Syekh Ramadhan al-Buthi, Ghazali Kecil dari Suriah

Penulis: Annas Muttaqin*
Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Bouti. (Image: Islami.co)
“Ketahuilah wahai anakku, jika seandainya aku tahu jalan menuju Allah adalah dengan cara mengutip sampah di jalan, niscaya akan kujadikan Engkau keranjangnya. Namun, aku telah meninjau dan melihat bahwa jalan menuju Allah adalah melalui ilmu dan agama, karena itu aku tempatkan Engkau di jalan ini.”

Nama beliau Muhammad Sa’id ibn Mula Ramadhan ibn Umar al-Buthi. lahir di Jilka, sebuah desa kecil di Buthan, Turki, pada tahun 1929 M/1347 H. Pada awalnya beliau lahir dengan diberi nama Fudhail karena ketertarikan Ayahnya pada Fudhail bin ‘Iyadh. Kemudian ayahnya, Syekh Mulla Ramadhan al-Buthi, membawa bayi Fudhail pada guru kesayangannya, Syekh Sa’id. 


Dengan wajah gembira, Syekh Sa’id memeluk dan mendoakan sang bayi serta memberinya nama Muhammad Sa’id. Lantaran rasa hormat yang begitu besar pada guru, bayi kecil itu kemudian berganti nama menjadi Muhammad Sa’id. 


Syekh Mulla Ramadhan merupakan seorang ulama kondang di Turki dan Suriah. Namun, sayangnya saat itu Kemal Pasha Attaturk memulai menuver politiknya hingga kemudian dapat menggulingkan Kerajaan Ottoman (Ustmani) yang saat itu sudah mulai melemah. Keberhasilan Kemal Pasha Attaturk dalam menggulingkan pemerintahan Ottoman tentu membawa dampak negatif bagi umat Islam Turki saat itu. Syariat Islam yang mulanya dengan bebas ditegakkan, sedikit demi sedikit digantikan dengan hukum-hukum sekuler. 

Melihat kondisi politik Turki yang tidak menentu terhadap umat Islam, Syekh Mulla memilih menghindari konflik. Ia memutuskan hijrah ke Suriah untuk kembali berdakwah dengan aman dan damai. Syekh Mulla membawa anak semata wayang serta keluarganya, di sana perjalanan hidup baru keluarga Kurdi ini dimulai. Syekh Mulla kembali mengumandangkan dakwah-dakwahnya yang sarat akan ketentraman hati dan kezuhudan. 

Di Suriah, al-Buthi kecil dididik langsung oleh sang ayah. Mulanya, al-Buthi kecil diajarkan tentang aqidah sebagai pondasi iman, kemudian dilanjutkan dengan belajar sirah nabi, dan dilanjutkan dengan ilmu alat seperti saraf dan nahwu. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa beliau sudah dapat menghafal kitab Alfiyah ibn Malik. Kitab tersebut merupakan salah satu kitab rujukan dalam ilmu nahwu yang diringkas dalam syair yang berjumlah seribu bait. Pada usia enam tahun, ayah membawa al-Buthi pada seorang wanita agung yang mengajarkan Alquran pada anak-anak. Di sana, syekh Ramadhan Al Buthi menghafal serta mengkhatamkan Alquran kurang dari enam bulan. 

Pada tahun 1942, ibu Syekh Ramadhan al-Buthi ditimpa sakit hingga kemudian mengantarkan pada wafatnya sang ibunda. Bertepatan pada usia 13 tahun, Ramadhan al-Buthi kehilangan Ibunda tercinta. Namun, hal tersebut tidak sama sekali membuat semangat al-Buthi muda jatuh. Karakter mental yang hebat serta ruhani yang telah diajari selalu mengantarkannya pada rasa syukur dan kezuhudan. Beliau sadar bahwa segala sesuatu hanyalah milik Penciptanya semata. 

