Syariahkah Bank di Aceh?


Melirik dinamika perbankan Aceh merupakan suatu hal yang menarik. Karena penerapan sebuah sistem perbankan yang berbasis syariat di Aceh sebenarnya adalah salah satu bentuk realisasi  tuntutan rakyat Aceh selama ini (baca:penerapan syariat Islam secara kaffah). Walaupun masih belum optimal, perjuangan rakyat untuk menerapkan hukum hudud telah mulai menampakkan titik terang, dengan diadakannya hukuman cambuk, razia miras, razia khalwat, jilbab, pakaian ketat, dan sebagainya. Dari sini kita dapat merasakan adanya usaha perbaikan terhadap problematika sosial dalam masyarakat. Namun, karena Islamisasi di bidang sosial tidak bisa berjalan sendirian demi kesempurnaan penerapan syariat Islam, maka aktualisasi nilai-nilai ke-Islaman di bidang ekonomi juga merupakan suatu keharusan. Salah satu jalan ke arah itu adalah dengan optimalisasi perbankan syariat.

Tidak dapat dipungkiri, berbagai fakta di lapangan menunjukkan bahwa  tahap profesionalisme bank-bank yang berbasis syariat di Aceh masih sangat rendah, yang pada akhirnya berujung pada minimnya nasabah. Dari segi informasi dan promosi  misalnya, hanya terkonsentrasi di kota-kota besar saja. Bahkan data menunjukkan bahwa terdapat 11 kabupaten/kota di Aceh yang belum terakses oleh bank Syariat, yaitu Aceh Jaya, Aceh Barat Daya, Aceh selatan, Kota Subulussalam, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Bener Meriah, Kota Sabang, Aceh Tengah dan Pidie Jaya. Minimnya informasi ini membuat masyarakat tidak saling "meu eu eu" untuk menabung di bank syariat. Mereka malah masih ngebet untuk menyimpan uang mereka di bank-bank konvensional. Padahal industri perbankan berbasis syariat   yang mempunyai sistem rabbani telah teruji dan terbukti lebih tahan menghadapi terpaan badai krisis baik tahun 1997-1998 maupun tahun 2008 lalu.

Penting untuk diketahui, total aset yang dimiliki bank umum Syariat sekarang ini adalah Rp 2,258 triliun (berbanding total aset bank umum konvensional, Rp 26,940 triliun) dan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar Rp 1,130 triliun (berbanding Rp 12,269 triliun). Walaupun pada awal-awal kemunculannya perbankan syariat terlihat mempunyai prospek yang cerah, namun dalam 2 tahun belakangan ini antusiasme mengembangkan perbankan syariat terlihat cenderung mengalami stagnansi. Wajar jika market share perbankan syariat dewasa ini hanya 7,7 persen, DPK 8,4 persen, dan kredit sebesar 8,3 persen. Angka-angka di atas cukup menjadi indikasi bahwa ada sesuatu dalam tubuh bank-bank syariat di Aceh yang perlu dibenahi.

Masalah pemberian fasilitas pembiayaan (kredit) juga merupakan sebuah homework yang harus segera diselesaikan. Citra negatif yang sedang terbentuk dalam masyarakat sekarang adalah anggapan bahwa bank syariat menyediakan fasilitas pembiayaan yang lebih sulit ditembus oleh rakyat dan pengusaha di Aceh atau lebih mahal dibandingkan kredit bank konvensional.

Kurangnya tenaga kerja yang berkompeten di bidang perbankan syariat   Aceh juga merupakan sebuah kendala yang harus segera dicari solusinya. Selayaknya setiap bank memiliki Dewan Penasehat Syariat (DPS) yang kapabel dan berkualitas (memahami ilmu fiqh, usul-fiqh serta ilmu ekonomi dan keuangan konvensional) untuk memastikan kehalalan operasional dan produk yang ditawarkan bank Syariat. Hal ini penting, mengingat sebagian masyarakat yang memiliki kesadaran beragama yang tinggi bersikap sangat selektif dalam memilih produk-produk investasi yang benar-benar sah (lawful).

Stagnansi perkembangan perbankan syariat juga turut disebabkan oleh kesadaran ke-Islaman sebagian masyarakat Aceh yang rendah. Bagi mereka mengambil bunga atau bertransaksi dengan sistem ribawi dianggap hal yang biasa, karenanya menabung atau meminjam uang pada bank syariat dan konvensional tidak ada bedanya. Ekoran dari anggapan yang kabur ini, penilaian mereka jika ingin bertransaksi hanya terfokus pada layanan dan jumlah rate yang mesti dibayar kalau meminjam uang pada bank tersebut. Bank yang memiliki layanan bagus dan menawarkan kredit dengan margin yang rendah akan menjadi primadona. Sebagian lain terkesan berusaha mencari helah dengan justifikasi bahwa bertransaksi dengan bank konvensional sah-sah saja karena telah sampai pada tahap darurat.

Peran pemerintah Aceh untuk memajukan perbankan syariat di nanggroe juga tak terlihat signifikansinya. Padahal -merujuk pada MoU Helsinki- pemerintah kita punya power ke arah itu. Dalam point 1.3.1 dari butir MoU yang mengatur masalah ekonomi disebutkan, “Aceh has the right to raise funds with external loans. Aceh has the right to set interest rates beyond that set by the Central Bank of the Republic of Indonesia (Aceh berhak menggalang dana bersumber dari pinjaman luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat bunga yang berbeda dengan yang ditetapkan Bank Indonesia (BI)”. Secara implisit ini berarti bahwa, bank syariat yang dioperasikan berbeda dengan bank konvensional yang menetapkan tingkat bunga sesuai dengan regulasi BI dapat dilaksanakan sepenuhnya di Aceh. Dengan kata lain, pemerintah Aceh berhak menetapkan kebijakan bahwa semua bank dan institusi keuangan yang beroperasi di Aceh harus berlandaskan syariat.

Demikianlah secara singkat paparan wajah perbankan syariat di nanggroe tercinta. Sekedar mengingatkan, sebagai bagian dari masyarakat Aceh terlebih lagi selaku mahasiswa yang "meuphom" agama, sudah selayaknya kita ikut berpartisipasi dalam mengembangkan perbankan syariat sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas  diri kita masing-masing. Kesimpulannya, problematika perbankan syariat di Aceh sekarang dapat dibenahi dengan kerjasama holistik dari seluruh komponen aktor ekonomi Aceh, melibatkan masyarakat, pemerintah, dan bank itu sendiri. Sudah saatnya kita bangun dan berbenah, menuju Aceh yang lebih baik. Allaahu musta'an. (dari berbagai sumber)


Karya Tgk. Rahmat Zul Azmi
Sedang menyelesaikan Thesis Magister di Universitas Al-Azhar Kairo, Studi Kepakaran Perbandingan Mazhab
sudah pernah dimuat di Buletin el-Asyi

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top