Sudah Saatnya Aku Pergi
Oleh: Muhammad Syukran*
Saat itu aku berada dalam sebuah mobil
box, mengenang sedikit
kejadian pilu dalam hidup, ketika Hagg Fudhail membungkusku dengan plastik putih. Aku melihat alisnya
menurun, menunjukkan betapa lelahnya hidup, sambil memasukkanku ke dalam kotak
besar. Ia mulai mengusap keringat di pelipis menggunakan handuk hijau muda,
menatap jauh ke arahku.
Aku menangkap tatapan itu, aku berjanji akan melanjutkan cita-cita
Hagg Fudhail, menjadi sesuatu yang berguna bagi manusia. Seketika pintu mobil pun ditutup rapat-rapat.
Beberapa waktu pun berlalu, aku tertidur pulas dalam
kotak. Jika ditanya apa saja yang terjadi aku tidak tahu. Teman-teman bernyanyi sepanjang jalan, sedang aku menikmati perjalanan
sampai lelap.
“Diq! Ayo dong ikut kita nyanyi..”
“Iya, kalian saja, aku tak pintar menyanyi.” Begitu terus, perjalanan berjalan damai.
“Diq! Ayo dong ikut kita nyanyi..”
“Iya, kalian saja, aku tak pintar menyanyi.” Begitu terus, perjalanan berjalan damai.
Dum..Dum..Dum... Seseorang
menggedor dinding box. Kotak yang sangat pengap membuat kami kepanasan dan bau
bensin. Tiba-tiba kunci box berbunyi, pintu belakang mobil terbuka, aku tak dapat menyaksikan apa-apa dari
dalam kotak.
Aku hanya mendengar beberapa pria berbicara dan mengeluarkan
seluruh kotak dari mobil. Bau asap dan polusi mulai masuk melalui celah-celah
kotak, ini bukti kami sudah sampai ke kota. Kotak kemudian bergerak, tercium
aroma harum nan sejuk, sepertinya kami sudah sampai ke
toko penjualan.
Setelah diletakkan di atas lantai, sebuah pisau silet menyapa, “Hai Pendatang Baru, selamat bergabung. Semoga betah!”
Setelah diletakkan di atas lantai, sebuah pisau silet menyapa, “Hai Pendatang Baru, selamat bergabung. Semoga betah!”
Kotak pun terbuka, tampak seorang
pegawai berkemeja ungu sambil memegang silet tersenyum lepas. Mostafa Athef
tertulis di papan namanya, aku
sangat beruntung bisa bertemu penyanyi terkenal itu, lagunya setiap hari
diputar di pabrik oleh Hagg Fudhail. Tak lama kemudian dia tertawa terbahak-bahak
bersama temannya dengan suara cempreng, sepertinya dia bukan penyanyi yang aku maksud.
Ranin sebuah toko besar dan luas
berisi seluruh alat-alat dan keperluan manusia, dari alat dapur elektronik sampai alat kamar mandi.
Sudah sebulan aku
dipajang di rak bersama: ember, sikat, busa, alat pel, tempat sabun, keranjang,
dan alat kamar mandi lainnya. Aku sudah lama naksir dengan Linda, gayung terindah yang pernah
kulihat. Dia cantik,
baik, lembut, dan perhatian. Aku dan Linda berjarak dua meter, lumayan jauh. Aku berharap suatu saat
Aku bisa berada tepat di sampingnya.
Suatu hari seorang balita datang
menghampiri Linda, dia ingin mengambilnya. Aku berharap dapat menolong Linda
kala itu, dengan cepat aku sengaja menjatuhkan tubuhku ke
lantai dengan ketinggian satu meter. Si balita pun terkejut dan menangis,
kemudian ibunya datang
sambil menggendongnya agar berhenti menangis. Si Ibu memegang tanganku lalu meletakkan ku di samping Linda, aku
tak menyangka kejadian ini akan berbuah manis.
“Terimakasih Diq, kamu telah menolongku.”
“Iya, sama-sama Linda.” Aku tersipu malu, hingga teman-teman
yang lain mengoda kami berdua.
Tak lama setelah itu kami pun
menikah. Aku merasa Linda adalah jodoh abadiku, kami tak terpisahkan saling
melengkapi satu sama lain. Tapi, suatu hari seorang pria muda berkaca mata dan berkulit sawo matang
berdiri tepat di depan Linda. Aku merasakan hawa yang tidak enak,
seolah badai akan datang.
“Bang Farhan, tolong ambilkan dua gayung untuk kamar
mandi!”
“Oke bereh.” Sahut orang yang dipanggil.
Dia sibuk membalas pesan di
HP-nya, aku
memperhatikannya dari ujung kaki hingga kepala. Dia tampak serius tak mau
diganggu, sekejap dia memasukkan HP-nya ke saku lalu mengambil Linda dariku, kemudian melangkah pergi.
