Tak Tahu Jalan Kenangan

Oleh: Darwin Robusta


(Image source: pixabay.com)

1. 

Sekali ini aku merasakan nyatanya cinta sehalus bunga alang-alang meliuk-liuk di depan mata pada siang bolong. Terlihat kentara, matahari dan terik bersandar pada sekujur daun dan warna. 

Aku mengantuk. Dalam kantuk nan berat itu sayup-sayup kulihat alang-alang beserta bunganya berdiri di tepi jalan, barangkali sejak lama telah tumbuh di situ, dan tak ada yang mau membabatnya, karena orang-orang bisa merasa kasihan pada bunganya yang halus. Ah, aku menunaikan kantuk lagi. 

Sebentar kemudian, aku terbangun lagi setelah tadi berkali-kali terbangun karena bis sangat penuh dan sesak, bikin gerah. Aku membuka mata lebar-lebar dan kudapati bis masih terjebak dalam kemacetan panjang, bergeming tak melaju. Aku menoleh ke luar, orang-orang dibakar gerah oleh mobilnya sendiri. Mereka mencoba membuka jendela kaca, debu-debu mendesak masuk. Segala hal tak nyaman. Di luar semrawut, di dalam sini klakson ribut. Aku memilih menjadi layu saja. 

Dan lagi-lagi aku terbangun lantaran mobil sedan yang berada di sebelah bis yang kutumpangi meraung-raung, penyetirnya mengentak-ngentak diri di belakang setir. Gerah, kesal, jengkel dengan mobil di muka, lapar, polusi!. Aku tidak melanjutkan menjadi layu karena telah kulihat lagi dengan kentara Bunga Alang-Alang yang rupanya adalah seorang perempuan mengenakan baju warna hijau bambu betong muda dan jilbab putih bunga alang-alang. Si Bunga Alang-Alang berlindung dari matahari terik yang bikin tengik. Ia berdiri di halte dan membubuhkan tangan di keningnya sembari menyelidik satu-persatu tempat kosong di dalam bis. Di saat-saat seperti itu, ia terlihat cantik dengan beauty mole-nya di ujung pelupuk mata bawah kanan. Dan ia terlihat lebih cantik karena cahaya matahari menyiramnya dengan seluruh, Bunga Alang-Alang anggun tiada tara. 

Nyatanya Bunga Alang-Alang adalah seorang perempuan Kutaradja. Kini aku tahu, dalam kantukku tadi, dari luar bis, Bunga Alang-Alang menyelidik setiap tempat duduk bis yang aku tumpangi, barangkali ada yang tersisa kosong. Apakah dia sempat melihatku yang terantuk-antuk di atas tempat duduk karena terkantuk-kantuk? Ai, aku tak bisa layu, melirik sana-sini, entah kemana Si Bunga Alang-Alang bertiup. Ia tak terlihat lagi, barangkali kealingan orang-orang di halte, atau barangkali Bunga Alang-Alang memilih bis lain di belakang yang kebetulan kosong. 

2. 

Sore yang bising. Di dalam gelas kopi sunyi, ia merasa sepi, tetapi aku telah berada di sampingnya, menjadi teman baik seadanya. Di bawah awan, burung-burung memekik hendak menurunkan jiwa-jiwa yang rindu rumah. Di bawah sini, mobil dan motor membunyikan klakson di sepanjang jalan seakan menghardik jalanan karena tak tahu jalan pulang. Kurang lebih demikianlah sore, senja pun sebentar lagi menjelma ribut dikarenakan suara ibu-ibu penyayang kepada anak-anak yang pada masanya memang suka main, pulang-pulang rupa buluk, badan bau aspal, segala macam. Namun ibu tetap sayang tiada alang. 




