Saya Terima Nikahnya

Oleh: Muhammad Dany*
Sumber: www.wallpaperbetter.com
Kuliah sudah dua pekan berlangsung setelah liburan musim panas kenaikan semester. Kini aku sedang berada di ruang al-Muzani, ruangan terbesar di kampus setelah aula utama.

Hari ini aku hadir ke kuliah lima belas menit lebih cepat dari biasanya, serta bergegas menghagaz bangku barisan pertama, bukan karena apa-apa, melainkan sebentar lagi para mahasiswa akan melanjutkan bab yang memang sudah dinanti-nanti oleh para single seperti kami ini. Ditambah lagi cita-citaku yang ingin menjadi penghulu KUA.

Mataku menatap papan tulis kosong, kucoba mengingat kembali hal apa yang kupelajari minggu lalu. Hanya sebuah pertanyaan dari mahasiswa berambut pirang yang kuingat, aku yakin seisi kelas pasti mengenalinya, pasti karena pertanyaan-pertanyaan super anehnya itu.

"Duktur! Apakah medali emas bisa dijadikan mahar?" Tanyanya pekan lalu.

"Wadaw... itu persis seperti pertanyaan di segmen kultum pemuda tersesat, yang baru saja kutonton sebulan yang lalu. Apa jangan-jangan dia ahbab pemuda tersesat cabang luar negeri? Hehehe," gumamku dalam hati.

Yah, bagiku dia bisa dimaklumi, karena ia berasal dari negara minoritas muslim, pantas saja jika amatir di dunia Islam. Tapi tidak semua orang mengerti keadaannya itu, sehingga ada beberapa yang bersikap usil terhadapnya serta mengolok-oloknya.


Semua olokan tidak menjadikannya putus asa, ia yakin dengan bersabar dan bersungguh-sungguh Allah akan memberikannya futuh.

Kami tak tau nama si mahasiswa berambut pirang itu, tapi yang jelas kami sepakat memberi laqab untuknya Abu Sual (si kepo). Sebelumnya seseorang pernah bertanya tentang namanya, tapi tidak ada yang berhasil mengulangi namanya tersebut dengan fasih, bahkan bisa-bisa lidah dibuat "terkilir" saat melafazkan nama itu, saking sulitnya.

***
Dosen Kamal telah tiba, beliaulah yang akan mengajar bab nikah pada mata pelajaran Fikih Perbandingan semester tiga, beliau merupakan ulama mazhab Syafi’i terkemuka di dunia. Ia telah menyelesaikan gelar doktor di tiga jurusan, yaitu di ushul fiqh, siyasah syar’iyah dan yang terakhir di jurusan fiqh muqaran.

Di samping memiliki ilmu dan gelar yang agung, tetapi duktur Kamal bersikap sangat sederhana dan santai. Buktinya beliau selalu menanggapi pertanyaan Abu Sual dengan baik.

Pekan lalu kami telah mempelajari pengantar dari isi bab nikah, mulai dari definisi, rukun, syarat, dan seterusnya. Sekarang masuk ke pembahasan al-wilayatu fi a’qdi an-nikah (hak wali pada akad nikah).

"Di antara hak seorang wali ialah memiliki hak ijbar, ada yang tahu apa itu hak ijbar? Hak ijbar ialah hak wali (ayah atau kakek) untuk menikahi anak gadisnya tanpa perlu meminta rida gadis itu,” jelas sang duktur.

Tiba tiba Abu Sual mengangkat tangannya dan mengatakan "Ana lam afham ya duktur ma huwa haqqu ijbar?" (Dosen, saya belum paham apa itu hak ijbar?).

"Baik, kita ulangi lagi bahwa ijbar ialah hak wali (ayah atau kakek) untuk menikahi anak gadisnya tanpa perlu meminta rida gadis itu. Misal kita contohkan seorang ayah yang memiliki anak perempuan, boleh bagi ayah tersebut menikahi anak perempuan itu kepada lelaki yang selevel tanpa izin si perempuan itu,” tegas duktur.

“Saya belum paham juga wahai dukturku,” ungkap Abu Sual lagi dan lagi.

“Belum paham juga? Oke. Saya memiliki anak perempuan bernama Samirah, kemudian saya katakan kepadamu 'Saya nikahkan kamu dengan Samirah dengan mas kawin tunai.', padahal Samirah belum tentu rida dengan akad ini,” jelas duktur yang ketiga kalinya.

"Saya terima nikahnya," ungkap Abu Sual dengan polosnya.

Mendengar kata itu duktur Kamal langsung bangun dari tempat duduknya, dengan cepat dan mengatakan dengan keras "Ceraikan dia, ceraikan!!!" Lalu suasana hening beberapa saat, keheningan hilang usai tersenyumnya sang dosen, kami pun ikut tersenyum diiringi tawa halus "hahaha" dalam situasi langka ini.


Melihat kegigihan Abu Sual dalam menuntut ilmu dan niat ikhlasnya untuk menyebarkan risalah Islam, ketika ia kembali ke negaranya nanti, akhirnya duktur Kamal meridai putrinya itu dinikahi oleh Abu Sual. Yang beruntungnya lagi putri Samirah tidak keberatan, jika ia diajak bermukim di tanah air calon suaminya itu, untuk sama-sama mendakwahkan Islam.

Berkat memiliki mertua ulama, kini Abu Sual memiliki keunggulan lebih dibandingkan kami semua. Ia ibarat istimewanya Said bin Musayyib dengan ulama lainnya berkat memiliki mertua Abu Hurairah.[]


*Penulis merupakan mahasiswa Univ. Al-Azhar, Fakultas Syari'ah Islamiyah
Editor: Syafri Al Hafidzullah

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top