Syekh Ramadhan al-Buthi (paling kiri) bersama Habib Umar al-Hafidh (Yaman), Syekh Ali Jum'ah (Mesir), dan Syekh Abdullah bin Bayyah (Mauritania). (Image: Maktabana.com)
Selepas pendidikan ibtidaiah, ayah memasuk Al-Buthi ke Ma’had at-Taujih al-Islami yang diasuh langsung oleh Syekh Hasan Habannakah al-Maidani. Beliau merupakan sosok ulama yang menghabiskan sebagian besar kehidupannya untuk mengajar. Beliau juga dikenal sebagi sosok ulama rabbani yang pemberani dan penuh hikmah. Pada Syekh Hasan Habannakah inilah Syekh Ramadhan al-Buthi muda mendalami ilmu Islam. Kecerdasan dan kepiawannya terhadap ilmu pengetahuan membuat Syekh al-Buthi menjadi salah satu murid didik tersohor di antara murid Syekh Hasan Habannakah. 
Pada Suatu hari, saat ayah mengantarnya menuju ma’had ia berkata pada al-Buthi, “Ketahuilah wahai anakku, jika seandainya aku tahu jalan menuju Allah adalah dengan cara mengutip sampah di jalan, niscaya akan kujadikan Engkau keranjangnya. Namun, aku telah meninjau dan melihat bahwa jalan menuju Allah adalah melalui ilmu dan agama, karena itu aku tempatkan Engkau di jalan ini.” 
Walaupun demikian halnya, setiap hari Selasa al-Buthi muda selalu mengunjungi ayahnya untuk melepas rindu serta mengambil pelajaran tambahan di bidang nahwu, balaghah, mantiq, dan falsafah. Bak buah yang tak jatuh jauh dari pohonnya, al-Buthi pun lambat laun mulai mengikuti jejak dakwah ayah dan gurunya. Kalam-kalam serta pemikirannya pun tak jauh berbeda dari para guru-gurunya. 

Tak hanya berakhir di situ, kesungguhan al-Buthi dalam mendalami ilmu Islam membuatnya kembali ingin menyempurkanan pendidikan formal lebih tinggi. Pada saat itu, Suriah belum memiliki kurikulum khusus untuk kuliah Syari’ah Islamiyah, maka Mesir menjadi daya tarik tersendiri baginya dalam mendalami seluk beluk Islam. Ia pun meneguk muara ilmu di Universitas al-Azhar. Fakultas Syariah Islamiyah menjadi gerbang utamanya yang beliau ancangkan sejak awal sesuai nasehat ayahannya sebagai takhasus Ilmu Islam. Sembari menjadi Mahasiswa di al-Azhar, beliau pun giat menulis artikel sastra dan masalah sosial kemasyarakatan ke surat kabar al-Ayyam. 

Pada tahun 1955, Syekh Ramadha al-Buthi menyelesaikan pendidikan formal sarjananya. Satu riwayat menyebutkan bahwa beliau berhasil menyelesaikan sarjananya dalam tempo dua tahun sebelum kembali melanjutkan magister (S2) dalam bidang ilmu bahasa Arab dan menyelesaikannya pada tahun 1956. Sastra merupakan salah satu bidang ilmu yang juga menjadi kesenangan tersendiri bagi beliau, maka tak heran jika setiap kalam Syekh Ramadhan al-Buthi tersusun indah dan penuh makna. Pada tahun 1965, Syekh Ramadhan al-Buthi menyelesaikan program doktoralnya dengan predikat mumtaz syaraf ula dengan disertasi yang berjudul “Dhawabit al-Mashlahah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah” mendapat rekomendasi dari al-Azhar sebagai karya tulis yang dapat dipublikasikan. 

Dikisahkan bahwa suatu malam beliau pernah bermimpi berjumpa Rasulullah Saw. saat sedang menyusun desertasi doktoralnya. Pada saat itu tanpa sengaja al-Buthi menjatuhkan lembaran disertasinya hingga kemudian Rasulullah Saw. menolongnya menyusun kembali lembaran-lembaran tersebut. 

Selama menempuh pendidikan di Mesir, Syekh Ramadhan al-Buthi sering dan menziarahi orang-orang shaleh dan mengunjungi para guru-gurunya seperti Syekh Mustafa Abdul khaliq yang menjadi pembimbing disertasinya, Syekh Muhammad Abu Zahra, Syekh Thahadinari dan Syekh Jadar Rab Ramadhan. Beliau pula sering duduk di Mesjid Husein bertafakkur, beriktikaf di dalamnya, serta bertemu orang-orang saleh dan mengambil ilmu dari mereka. 