Segala hal di dalam gelas tidak bisa menyingkirkan Bunga Alang-Alang di kepalaku. Ia akan tetap utuh sebagai kenangan. Bahkan kebisingan orang-orang di jalanan tak bisa membuyarkan ingatanku pada Bunga Alang-Alang. Ingin aku mengimajinasikan berada di dalam kemacetan seperti saat kemarin, tapi untuk hal lain: memusingkan Bunga Alang-Alang di dalam ingatan. Untuk itu, aku butuh satu gelas yang digenangi kopi untuk kemudian dikosongkan, karena di dalam lekukan gelas itu, aku ingin meringkuk bersama bayang Bunga Alang-Alang. 

3. 

Seusai datang pagi, jendela kusingkap dikarenakan segelas kopi. Kuseruput dengan hati-hati agar semua yang kukangeni senantiasa dikasihani. Termasuk kerinduan pada sebuah kemacetan dan apa yang terjadi di dalamnya. 

Aku dituntut berjanji kepada gelas kopi agar segera kusudahi genangan, eh, kenangan. Karena kenangan, walaupun sekedar kemacetan yang berisi kebisingsan, dan sehari setelah itu terisi dengan bayang Bunga Alang-Alang, semua itu merupakan sebuah kebingungan. Jatuh cinta karena sekelebat saja menatap kecantikan itu adalah mengeja kecantikan, sama dengan memuji kelebihan wanita, bukanlah satu hal yang lebih memukau daripada burung yang terbang di bawah rintik-rintik hujan. Kenangan yang berisi tentang pengejaan terhadap kecantikan wanita merupakan pekerjaan buang-buang waktu. Jika kenangan itu dilanjutkan, bayang-bayang bisa bergenang lalu menjadi rimba hantu di dalam kepala, semakin hari semakin sesak, bisa-bisa meledak. Mengerikan! 

Jangan menyalahkan seorang perempuan jika tak bisa melihat kecantikan itu kembali di hadapan mata, karena kecantikan itu sekelebat. Bunga-bunga terus bertumbuhan, bukan satu, tetapi melebihi seribu. Begitu bunyi wangsit yang terbit dari gelas kopi. 

4. 

Dua hari kemudian, aku tak mengopi lagi di muka jendela. 

Di Downtown, terminal, halte-halte bis, toko-toko butik, toko buku, zebra cross lampu merah, PKL, Perpustakaan Wilayah, stasiun Metro, dan di sepanjang tepi sungai yang membelah negara itu, aku bertanya kepada orang-orang, “Adakah di sini seseorang bernama Bunga Alang-Alang?” mereka malah bingung, lebih bingung daripada orang yang bertanya. Aku mencari-cari Bunga Alang-Alang dan aku melupakan semua keajaiban kopi beserta apa yang menyembul darinya. 

Selanjutnya, aku memesan tiket kereta ke Alexandria untuk keberangkatan sore menjelang jingga. Aku tiba di sana pada malam yang sendu, penuh rindu pada seseorang yang berada di dalam kenangan. Umpama akar randu, ingatanku kuat pada kenangan bersama bayang Bunga Alang-Alang. 

Tak henti aku mencari Bunga Alang-Alang ke segala penjuru kota, penjuru bangunan, gedung-gedung, losmen, hotel, alhasil nihil. Hanya kudapati sekuriti dan kawanan kucing dapur yang sudah barang tentu tengah meyelidik kaki-kaki manusia agar bisa berlagak leyeh-leyeh sehingga dikasihani, ai, predictable! 

Di sebuah keramaian malam di tengah kota, kulihat banyak perempuan mengenakan baju hijau bambu betong muda, bahkan ada yang mengenakan jilbab putih seperti yang dikenakan Bunga Alang-Alang di hari kemacetan itu. Aku sendu tak terperi. Kemudian aku memelesat ke sebuah kedai minum, memesan teh hangat tak pakai gula. Aku duduk di tengah-tengah bising bualan orang-orang, kota yang ramai, hiruk pikuk yang menyenangkan. Kuseruput teh sedikit mengikuti suasana hati. Dalam pada itu aku punya angan kecil, aku ingin waktu bergerak dengan cepat supaya aku segera menjumpai pagi dan Bunga Alang-Alang. Berjumpa dengannya saling menatap di kursi kedai minum. Amboi, Tuhan pasti sedang mendengar angan kecilku. 

