Berdua dengan Uwuwu

Oleh: Darwin Robusta*
Image Source : Catster.com


1.

Nama laki-laki yang memperlakukanku dengan gemulai setiap kali aku mengeong minta makan adalah Darwin. Dia tinggal berdua denganku di sebuah rumah yang dikontraknya di Lampulo, daerah pesisir Banda Aceh.

Di dalam rumah, jika aku bersirobok dengannya dia akan menyambar lalu mengangkat tubuhku tinggi-tinggi sampai aku ketakutan dan mataku mendelik lebar sekali. Di dalam situasi seperti itu, biasanya dia akan menirukan bunyiku: ngiowng... ngiowng.

Sembarang waktu, meskipun dia berpapasan denganku namun tengah disibukkan dengan sesuatu, dia akan sekadar berbunyi saja, ngiowng... ngiowng. Tidak sampai menyentuhku. Di lain waktu, Darwin akan menemuiku di sudut lain di dalam rumah, mesti setelah itu dia menirukan bunyiku: ngiowng... ngiowng, kemudian mengangkat tubuhku tinggi-tinggi, aku bahkan terlambung!

Darwin memanggilku "Uwuwu", meskipun mula-mula namaku bukan itu. Sebutan nama itu merupakan kebahagian baru dalam hidupnya. Namaku Jiaw, seorang wanita telah memberikan nama itu kepadaku. Itu dilakukannya lantaran dia terinspirasi oleh sebuah grup band Korea Utara yang ketenarannya melampaui langit ketujuh dan tercium ke seantero kerak bumi popularitasnya: Jiaw Soya.

Beberapa hari kemudian di suatu hari, dia memenggal separuh label nama itu untuk diberikan padaku. Seterusnya aku dipanggil-panggilnya: Jiaw.. Jiaw… Jiaw, aku membalasnya: "ngiowng... ngiowng... ngiowng, beri aku makan, Manusia!"

2.

Seorang wanita yang diberi nama oleh mamaknya Dianur, yang selama dua tahun terakhir telah merawat diriku dengan baik, akan merantau ke Australia untuk beberapa tahun ke depan. Dia kata, keluarganya juga ikut. Di sana dia akan mendaftarkan diri di sebuah universitas dan menjadi seorang mahasiswi di Fakultas Kedokteran Hewan, begitu impiannya.

Pada suatu subuh, Dianur terjaga dari tidurnya lantaran mendengar azan dari masjid. Segera dia menghambur ke kamar mandi mengambil wudu lalu salat. Setelah salat, dia ongkang-ongkang di pinggiran tempat tidur sembari berpikir, bagaimana dia bisa meninggalkan diriku sedangkan dia sangat menyayangiku.

Dia tentu sangat sedih dan tak sampai hati mau meninggalkan diriku. Dengan muka kerut, Dianur berusaha bercakap-cakap denganku sembari mengelus punggungku sekenanya:

"Jiaw, Nur mau pergi jauh, bagaimana jadinya keadaan Jiaw di sini nanti?"

"Ngiowng... ngiowng... ngiowng."

"Nur tak tega tinggalin Jiaw di sini, Nur sedih."

"Ngiowng... ngiowng."

"Tapi Nur harus pergi ke Australia dan Jiaw tidak mungkin Nur bawa ke sana." Dianur benar-benar sedih, tak sampai hati dia denganku, mukanya semakin mengerut.

"Ngiowng... ngiowng... ngiowng."

Lalu pagi itu, aku tertidur di depan kamar mandi, melakukan tren belalang sembah. Bangun-bangun tak kudapati Dianur di rumah—entah kemana dia bertiup—dan tak pula kudapati biskuit di mangkukku. Padahal aku sangat lapar.

3.

Esoknya, menjelang Zuhur, Dianur menghampiri mamaknya di ruang tamu, aku sedang melendoti sofa nan empuk di samping mamaknya. Saat itu Dianur membawa kabar baik yang dia dapatkan dari kawan SMA-nya. Kawan SMA mendapatkan kabar itu dari sepupunya, Si Sepupu mendapatkan kabar dari abangnya yang tengah berkuliah di salah satu universitas swasta.

Abangnya kata, di sana ada kawannya yang berkenan dengan kucing, yang menurut selembaran informasi yang dapatinya di sebuah tiang listrik, kucing itu mau dilepas oleh pemiliknya tanpa ketentuan apapun. Maka si Kawan memberi tahu sekaligus bertanya-tanya kepada si Abang—kawannya—barangkali si Abang itu tahu soal kucing itu.

