Nilai Kepakaran di Era Modern
Oleh: Ali Akbar Alfata*
Bradley university.com |
Suatu hari, saya berselencar di beranda twitter. Seperti biasanya, twitter kalau ingin kita telusuri, memang memilki banyak sekali bacaan - bacaan menarik. Bacaan menarik itu semakin banyak karena intensitas penggunaan media sosial termasuk twitter juga sangat meningkat akibat Covid-19 yang menjadi momok dunia beberapa waktu lalu. Yang saya maksud dari bacaan yang menarik adalah bacaan yang begitu distracting untuk dibahas dan rasanya krenyes-krenyes.
Salah satu dari yang menarik itu
adalah tentang teori konspirasi. Saya di sini tidak ingin membahas masalah teori
konspirasinya sendiri, benarlah pepatah Arab yang mengatakan,
ترك الجواب على الجاهل جواب
“Meninggalkan jawaban(nya)
kepada orang bodoh itu adalah jawaban”.
Praktis persoalan teori konspirasi
memang tidak perlu dijawab karena ia bukanlah sebuah ruang diskusi yang sehat,
yang tidak harus dijawab adalah isi dari teori konspirasi itu, adapun ideologi
tentang teori konspirasi itu sangat layak dan harus dilawan.
Saya di sini ingin membahas hal yang
lebih umum dari teori konspirasi, yaitu bagaimana nilai sebuah kepakaran hari
ini. Pakar merupakan seorang yang menghabiskan waktu selama pendidikannya di
bidang tertentu dan mendaki penghetahuannya melalui metodologi ilmiah serta
mereka para pakar sangat otoritatif, sesuai dengan basis kompetensinya.
Singkatnya, pakar adalah orang yang sangat terpercaya di bidangnya.
Apakah meletakkan bawang di teras
rumah dapat mencegah Covid? Apakah Covid buatan manusia? Apakah ini agenda
elite global? Apakah bulan itu benar-benar ada? ini merupakan segudang
pertanyaan yang orang bisa saja menjawab apapun meskipun itu konyol dan salah.
Permasalahan sebenarnya adalah hari ini pengikut dari jawaban-jawaban konyol
itu sangat banyak, bahkan sudah merambat ke kalangan-kalangan yang “katanya”
terdidik.
Sebenarnya mudah saja, kita tinggal
mencari jawaban yang benar kepada ahlinya, kepada mereka yang ber-tabahhur
di dalamnya, sesuai dengan firman Allah:
فاسألو أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
“Maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Namun lagi-lagi, karena kebanyakan berpikir, muncul
pernyataan lain, yaitu, “ilmuwan bisa saja keliru”. Tidak ada yang salah dari itu,
ilmuwan bisa keliru, saya bisa keliru, anda bisa keliru, kita semua bisa
keliru, tapi apa yang menjamin mereka yang melontarkan pernyataan ini tidak
keliru? Tidak ada. Saya rasa sangat ngakak sekali ketika diskusi ilmiah
dieksekusi dengan pernyataan semacam itu.
Pernyataan “ilmuwan bisa saja keliru” lantas membuat mereka melontarkan hal-hal yang berlawanan dengan ilmu pengetahuan. Mereka meyakini hal yang mereka sampaikan benar dan mereka pintar, hal ini disebut dengan efek dunning- kruger, yaitu suatu keadaan di mana seseorang merasa lebih pintar dari ahlinya dan kehilangan kemampuan untuk menganalisa kesalahan diri sendiri.
David Dunning dan Justin Kruger,
selaku penemu penyakit ini berpendapat bahwa orang yang berpengetahuan rendah
cenderung sangat percaya diri karena menganggap dirinya lebih dari kenyataan
atau beyond the reality, hebat, dan berada di langit sana, hal ini biasa
disebut Illusory Superiorty. Adapun orang yang berpengetahuan tinggi, cenderung
kurang percaya diri karena merasa ilmunya belum cukup dan masih harus belajar,
sehingga sering kita melihat kalau ada kejadian kontroversial, para pakar
terbiasa diam dan melihat lebih dalam terlebih dahulu baru setelah itu
mengeluarkan pernyataannya. Hal ini disebabkan karena para pakar sangat intens
dalam memahami nilai dari ilmu pengetahuan dan tanggung jawabnya.
Kembali lagi ke permasalahan tadi,
manusia hari ini kebanyakan telah kehilangan kemampuan untuk menyadari
kesalahan, kemampuan untuk sedikit mengambil jarak dan melihat kembali apa yang
telah dilakukan, semua itu hilang. Penyebab hilangnya kemampuan metakognisi
tersebut salah satu andil besarnya adalah media sosial. Media sosial beberapa
tahun belakangan telah menjadi episentrum bias informasi karena memiliki
fleksibilitas yang tinggi. Nantinya, hal ini membuat seseorang cenderung
mencari informasi sendiri untuk mendukung apa yang dipercayai, melihat
fakta-fakta yang mendukungnya, dan memalingkan diri dari fakta-fakta yang
menentangnya.
