Jari-Jari Nakal Netizen vs Mulut Nyinyir Bu Tejo

Oleh: Rahmiatul Aini*

(sumber foto: twiiter/Edwin Fauqon)
Bu Tejo. Nama ini marak sekali terdengar dalam beberapa hari terakhir. Berawal dari film pendek berbahasa Jawa yang mengangkat tema Tilik, akting natural Bu Tejo dan sekumpulan ibu-ibu di dalam truk terus menjadi perbincangan bahkan trending di media-media sosial. 

Peran Bu Tejo merepresentasikan fenomena sosial yang sedang kita hadapi dewasa ini. Diakui atau tidak, banyak sekali sosok Bu Tejo di dalam lingkungan kita. Biang gosip yang suka sekali menyulut api, memanas-manaskan keadaan dengan asumsi-asumsi, melebih-lebihkan cerita dengan prasangka-prasangka. 

Saya tidak tahu pasti, apakah kebiasaan manusia hidup bermajemuk serta sifat alamiah seperti iri, dengki, merasa paling benar kerap melekat pada diri kita yang mendasari munculnya fenomena sosial seperti ini? Bahkan dari zaman sebelum adanya media sosial pun, budaya bergosip, mengomentari hidup orang lain, adu domba sudah merupakan hal yang lumrah di dalam kehidupan bermasyarakat. 


Ditambah lagi dengan adanya media sosial, jiwa-jiwa manusia yang hobi berkomentar merasa merdeka, bebas berkomentar dimana saja, kalau sebelumnya cuma bisa ngomentarin warna rumput tetangga yang mulai menguning, sekarang negara benua seberang yang nggak ada rumputnya pun bisa banget dijulidin. 

Para netizen yang sering mengaku mager ini ternyata memiliki jari-jari yang lincah sekali. Selang beberapa detik seorang public figure meng-update sebuah status atau postingan, komentar-komentar langsung menyerbu. Kalau ada sedikit kesalahan siap-siap digoreng di tongkrongan twitter. Saya sebagai netizen yang nggak gercep-gercep amat sering dibuat takjub oleh jari-jari netizen yang kecepatannya ngalah-ngalahin kecepatan kilat ini. 

Komentar-komentarnya pun kaya dan beragam seperti budaya indonesia. Ada yang berkomentar bijak, ada yang nyinyir, ada yang jual netflix murah, tak jarang juga kita dapati sikap dan komentar netizen yang melewati batas, mereka-mereka yang menghujat dengan kata-kata yang nggak disaring sama sekali. Kalau si public figure mematikan akses untuk berkomentar dan mengirim pesan di akunnya, akun teman-temannya, saudara-saudaranya, emaknya, bahkan neneknya pun kalo punya akun ikut diserbu. 

Ekspektasi yang terlampau tinggi terhadap seorang public figure menjadikan para netizen merasa berhak untuk menghujat jika mereka melakukan sedikit saja kesalahan. Jika ditanya mengapa? Sanksi sosial katanya. 

Tidak hanya di postingan public figure, jari-jari nakal ini juga suka berdebat dan baku hantam antar sesama mereka, dari meributkan hal-hal sepele seperti bubur ayam enakan diaduk atau nggak diaduk sampai perdebatan mengenai agama, budaya, wanita karir vs ibu rumah tangga, corona settingan atau bukan, dan lain sebagainya. Selama debatnya itu sehat sih sebenarnya nggak masalah, yang bikin ngga sreg itu orang-orang yang suka asal debat tanpa tau dalil, berdebat di bidang yang bukan merupakan ranahnya tapi bersikap seolah-olah merupakan seorang ahli di bidang tersebut. 


Selain itu, masih ada banyak sekali hal mengganggu yang disebabkan oleh jari-jari nakal ini, diantaranya yang paling sering kita dapati adalah bodyshaming dan sexual harrashment. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh public figure yang memiliki jutaan followers, bahkan akun-akun biasa pun pernah mengalaminya, tidak hanya dari orang-orang tidak dikenal, jari-jari nakal ini terkadang adalah milik individu di sekitar kita. 

Kok kamu kayaknya gendutan ya? 

Kurus banget lu kayak triplek.

Temen-temen lu cakep semua, lu doang yang buriq. 

(sini mas mba, saya nerima jasa tampol online). 

Untuk kasus sexual harrashment atau pelecehan seksual, hal ini banyak kita dapati di kolom komentar dan bahkan di direct message. Saya sering dibuat geleng-geleng kepala setelah membaca cerita-cerita netizen tentang pelecehan seksual yang mereka alami. Perkataan- perkataan tidak senonoh yang tidak mencerminkan manusia beradab serta komentar-komentar yang merendahkan. 

Apakah karena objeknya bukan orang yang dikenal secara individu jadi merasa bebas untuk bersikap sesuka hati? Apa karena bukan saudara sendiri jadi bisa asal bersikap tanpa merasa perlu kompromi dengan hati nurani? 

Beneran deh jari-jari nakal ini perlu banget diservis akhlaknya. 

Hal-hal yang saya sebut diatas hanyalah segelintir dari sekian banyak fenomena meresahkan di era digital ini. Teman-teman juga pasti merasakan keresahan yang sama kan? 

Media sosial adalah dunia virtual yang cakupannya lebih luas dari dunia yang kita hadapi sehari-hari. Suara dan tulisan kita bisa didengar oleh banyak orang, berbeda dengan kehidupan nyata yang cakupannya terbatas tetangga dan orang sekitar. Bahkan di kehidupan bermasyarakat sehari-hari pun kita memiliki etika dan norma-norma bersosial yang harus dipatuhi? Apatah lagi bermedia sosial, semakin banyak audiens bukankah seharusnya kita menjadi lebih bertanggung jawab atas kata-kata kita? 


Mari berkaca kembali kepada kisah Bu Tejo dan geng ibu-ibu di film Tilik, penggambaran karakter-karakter disini secara sempurna merefleksikan tipe-tipe Netizen di media sosial. 

Apakah kamu Bu Tejo si biang gosip? Yu sam yang mudah termakan omongan orang dan suka plin plan? Yu Tri yang hobi ngomporin? Yu Ning yang mengedepankan husnudzan dan menampik gosip-gosip yang beredar? Pendengar budiman yang diam-diam mengikuti arus perdebatan dan ikut menghujat dalam hati? Atau tim bodo amat yang sama sekali tidak peduli dengan segala hal? 

Terlepas dari benar tidaknya cerita yang beredar, tetap saja yang kita lontarkan dan pikirkan hanyalah asumsi-asumsi belaka, internet memang dibuat oleh orang pintar tapi jari-jari nakal netizen yang asal komen ini apakah bisa disebut pintar? 

Terlepas dari benar tidaknya cerita yang beredar, bukankah menjelek-menjelekkan orang lain merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan? Mari saling menghargai privasi dan kesehatan hati serta mental orang-orang di sekeliling kita. Mari berusaha lagi untuk lebih bijak dalam memilih kata-kata yang kita lontarkan. 

Saya, kamu dan kita semua semoga kita menjadi netizen yang berbudi pekerti, tidak harus menjadi akun edukasi, dakwah dan motivasi. Cukup dengan menjadi diri sendiri dan tidak melanggar privasi netizen-netizen lainnya saja.[] 




*Penulis merupakan Mahasiswi Fakultas Bahasa Arab Universitas Al-Azhar Kairo.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top