Maka si Abang menanyakan perihal itu kepada adiknya, si Adik iseng-iseng bertanya kepada sepupunya, si Sepupu teringat dengan kucing kawan SMA-nya, karena si Sepupu ini menduga kalau kucing itu adalah milik kawan SMA-nya tersebut, maka dia bertanya soal informasi tentang kucing yang tertempel di tiang listrik pada kawannya, Dianur.

Rupanya memang benar dugaan si Kawan. Kemudian Dianur lekas-lekas meminta si Kawan ini untuk menanyakan laki-laki yang pada mulanya tadi mau menampung diriku di rumahnya.

Aku masih melendoti sofa di samping mamaknya Dianur. Kulihat Dianur merasa lega dengan adanya orang baik hati yang mau merawat Jiaw-nya ini. Kemudian, kulihat si Kawan SMA kembali lagi ke rumah dengan membawa kontak hape seorang laki-laki yang didapat dari sepupunya, si Sepupu pasti dari abangnya tadi.

Maka, Dianur menghubungi si Laki-laki. Tak lama kemudian, laki-laki itu datang dan berhenti di beranda, lalu Mamaknya Dianur mempersilakannya masuk, disambut pula oleh si kawan SMA.

Dianur menjamunya dengan segelas susu kedelai kesukaan Ayahnya dan dengan kue-kue di dalam toples. Setelah ba-bi-bu, si laki-laki yang kini kukenal dengan nama Darwin berpamitan dan langsung menenteng kandangku—aku di dalamnya—hendak dibawa pulang.

Di beranda rumah Dianur melinangkan airmata. Sedih nian. Semakin ke bahu jalan, semakin berkaca-kaca matanya kulihat. Kemudian Dianur melambaikan tangan untukku, berkali-kali, sambil memeluk mamaknya, mamaknya ikutan sedih. Aku mengeong.

4.

Benar kata orang, cinta tak mengenal waktu dan rupa. Nyatanya Darwin tengah memendam rasa cinta kepada Juhayna. Beberapa minggu setelah kepindahan Dianur ke Australia, cintanya kepada Juhayna semakin aduhai, susah nian dikoyak perasaannya itu.

Sekali waktu, Darwin mengajakku bicara sambil goleran si atas lantai dan aku diletakkannya di dadanya.

"Wuwu, boleh tidak tuanmu ini jatuh cinta? Cinta pertama!"

"Ngiowng... ngiowng... ngiowng."

"Wuwu tahu tidak, jatuh cinta itu sangat menyenangkan?"

"Ngiowng... ngiowng... ngiowng."

"Aduh, Wuwu mengeong saja dari tadi. Tenang, Wu, entar aku carikan kucing pejantan untuk Wuwu."

Mendengar itu aku kaget bukan buatan, melonjaklah aku karena baru kali ini lagi aku mendengar kata jantan semenjak kegagalan di perkawinanku yang pertama—kala itu si jantan tak lihai menanamkan benih, sial!— namun kali ini bisa jadi lebih mantap, Darwin mau mencarikan pejantan untukku, aku bakal kawin lagi.

Juhayna dan Darwin saling bertemu di rumah Dianur sewaktu menjemputku ke sana beberapa minggu yang lalu. Darwin matanya suka jelalatan. Namun yang kutahu, Juhayna itu adalah cinta pertama dalam hidupnya. Aku yakin itu karena selama ini tidak pernah mencungul ke permukaan nama lain selain nama Juhayna itu.

Untuk lebih meyakinkan, di beberapa peristiwa contohnya, sewaktu bercokol di muka pintu di sore hari, dia menulis puisi untuk Juhayna, begitu usai, dia mendesis saking mantapnya gubahan puisinya. Sewaktu mandi, dia melagukan nama Juhayna, pakai irama lagu Tuan James Brown: I feel good! tereret tetereret, menjadi: Juhayna! tereret tetereret.

Sewaktu mau makan, bukannya baca doa, malah dia kata: "Juhayna sedang apa ya di sana?" Sambil menatap langit-langit rumah.

Hebatnya, di sembarang waktu, jikalau Darwin sedang berkutat dengan nama Juhayna sedangkan aku mengeong minta makan, lekas-lekas ditinggalkannya segala perihal demi kebutuhanku.

5.

Kepada Juhayna, Darwin hendak bertanya soal pejantan melalui hape yang menurutku itu hanya modus semata, padahal bisa ditanyakannya kepada tetangga di mana gerangan pejantan-pejantan itu bisa dicarikan. Tak tahan, dia langsung mengontak Juhayna saja, pasang badan tegak-tegak sambil waspasa terhadap sipu dan malu. Namun, melalui hape itu, kulihat Darwin gelagapan menjawab pertanyaan dari Juhayna untuk apa malam-malam begini menghubungi Juhayna.