Setelah proses itu, mereka keluar ke
media sosial dan mengatakan “ini lah bukti”, ya, bukti yang mereka yakini
sebagai “hal yang dianggap benar” bukan “hal-hal yang telah teruji sebagai
fakta melalui peraturan-peraturan yang telah disepakati”. Proses tersebut,
meskipun tampak atau memang konyol setelah dijabarkan, namun, aktualisasinya
memilki kepuasan intelektual yang luar biasa, yang bikin nagih untuk
melakukannya lagi, apalagi kalau berhasil meraup respon yang banyak.
Tentu, kita lagi-lagi bertanya, kenapa
yang demikian bisa terjadi? Mungkin tidak kita katakan penyebab sepenuhnya,
namun, dapat kita katakana bahwa salah satu keyman-nya adalah
pendidikan. Hari ini mungkin kita melihat sekolah bukan tempat merawat akal
dengan sehat. Hal-hal yang dicari di sekolah adalah euphoria yang
sebenarnya bukan hakikat dari sekolah itu sendiri. Sekolah sejatinya menawarkan
metodologi dan materi, bukan hanya nama besar dan secarik kertas. Ketidakrataan
standar pendidikan di negara kita juga yang menyebabkan hal tersebut. Biaya sekolah
dan universitas yang bagus sangat mahal, sehingga hanya sebagian kecil dari
masyarakat yang melek masalah beginian, walaupun juga tidak dijamin sekolah
yang dikenal “bagus” sekarang pasti terbebas dari ideologi semacam itu.
Walhasil, hari ini pengetahuan maknanya hanya sesuatu yang didapatkan di internet, sehingga perbedaan antara internet dan sekolah semakin terkikis. Peran para pakar telah direnggut dari situ, setiap permasalahan kontroversial malah merujuk ke selebritis, bukan ke pakar, dan akhirnya mudah dipercaya sebagai fakta. Mitos dan fakta pun semakin bias wujudnya, karena hiruk pikuk seperti ini, banyak pula orang yang asal bunyi, sehingga terciptalah sebuah kesetaraan antara “awam” dan “pakar”.
Tom Nichols, dalam bukunya, The
Death of Expertise, atau yang diterjemahkan menjadi “Matinya Kepakaran”
mengatakan, “Keadaan
sekarang hampir seperti evolusi terbalik, kita menjauhi pengetahuan yang
teruji dan mundur menuju legenda dan mitos yang disampaikan dari mulut ke
mulut. Hanya sekarang semua itu dikirimkan melalui alat elektronik”. Mitos
tidak berubah menjadi fakta apabila disampaikan di media sosial, mitos tidak
berubah menjadi fakta apabila disaji dengan bahasa-bahasa tinggi yang akademis,
mitos adalah mitos.
Akhirnya, pakar telah kehilangan nilainya, mereka yang
badzala juhduhum dalam sebuah bidang tidak dipercaya lagi sebagai ahli
dalam bidang itu, yang berbahaya apabila ketidakpercayaan itu menyebabkan Sesuatu
yang berbahaya misalnya, di skala luas seperti pemerintahan. Kalau kita menonton
film holywood, yang genre-nya adalah bencana-bencana besar, plot film
tersebut pasti diawali dengan ketidakpercayaan pemerintah kepada para ilmuwan,
pemerintah lebih mempertimbangkan opini publik tentang kapabilitas politiknya,
kemudian setelah itu bencana terjadi. Yah, itu hanya sebagai contoh saja.
Hal yang bisa dilakukan sebagai calon
pakar-pakar muda, dalam hal apapun itu, adalah meningkatkan kemampuan
menyederhanakan informasi yang rumit, atau menyampaikan informasi tersebut
melalui hal-hal yang disukai. Diharapkan, nantinya informasi tersebut dapat
dikunyah dengan baik oleh orang banyak. Benar lah kata sayyidina Ali radhiyallahuanhu,
خاطب الناس على قدرعقولهم
“Berbicalah dengan orang-orang
sesuai dengan ukuran akal (pengetahuan) mereka.”
Image seorang
pakar yang terkenal kaku dan alot dalam menyampaikan sesuatu, nantinya berubah
menjadi sumber informasi yang atraktif, walaupun para pakar tidak bisa
menghadirkan sesuatu yang mindblowing seperti teori konspirasi, tapi
setidaknya mampu hadir sebagai pihak yang mencerdaskan dan memperkenalkan
nilai-nilai dari ilmu pengetahuan itu sendiri.
Di ruang yang lebih luas lagi, masyarakat nantinya akan menghormati nilai-nilai dari buah pikir atau yang kita sebut sebagai ide, sehingga ruang-ruang diskusi yang sehat akan menjamur, ah, hal yang benar-benar indah. Saya sendiri sampai detik ini masih percaya itu akan terjadi di masa depan nanti, karena api para penuntut ilmu tidak padam semudah itu. Optimisme dan andil para calon pakar muda sangat diperlukan disini demi mencapai cita-cita itu.
Demikian hanyalah seonggok unek-unek
yang sudah lumayan lama tertahan dalam benak saya, harapannya tulisan ini dapat
sedikit membuka pikiran kita bersama, kalau memang ada yang tidak percaya
dengan tulisan ini, ya, seperti yang kita katakan tadi, “tanyakan pada
pakarnya”. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar Kairo.
Posting Komentar