Kesiapan Gerakan Islam Membangun Pemerintahan di Mesir
Revolusi di negara-negara Arab bisa dikatakan sukses jika telah melalui dua tahap: pertama, menumbangkan pemerintah diktator yang zhalim. Kedua,
membangun pemerintah Islami. Dari seluruh negara Arab yang berevolusi,
banyak indikasi bahwa hanya Mesir yang saat ini mampu untuk
merealisasikan dua tahap tersebut dengan baik. Karena gerakan Islam
Mesir telah mempersiapkan diri sejak lama.
Dua Tahap Keberhasilan Revolusi Arab
Tahap pertama,
yaitu menumbangkan pemerintah diktator. Ini sangat penting. Karena,
jika pemerintah diktator dan zhalim belum tumbang, dan upaya revolusi
berhenti di tengah jalan, itu sama dengan revolusioner menggali kuburan
dengan tangan sendiri.
Tahap pertama ini tak cukup dengan
turunnya diktator dari jabatannya, tapi juga membasmi hingga ke
akar-akarnya. Terkait hal ini, 4 April 2011 lalu saya pernah mengikuti
seminar yang diadakan oleh Jami’ah Al-Qahirah, Fakultas Ilmu Ekonomi dan
Politik, yang mengangkat tema Revolusi Tandingan di Mesir. Seminar ini
menghadirkan pakar politik Jami’ah Al-Qahirah Dr. Saifuddin Abdul
Fattah, ahli strategi di media Al-Ahram yang oposisi pemerintah bernama
Dr. Dhiya’ Rasywan, dan Juru Bicara media Ikhwanul Muslimin Dr. Mursi.
Mereka semua sepakat untuk mendukung pembubaran partai Mubarak sebagai
salah satu realisasi membasmi pengaruh sistem yang dibangun Mubarak di
pemerintahan dan masyarakat Mesir.
Tak cukup sukses tahap pertama,
keberhasilan revolusi juga harus menyukseskan proses tahap kedua, yaitu
membangun pemerintah Islami. Tahap kedua ini lebih susah, seperti lebih
susah mengisi air ke gelas dari pada sekedar menuangkannya. Bagai lebih
susah membangun rumah dari pada sekedar menghancurkannya. Kerja
menghancurkan siapa saja bisa, tapi kerja membangun, itu butuh
orang-orang tertentu. Menghancurkan kezhaliman bisa dilakukan oleh siapa
saja, termasuk oleh orang zhalim lainnya. Tapi membangun yang haq, tak sembarangan orang mampu melakukannya.
Tahap kedua ini lebih susah, sekaligus
lebih penting. Karena jika bukan orang-orang Islam yang memiliki
pemahaman Islam yang baik yang memegang pemerintah, maka bisa jadi pasca
Mubarak pemerintah Mesir akan dipegang oleh tokoh-tokoh sekuler seperti
Baradei, atau tokoh Islam kiri sosialis yang membenci Islam dan
gerakannya, seperti pemimpin Partai Tajammu’ bernama Rif’at As-Sa’id.
Jika mereka yang mengisi pemerintah pasca Mubarak, maka revolusioner
sama saja bagai keluar dari mulut harimau, tapi melompat ke mulut
buaya.
Revolusi Aljazair, Libiya, Yaman,
Bahrain, dan Suriah bisa dikatakan belum berhasil, karena mereka belum
mampu mensukseskan proses tahap pertama hingga saat ini (hingga tulisan
ini dibuat).
Sementara revolusi Tunisia yang telah
sukses merealisasi tahap pertama, tapi bisa dikatakan tak akan memberi
harapan banyak bagi umat Islam Tunisia, karena hingga kini mereka tak
mampu mensukseskan proses tahap kedua. Masalahnya, Tunisia tak memiliki
tokoh yang memadai. Gerakan Islam di sana telah dikekang sejak lama,
bahkan dimusnahkan sejak tahun 1992; tokoh-tokohnya dipenjara dan
sebagian lainnya di usir ke luar negeri. Jika tokoh gerakan Islam
sekaliber Syaikh Ghanusi kembali pasca revolusi, akan sulit baginya
untuk memegang pemerintah Tunisia, karena ia tidak bersama rakyat saat
revolusi berlangsung.