Baca Juga : Berdua dengan Uwuwu

Pada malam itu juga, kudapati seorang perempuan duduk berdua dengan hape, bertiga dengan enternet. Ia datang lalu memilih duduk di kursi tepat di depanku tak lama setelah pesananku diantar. Sungguh, ia tak tahu bahwa aku juga sedang sendiri karena memang ia tak memerhatikan. Namun melihatnya aku layu, berharap dialah Bunga Alang-Alang itu, tapi tak mungkin, Bunga Alang-Alang kurasa tak bongsor seperti itu. 

Seusai minum teh, aku berpulang kembali ke stasiun kereta. Di sana aku tercenung lama sekali sampai jauh malam. Aku tidak tidur karena mataku diganjal bayang Bunga Alang-Alang. Aku adalah manusia nokturnal pada sebuah malam yang sendu, aku adalah malam yang diisi dengan kenangan seorang perempuan gelis nan anggun. 

5. 

Di dalam kepalaku, saudara angin menghembuskan bunga alang-alang. Digiringnya dari selatan ke utara lalu ke selatan lagi, kenangan berpindah-pindah tempat: di dalam bis, kemacetan dan halte. 

Aku bangkit dari tempat duduk dan kutemui pagi dan matahari cengar-cengir di depan mukaku. Kemudian aku menengadah dan berlalu keluar dari area stasiun. Bulan menyimpan sebuah rahasia bahwa aku tak tidur semalam suntuk. Bulan melucuti rasa senduku, membasuh kening dan mengasihaniku. Dahsyatnya gejolak ingatan, sepanjang mataku melek, kenangan di dalam kepala tak pernah libur. Seluruh waktuku telah dihajar dengan dijejalkan bayang kenangan, yang lain pada minggir dulu. 

Pagi itu, aku meluncur ke pantai menumpang minibus hanya memerlukan 3 Pound saja. Sesampai di pantai, aku mencari-cari Bunga Alang-Alang. Mengintai setiap perempuan yang mengenakan baju hijau atau jilbab putih dengan bertanya, “Apakah puan bernama Bunga Alang-Alang?” mereka bingung, lebih bingung dari diriku sendiri. 

Lalu aku memelesat ke bawah payung santai menemui banyak orang, lalu menanyai mereka,“Apakah ada di antara kalian yang melihat Bunga Alang-Alang?” mereka mengeryitkan dahi, bingung. 

Belum terhenti, aku menghampiri anak-anak kecil yang tengah membangun sebuah istana dari pasir di tepi pantai. Lantaran kuyakin anak kecil gemar mengatakan segala hal dengan jujur, aku lekas menanyai mereka, “Apakah ada di antara kalian yang pernah melihat Bunga Alang-Alang di pantai sini?” Aku kehabisan akal, dan menjadi bingung. 

Tiba-tiba aku teringat-ingat pada wangsit yang mencungul dari gelas kopi tiga hari yang lalu. Sepanjang jalan menuju kedai minum terdekat aku menahan diri untuk mengenang kenangan, barangkali benar, aku sedang tersesat di jalan menuju kenangan. 

Kupelankan langkah menjelang kedai minum, bermenung-menung soal kebodohan diriku sendiri. Tanpa ambil tempo, begitu duduk aku langsung memesan kopi. Tak lama kemudian kopi diantar ke hadapanku dan seketika itu aku tercenung dan menganga lebar, lalu berkata lirih, “Barangkali Si Bunga Alang-Alang itu istri orang.” kenanganku luruh perlahan umpama dedaunan di penghujung musim. 

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top