Abu Hasan Asy’ari, Pelopor Ahlu Sunnah wal Jama’ah

Oleh: Ali Akbar Alfata*



Image: islami.co


Nama beliau adalah Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abu Musa bin Qais Al-Asy'ari. Beliau adalah Imam Ahlusunah wal Jamaah, dilahirkan pada tahun 260 H. Pada masa mudanya, Imam Asy'ari belajar mazhab Muktazilah bersama ayah tirinya, Abu Ali Al-Jubbaie yang merupakan salah seorang pembesar Muktazilah.

Tumbuh dengan gaya berpikir Muktazilah yang rasionalis, Imam Asy'ari bahkan sempat digadang sebagai pembaru masa depan Muktazilah. Namun, takdir berkata lain, Allah ingin menaikkan derajat agama-Nya melalui beliau, panji Ahlusunah wal Jamaah kembali dihidupkan olehnya. Padahal beliau sendiri telah menganut teologi Muktazilah selama 40 tahun lamanya. Namun, mengapa beliau bisa keluar? Ya. Kapabilitas intelektual yang diasah ketika menjadi seorang Muktazilah malah menjadi bumerang baginya sendiri.

Faktor yang menyebabkan keluarnya beliau dari pendirian Muktazilah yang telah mendarah daging tersebut sebenarnya beragam. Salah satu yang paling besar adalah ketidakpuasannya akan jawaban sang guru, Abu Ali Al-Jubbaie, tentang sebuah permasalahan yang hanya dijawab dengan mengandalkan rasional akal saja yang memang menjadi ciri khas Muktazilah sendiri. Contohnya seperti dialog yang terjadi antara beliau dan gurunya dalam permasalahan tiga orang yang meninggal. Pertama, seorang yang meninggal dunia semasa hidupnya dan dia taat. Sedangkan yang kedua, meninggal dunia akan tetapi semasa hidup dia bermaksiat, dan seorang lagi adalah anak kecil.

Abu Ali Al-Jubbaie mengatakan, "Yang pertama akan masuk surga, yang kedua akan masuk neraka, yang ketiga tidak kedua-duanya." Namun, karena kapasitas intelektualnya yang besar, Imam Abu Hasan tidak mudah puas dengan jawaban itu, beliau kembali menimpali gurunya dengan pertanyaan, "Lantas apabila anak ini bertanya, kenapa aku ini tidak diberi umur panjang saja? Dengan itu aku dapat berbuat baik kepada-Mu? Apa yang akan Tuhan katakan?" 

Abu Ali Al-Jubbaie kemudian menjawab, "Allah akan berkata, Aku mengetahui bahwasanya apabila kamu Aku biarkan besar, maka kamu akan menjadi durhaka dan kufur, maka yang baik bagimu adalah meninggal saat kecil, padahal Tuhan wajib memberikan yang baik bagi hamba-Nya." 

Dasar teologi Muktazilah adalah al-Ushul al-Khamsah. Salah satu dari dasar-dasar itu adalah al-Adlu, yang merupakan dasar pemikiran mewajibkan Tuhan melakukan yang baik bagi hamba-Nya. Selain kebaikan bukan dari Tuhan, pemikiran ini lebih dikenal Fi'lu Shalah wal Ashlah. Hal ini sangat ditentang oleh kita Ahlusunah wal Jamaah, terlihat dari salah satu bait matan legendaris Kharidah al-Bahiyyah yang ditulis oleh Sayyidi Abul Barakat Ahmad Ad-Dardir (1127 H),

من يقل فعل الصلاح وجبا على الإله قد أساء الأدبا

Sesiapa yang mengatakan wajib fi'li shalah, maka dia telah berburuk adab terhadap Tuhannya.

Karena sejatinya, apapun yang terjadi pada hamba adalah dari Tuhan datangnya.

Kemudian Imam Asy'ari kembali menimpali, "Bagaimana jika yang kedua tadi (yang meninggal semasa hidup bermaksiat) mengatakan pada Tuhan, "Kenapa tidak Kau matikan aku saat kecil saja supaya aku tidak bermaksiat pada-Mu?" maka terdiamlah Abu Ali Al-Jubbaie. Itulah puncak keraguan seorang Imam Asy'ari terhadap apa yang diyakininya selama ini.

Salah satu faktor lain yang tak kalah penting adalah bertemunya beliau dengan Nabi Muhammad Saw. dalam mimpi. Dalam mimpi tersebut, Imam Asy'ari mendapat petunjuk untuk meninggalkan keyakinan rasionalisnya selama ini dan kembali kepada Ahlusunah wal Jamaah. Berikut beberapa untaian syair yang diungkapkan oleh Syekh Sayyidi Hamdun bin Hajj dalam urjuzahnya tentang ilmu tauhid,

وواضعه هو الإمام الأشعري # أتى به من كل شبهة بري

أمره به الرسول رؤيا # فكان أحسن الأنام رأيا

Peletaknya (ilmu tauhid) adalah Imam Asy’ari, dia datang untuk membebaskan segala syubhat.
Dia diperintah oleh Rasul dalam mimpi, demikian adalah sebaik-baik mimpi.

Tentu saja hal ini mungkin dan memang waqi’ terjadi pada ulama-ulama, baik mutaqaddimin maupun mutaakhirin atau mu’ashir sekali pun. Karena perjumpaan dengan Rasulullah ini banyak diceritakan dalam berbagai literatur klasik atau kontemporer, dan merupakan cita-cita setiap orang yang telah tertancap kecintaan dalam hatinya terhadap baginda Rasulullah Saw.