Bagai petir di siang bolong,
kesedihan menyelimutiku
kala itu. Tiba-tiba pria itu kembali tanpa membawa Linda bersamanya, aku sangat cemas. Kemudian
dia mulai mengayunkan tangannya padaku meraih tanganku lalu ikut pergi
bersamanya.
Aku tak tahu mau dibawa kemana.
Dari kejauhan aku
melihat Linda sedang berdiri di atas meja kasir menunggu giliran.
“Hai Sayang, akhirnya kita bersama lagi.
Aku sangat rindu padamu.” Ucapku.
“Alasan, padahal baru sebentar berpisah.”
Giliran kami pun tiba, aku dan Linda dibungkus ke dalam kantong
plastik putih. Aku masih merasakan firasat buruk
itu.
“Linda, mungkin ini sudah menjadi takdir
kita. Jika nanti terjadi sesuatu kamu harus tabah menerima apapun yang terjadi.”
“Kamu kenapa bicara begitu?”
“Tidak, aku merasa kebersamaan kita tidak akan
lama. Takdir kita sudah ditentukan apapun yang terjadi kamu harus kuat. Kita
akan bertemu di tempat lain jika memang berjodoh.”
Aku dan Linda pun tiba di sebuah
rumah luas. Pria tadi mengeluarkanku dan Linda dari kantong plastik.
“Yang warna pink ke kamar mandi ikhwan dan yang satu lagi ke
kamar mandi akhwat.” Katanya pada
seseorang.
“Jaga dirimu baik-baik suamiku,” pesan Linda. Mataku mulai
berbintang menggenang air mata. Itu terakhir kalinya aku bertemu Linda.
Sudah lima tahun berlalu. Aku
ditemani Pak Ember yang sudah tua, Westafel, Kaca, Penyumbat Wc, Sikat Baju, Kloset, Tuan Kran, Sabun dan keluarga besar Sikat Gigi. Tiap hari aku menghabiskan umurku di dalam
ember tua ini. Terkadang aku
iba melihatnya tapi kadang kala juga menjengjelkan, namanya juga orang tua.
Sudah sangat banyak pengalaman
yang aku dapatkan dengan
manusia, suka dan duka. Awalnya Aku menganggap mereka semuanya sama, ternyata
berbeda dari anggapanku. Aku sering memperhatikan siapa saja yang masuk ke
kamar mandi, ada orang yang mandi dengan cepat, ada juga sebaliknya. Terkadang aku
dijadikan alat musik dipukul-pukul ke westafle, aku menganggap biasa saja walau
kadang terasa sakit, aku malah menikmati alunan musiknya.
Di sisi lain Pak Ember dan
teman-teman menegurku.
“Hei, Gayung! Apa kamu gak capek disiksa melulu? Mengapa kamu
gak pura-pura sakit atau bunuh diri saja. Jika aku jadi dirimu aku lebih memilih mati ketimbang menjadi
bahan siksaan manusia.”
“Sudahlah Pak, tidak apa-apa. Selagi aku mampu itu tidak jadi masalah. Toh aku
ini dibuat memang untuk dipergunakan manusia.”
“Iya aku ngerti, tapi gak harus dirusak toh!” Ucap Sikat. “Aku yakin jika kamu terus digituin
umurmu tidak akan lama.”
“Huss jangan ngomong gitu,” sahut Tuan Kran.
Waktu pun berlalu. Suatu hari
seorang pria masuk ke kamar mandi. Dia membawa aroma ketakutan bagi seluruh
penghuni, Pak Ember saja
tak berani menatapnya. Dia tampak kesal, membuka bajunya sambil mengumpat, dia
lalu mengambilku mengisi air penuh kemudian menuangkan ke atas rambutnya.
Setelah tuangan pertama dia menatap ke arah kaca, matanya memendam amarah. Aku
yakin dia sedang punya masalah.
Tiba-tiba dia memukulkanku ke
wajah Westafle. Aku merintih kesakitan, perutku mulai sakit. Ternyata bagian
lambungku pecah, aku merasakan
sakit yang teramat dan tak mampu menjerit. Ini sebuah peristiwa aneh, kemudian
dia mengeringkan rambutnya lalu pergi keluar. Aku memendam benci padanya, tapi
apa boleh buat. Aku tak punya daya.
Di saat ini aku berharap dapat bertemu Linda di
sisa-sisa hidupku. Tapi sudah bertahun-tahun aku menampung air dengan
lambung yang bocor, aku
tak berguna lagi di KMA.
Mungkin sudah saatnya aku pergi memohon maaf pada mereka yang
selama ini masih percaya padaku. Luka di lambungku kian hari makin bertambah. Aku berpesan agar sebaiknya
mencari pengganti yang baru. Aku sudah tidak becus, tidak berguna lagi bagi manusia.
Aku berharap agar penghuni rumah ini membelikan gayung
mandi yang baru untuk menggantikan tugasku, dan menjualku ke penjual barang
bekas. Agar Aku dapat didaur ulang dan bertemu Linda kembali.
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir
Posting Komentar