Limpahan ilmu serta wawasan yang Syekh al-Buthi miliki, membuatnya beberapa kali menduduki jabatan penting di Suriah dan lembaga-lembaga Internasional. Mulai menjadi Dekan Fakultas Syari’ah di Universitas Damaskus, anggota majlis tertinggi penasihat Yayasan Thabah Abu Dhabi, anggota penelitian kebudayaan Islam di Jordan, anggota majlis tinggi senat Universitas Oxford Britain hingga memimpin sebuah lembaga penyelidikan teologi dan agama-agama di universitas yang berpusat di Timur Tengah serta jabatan-jabatan bidang akademis lainnya di Timur tengah. 

Tak hanya itu, wawasan Syekh al-Buthi yang terbuka serta kemoderatan dalam cara berpikir, membuatnya sering diundang untuk mengisi dan mengikuti seminar, serta persidangan antar bangsa baik di Timur Tengah, Amerika bahkan Eropa. 

Kendati demikian, Syekh Ramadhan al-Buthi tak pernah sesekali tinggi hati atas segala yang telah didapatkan. Beliau selalu berpandangan bahwa semua yang beliau dapatkan merupakan anugerah dari Allah Swt. Ketinggian iImu dan limpahan wawasan justru membuatnya menjadi pribadi yang zuhud dan rendah hati. Beliau tetap mengisi dan membimbing pengajian di masjid Damsyik (Damaskus) dan beberapa masjid lainnya di di sekitar kota Damaskus, Suriah. Dalam setiap pengajian yang beliau isi, beliau selalu melarang murid-muridnya untuk mencium tangannya serta melarang untuk berdiri seperti layaknya kedatangan tokoh-tokoh besar. 

Ilmu falsafah yang sering kali berat untuk dipahami oleh sebagian orang dibahasakan dengan mudah. Bahkan, setiap untai kata yang keluar dari mulut Syekh al-Buthi mengandung limpahan hikmah yang dapat membuncahkan air mata, jika dipahami mendalam terlebih yang mendengar langsung dari mulut beliau sendiri. Tak jarang dalam halakah yang beliau isi, air mata beliau bercucuran ketika berbicara tentang nikmat dan karunia Allah. Oleh karena, itu halakah yang beliau isi tak pernah sepi dari penuntut Ilmu dari berbagai belahan dunia. 

Selain berdakwah dengan lisan beliau, juga merupakan penulis yang produktif. Beliau dapat menguasai berbagai disiplin ilmu. Karyanya mencapai lebih dari enam puluh buku, meliputi bidang syariah, sastra, falsafah, sosial, masalah kebudayaan, hingga masalah-masalah kontemporer yang belakangan ini muncul lantaran perkembangan zaman. Buku-buku beliau termasuk karya-karya fenomenal Islam pada zaman ini. 

Kesederhanaan bahasa serta kepiawaian Syekh al-Buthi dalam memberi contoh yang dekat dengan kehidupan sehari-hari atau contoh tersebut diambil langsung dari peristiwa yang terjadi pada zaman ini merupakan keunggulan tersendiri dalam karya-karya beliau. Syekh al-Buthi juga aktif mengisi beberapa acara stasiun televisi membahas tentang Alquran, sirah nabi, fikih dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Maka oleh karena itu tak heran jika beliau dijuluki “ al-Ghazali Kecil dari Suriah”. 

Pada tahun 1990, Syekh Ramadhan al-Buthi kembali ditimpa kesedihan. Ayahnya, Syekh Mulla al-Buthi, sekaligus penyemanagat besar dirinya berpulang ke hadapan Yang Maha Kuasa. Namun, hal tersebut tidak membuat jiwa beliau sesekali goyah. Prinsip-prinsip hidup zuhud dan kecintaannya terhadap Allah telah dahulu ditanamakan oleh sang Ayah.

Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Bouti (tengah) bersama Syekh Ahmad Thayyib (kiri), 
dan Habib Ali Al-Jufri (kanan). (Foto: waag-azhar.org.uk)
 Pada saat Suriah sedang dilanda konflik, berbagai macam fitnah datang menghardik Syekh al-Buthi, lantaran beliau menolak untuk mendukung golongan kontra pemerintah yang mengatas namakan jihad Islam dengan menghidupkan api konflik hingga menumpahkan darah sesama saudara muslim. Bahkan, sebagian dari mereka menghina dan mengatakan beliau telah sesat lantaran hal tersebut. Na’udzubillahu min dzalika, Padahal seberapalah ilmu serta pengetahuan mereka terhadap situasi politik Suriah serta maslahat dan mafsadat tentang hal tersebut. 

Pada kamis malam, 21 Maret 2013, seperti biasa beliau mengisi kajian tafsir di Masjid al-Imam Damaskus. setelah 20 menit berjalan kajian, sebuah ledakan bom meledak—yang dilakukan salah satu kelompok ekstrimis Islam Radikal—tepat di depan beliau. Dengan simbahan darah di kepala, perlahan beliau syahid di kursi tempat beliau mengisi kajian sembari memeluk Alquran yang berada di depannya bersama 50 muridnya dan satu cucunya tercintanya, Ahmad. 

Murid Syekh Ramadhan al-Buthi yang selamat berbondong-bondong memangku beliau dan menurunkan dari kursi yang biasa beliau duduki. Namun, beliau enggan diturunkan hingga beliau perlahan tumbang sambil perlahan sujud menghadap kiblat. Beliau syahid pada usia 84 tahun di atas kursi dakwahnya pada malam Jum’at, saat menunggu masuknya waktu Isya sembari menyeru pada agama Allah dalam keadaan sujud dan memeluk kiab suci Alquran. Syekh Ramadhan al-Buthi dimakamkan bersebelahan dengan makam Salahuddin al-Ayyubi. 

Argumen-argumen beliau yang bersumber akal maupun naql (dalil dari Alquran dan hadist) yang beliau paparkan baik lisan maupun tulisan dalam membendung paham radikal yaitu pemahaman yang anti dengan tradisi bermazdhab, menyeru pada ijtihad, intoleran, serta cenderung ekslusif dan menganggap kebenaran hanya ada pada kelompoknya, membuat kelompok radikal murka hingga kemudian membinasakan Syekh al-Buthi dengan cara yang keji. Sungguh hati mana yang tak tersayat, tercabik dengan tingkah keji yang dihasilkan dari kegagal pahaman dalam memahami Islam tersebut. 
Dalam sebuah halakah khusus mengenai sirah Syekh Ramadahn Al buthi—yang diceritakan oleh cucu beliau sendiri—bahwa seminggu sebelum wafat, beliau memanggil cucunya untuk membagikan hartanya kepada penuntut ilmu yang membutuhkan. Setelah beliau wafat, dikisahkan bahwa tidak ada sepeser pun Lira yang ditinggalkan di rumah, melainkan sebuah pulpen dan uang berjumlah 75 Lira di kantong baju, saat beliau wafat. 
Begitulah sosok as-Syahid Syekh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi. Sosok ulama rabbani dan cerdas, yang memilih hidup zuhud sekalipun di sekelilingnya bergelimang tawaran harta. Beliau memilih untuk memepertahankan Bumi Syam bahkan saat darahnya dihargai sekantong emas sekalipun, saat semua meninggalkan Suriah hanya karena propaganda busuk sebagian kelompok tak bertanggung jawab, Syekh Ramadhan al-Buthi memilih untuk tetap menggenggam berlian bahkan saat dibalut lumpur hitam busuk sekaligus, memilih untuk menjadikan diri tameng bagi negara daripada harus membahayakan nyawa orang banyak. 

Sekalipun Syekh Ramadhan al-Buthi telah wafat, tapi jalan-jalan pikir serta semangat beliau masih bersinar terang diikuti oleh berbagai kalangan di dunia. Jika jalan yang dibangun dengan keikhlasan dan pancaran akhlak, tak akan menyakitkan siapa pun yang melaluinya. Indah bagi siapa saja yang memandangnya. Hanya orang yang memandang dengan kebencian yang membuatnya tampak gelap. Wallahu a’la wa a’lam.[]

*Penulis adalah Mahasiswa Tingkat 2 Fakultas Syariah Islamiyah Universitas Al-Azhar Kairo.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top