Setelah melihat mimpi tersebut, Imam Asy’ari pun berdiam diri di dalam rumahnya selama 15 hari. Kemudian keluar ke masjid Bashrah dan mengumumkan tentang keluarnya beliau dari keyakinan Muktazilah. Disaksikan oleh publik, beliau mengatakan:

“Wahai orang-orang sekalian! Barangsiapa yang mengetahuiku maka ia telah mengetahui itu, bagi yang belum mengetahuiku, maka aku tahu akan diriku, saya Fulan bin Fulan, saya telah mengatakan bahwa Al-Quran itu adalah makhluk, aku juga mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata di akhirat, dan juga aku telah meyakini bahwasanya hambalah yang menciptakan perbuatan mereka sendiri, maka hari ini aku telah bertaubat dari keyakinan Muktazilahku dan berpindah ke sisi yang menolak Muktazilah dan berbagai kerancuannya."

"Wahai orang-orang sekalian! Aku memang telah menghilang beberapa waktu ini untuk merenungi hal ini dan aku telah memiliki cukup dalil (untuk menolak Muktazilah). Aku telah memohon hidayah dan petunjuk-Nya, kemudian Dia menuntunku kepada akidah yang aku yakini sekarang dan aku menulis kitab tentangnya. Maka aku benar-benar telah melepas keyakinanku akan Muktazilah sebagaimana aku melepas bajuku ini! (seraya melepas baju dan melemparnya, lalu memberikan kitab kepada orang-orang tentang akidah yang beliau anut saat itu).”

Hal ini benar-benar menggentarkan Muktazilah, seorang bibit masa depan Muktazilah tiba-tiba menjadi lawan mereka di meja-meja perdebatan. Bahkan para ulama berkata, “Dulu sebelum Imam Abu Hasan Asy’ari muncul, para ahli bid’ah (pembawa ajaran sesat yang merusak muka bumi seperti Muktazilah dan lain-lain) mengangkat kepala mereka dengan sombongnya. Namun ketika datang, beliaulah yang menggiring mereka ke lubang semut (menghancurkan argumen dan menjatuhkan mereka). 

Pemikiran yang Imam Asy’ari perkenalkan yaitu memadukan antara rasionalis yang diiringi dengan pagar tekstualis merupakan dua kekuatan besar saat itu, dan menjadi penengah keduanya. Metode tawasut yang hari ini Al-Azhar serukan adalah apa yang berusaha Imam Asy’ari perkenalkan dulu. Pasca melemahnya teologi Muktazilah, Asy'ariyyah yang dinisbatkan pada beliau menjadi formula baru dalam memperbaiki kekacauan berbagai golongan saat itu. 

Memperkenalkan ajaran akidah yang lebih metodologis dan sistematis menjadi nilai lebih. Karena pada saat itu belum ada aliran teologi yang terstruktur dan bisa dipegang masyarakat. Pasalnya, Muktazilah yang ketika itu menjadi aliran teologi negara cenderung hanya mampu dipahami kalangan-kalangan terdidik saja, dan sulit dipahami oleh orang awam karena keterbatasan berpikir.

Imam Asy’ari juga senantiasa meneruskan buah pikirnya itu kepada murid-muridnya, diantaranya adalah Abu Husain Asy-Syairazi yang merupakan tangan kanan Imam Asy’ari, Abu Bakar Al-Qaffal Asy-Syasi, Abu Hasan Al-Bahili, Abu Sahl Ash-Shu’lukiy, Abu Bakar Al-Baqilani, Ibnu Faurak, dan banyak lainnya. Di bawah didikannya, beliau telah menelurkan cahaya-cahaya umat dari masa ke masa hingga hari ini.

Karya tulis Imam Asy’ari juga sangat banyak, diantaranya adalah:

• Al-Ibanah ‘an Ushuli Ad-Diyanah yang merupakan kitab termasyhur beliau.

• Al-Luma’ fi Raddi ‘ala Ahli Zaigh wal Bida’

• Risalatu Ahlu Atsaghr

• Al-Fushul fi Raddi ‘ala Mulhidin

• Imamatu ash-Shiddiq

• Khalqul A’mal

• Ar-Raddu ‘ala Mujassimah

• Maqalatul Mulhidin

• Maqalatul Islamiyyin

• An-Naqdhu ‘ala Al-Jubbaie

• Dan lain-lain.

Asy’ariyyah pun yang saat itu merupakan role model menjadi representasi dari Ahlusunah wal Jamaah bersama paham Maturidiyyah. Sayyid Musthafa Az-Zabidiy dalam kitabnya Ittihaf Saadatul Muttaqin mengatakan:

إذا أطلق أهل السنة و الجماعة فالمراد بهم الأشاعرة و الماتردية

Apabila disebutkan Ahlusunah wal Jamaah, maka yang dimaksud adalah Asya'irah dan Maturidiyyah.

Akhirnya, pada tahun 324 H, Abu Hasan Asy’ari wafat setelah jasa besarnya dalam mengubah keadaan umat Islam serta menjadi seorang pembaru di zaman tersebut. Pasca beliau wafat, ada ungkapan dari ulama,

وكل أهل السنة باكون عليه, متوجعون لفقده, و كل أهل البدعة مرتاحون منه

Setiap ahlusunah menangis atas wafatnya beliau, menderita atas kehilangannya, dan setiap ahli bid’ah lega akan wafatnya beliau. Rahimahullahu ta’ala wa radhiya ‘anhu.[]

*Penulis adalah mahasiswa tingkat 1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top