"Ini, Ju, penting sekali... Hmmm. Apa ya?"

"Kau kenal aku, kan?" kata Darwin.

"Tidak, siapa ya?"

"Ini aku Darwin, yang kau mintai nomor hape melalui sepupumu, kita berjumpa di rumah Dianur tiga minggu lalu."

"O, kau ternyata Bang. Maaf, Bang, nomormu tak tersimpan." Setelah itu Juhayna cengar-cengir, merasa cihui.

Percakapan mereka menjalar-jalar sampai jauh malam, padahal baru pertama kali saling bersapa meskipun melalui hape. Ketika di rumah Dianur tiga minggu lalu, Darwin berlagak seolah tak mau menyapa, padahal matanya bolak-balik pada Juhayna.

Sementara itu, aku merasa senang menunggu saat-saat Darwin akan menanyakan soal kucing pejantan kepada Juhayna meskipun dia berlama-lama di dalam obrolan lain. Darwin memang mabuk, dimabuk cinta, awalnya mau menanyakan kucing jantan tetapi obrolannya malah loncat ke sana kemari.

Lama-lama aku tak tahan, aku mengeong lancang secara sengaja supaya Darwin dapat mendengarku yang sejak tadi tak diacuh. Dia menoleh padaku, setelah itu, lantaran ingat, dia langsung menanyakan kucing pejantan kepada Juhayna untuk dikawinkan denganku. Amboi, sungguh, perasaanku ketika itu... ah, aku jadi malu menceritakannya, mabok!

Namun sayang sekali, aku belum beruntung, "Aduh, maaf, Bang, aku tak pelihara kucing, di rumahku tidak ada kucing." Begitu jawab Juhayna.

Tanpa menghiraukan nasibku yang mestinya diratapi sementara waktu, Darwin merasa sangat bahagia dengan respon dari Juhayna yang baik sekali. Tak lama kemudian Juhayna minta diri, mau istirahat, "Oke oke, moga-moga mimpi indah ya," kata Darwin.

Dikarenakan rindu, keesokannya, pagi-pagi sekali Darwin mengirimkan pesan kepada Juhayna, dan mengatakan bahwa pada sembarang sore dia suka meronce puisi untuk Juhayna. Senang nian, Juhayna langsung meminta salah satunya. Maka Darwin menulis dua deret puisinya melalui pesan singkat di hape:


"Semua rindu sudah menjadi udara



Kini aku hanya hidup dengan merindukanmu saja"


Di rumahnya, di dalam kamar, di hadapan cermin, Juhayna tersipu.

6.

Kepada Dianur, Juhayna mengirimkan pesan, bahwa laki-laki yang sekarang merawat Jiaw mulai merapat. Maksud baik Juhayna adalah berbagi kabar gembira, rupanya Dianur malah tersinggung. Maka, dari belahan dunia sana, Dianur deras mengirimkan pesan kepada Darwin:

"Oi, rupanya matamu jelalatan. Bukannya kau urus kucingku, malah kau urus si Juhayna."

Darwin membaca pesan itu sekilas, lalu menulis balasan: "Jatuh cinta itu hak segala bangsa kepada bangsanya sendiri, hak kucing jantan kepada kucing betina. Jadi, mana kupeduli."

Dalam beberapa detik pesan itu sudah bertiup ke Australia, maka dibalasnya lagi: "Terserah, pokoknya kucingku kau urus, kesal aku tu."

Darwin membalas: "Eu eu, kucingmu rakus sekali, Nong, sekarang dia gemuk sekali sepertimu."

Dianur terheran, bukannya baru tiga minggu?

7.

Kepada siapapun yang membaca, sebenarnya, cerita ini yang menulisnya bukan aku, tetapi Darwin Robusta. Aku hanya bisa mengeong saja, alias mendikte alur cerita. Barangkali si Darwin juga sedikit menambah atau mengarang.

Masalah paham atau tidaknya Darwin dengan ngeong-ngeongku itu kuserahkan padanya. Yang penting, jika dia paham, itu bukanlah mukjizat macam Nabi Sulaiman, jangan salah duga. Semalam suntuk dia menulis, membangun cerita, sampai berkerak tangannya. Suatu waktu dia bilang, tak apa-apa begadang, yang penting berdua dengan Uwuwu.[]

*Catatan:

• Dua deret puisi yang sempat menyempil di dalam narasi merupakan hasil dari galian di pekarangan Instagram.

• Cerita pendek ini kupersembahkan untuk Paduka Raja: Jio De Janeiro.

*Penulis merupakan Mahasiswa jurusan Syariah Islamiyah Universitas Al-Azhar.

Baca juga Cerpen : Sudah Saatnya Aku Pergi

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top