sejarah adalah ketika sejarah tersebut tidak mampu menggerakkan kita. Tidak ada hikmah yang terealisasi dengan nyata. Namun, bukan berarti ia sama sekali tidak bermanfaat.

Akhirnya, Kekolotan yang mereka nisbahkan itu sebenarnya bermuara pada mereka sendiri yang hanya terus maju tanpa mau merefleksikan diri ke belakang. Tanpa tahu, mereka melewati berbagai potensi yang sebenarnya dimiliki kaum atau bangsa mereka, dan akhirnya potensi itu hanya lenyap dikuras masa.

Sebaliknya, belajar Ilmu Antropologi, sejarah, dan sebagainya merupakan pemantik semangat. Dengan keyakinan bahwa suatu bangsa dapat merangkak naik peradabannya dengan apa saja yang orang-orang sebelum mereka pernah lakukan.

Ketika kita berbicara tentang potensi, bukan berarti kita sedang membicarakannya dengan makna harfiah, melainkan mempelajari sejarah Aceh sebagai identitas. Bukan pula membuat Aceh seperti masa khilafah Utsmaniyyah, atau Aceh mampu berperang dan sebagainya, akan tetapi menyadari potensi bahwa orang Aceh punya pemikiran yang revolusioner, anti-mainstream dan memiliki nasionalisme serta patriotisme yang luas. Dengan bekal tersebut, Aceh bisa melakukan banyak hal. Dan indikasi sifat-sifat tersebut tidak akan diketahui dengan duduk di kafe atau shoping seperti yang “orang maju” itu lakukan. Namun, dengan belajar sejarah atau Ilmu Antropologi secara khusus, atau bahkan dengan sekedar sifat peduli nan tulus dalam menjaga budaya. Wallahua’lam.[]

*Penulis merupakan mahasiswa tingkat 4 Fakultas Ushuluddin jurusan Akidah dan filsafat Universitas Al Azhar.

Editor: Annas Muttaqin

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top