Berbeda dengan revolusi Mesir. Tahap
pertama telah mereka jalankan dengan baik. Sementara tahap kedua, banyak
realita yang mengindikasikan bahwa upaya membangun pemerintah Islam di
Mesir akan terwujud, insyâAllah.
Kesiapan Gerakan Islam Mewujudkan Pemerintahan Islami
Di antara indikasi gerakan Islam akan mampu membangun pemerintah Islami di Mesir adalah, pertama,
untuk membangun pemerintah Islam, Mesir memiliki tokoh yang cukup,
bahkan lebih. Di bidang pendalaman agama, tokoh-tokoh Al-Azhar kaliber
dunia ada di Mesir. Bidang kedokteran, tak sedikit dokter di Mesir yang
mereka memiliki ilmu sekaliber ulama. Di bidang politik, ketika Majlis
Tinggi Militer Mesir membentuk Panitia Amandemen Dustur, justru yang
ditunjuk sebagai ketua panitia adalah Dr. Thariq Basyari. Walau beliau
penasehat politik Ikhwan, tapi secara akademis dan praktis, memang Dr.
Tariq Basyari diakui berkompetensi oleh banyak kalangan di Mesir.
Indikasi kedua, gerakan Islam
di Mesir sejak lama telah mempersiapkan diri untuk membangun
pemerintahan yang Islami di Mesir, bahkan di dunia internasional
(khalifah). Pasca runtuhnya Khilafah Turki Utsmani, tak sedikit tokoh
Mesir yang menyerukan mengembalikan tegaknya khilafah di muka dunia.
Hingga kini, buku-buku terkait kepemerintahan Islam juga sangat banyak
di Mesir.
Tidak hanya konsep, praktisi politik
yang memperjuangkan syariat Islam juga telah siap menduduki pemerintah,
bahkan sebelum Mubarak turun. Hal ini bisa dilihat sejak tahun 2005.
Saat itu, dari 454 kursi DPR yang ada, partai Mubarak NDP dengan segala
kecurangan mendapatkan 325 kursi, sementara gabungan seluruh partai
oposisi hanya mendapat 14 kursi. Sedangkan Ikhwan, walau seluruh jalan
legal telah ditutup untuk Ikhwan memasuki pemerintah, tapi melalui jalur
independen rakyat tetap mempercayai politisi Ikhwan, sehingga Ikhwan
saat itu meraih 88 kursi di DPR. Dikekang saja, gabungan seluruh partai
oposisi di hadapan Ikhwan kalah jauh, apalagi pasca revolusi di saat
Ikhwan tidak dikekang. Jika tidak ada kecurangan, bisa diprediksikan
bahwa Ikhwan akan mendominasi DPR Mesir pada pemilu mendatang.
Kesiapan Ikhwan dalam memegang
pemerintah Mesir tidak hanya menjadi solusi pasca revolusi bagi Jamaah
Ikhwan, tapi juga bagi jamaah Islam lainnya dan umat Islam di Mesir.
Sebut saja dari Jamaah Salafi, Syaikh Muhammad Hassan pernah mengatakan,
“Untuk periode ke depan, kami lihat bahwa ikhwah kami yang ada
di Jamaah Ikhwan adalah pihak yang paling layak dan mampu untuk
memegang pemerintah Mesir, karena mereka memiliki pengalaman yang banyak
di kancah perpolitikan.” Tidak hanya Salafi, tapi berbagai Jamaah
Islamiah di Mesir telah membentuk wadah persatuan di Aswan pada tanggal 3
April 2011. Di antara Jamaah yang bersatu ini termasuk Salafi, Ikhwan,
Jamaah Tabligh, Sufi, dan lainnya.
Persatuan gerakan Islam ini juga menjadi indikasi ketiga
bahwa insyâAllah untuk ke depan pemerintah Mesir akan dipegang oleh
gerakan Islam, dan mereka benar-benar layak untuk itu. Hal ini membantah
logika yang pernah digulirkan oleh Pemred koran Dustur, Ibrahim Isa,
bahwa, “Tidak layak dibentuk negara Islam di Mesir, karena Mesir akan
kacau. Islam mana yang akan diterapkan, apakah Islam Ikhwan, Islam
Salafi, Islam Sufi, atau Islam lainnya?” Logika seperti ini telah
dibantah oleh realita persatuan umat di Mesir.
Hambatan gerakan Islam untuk membangun
pemerintahan Islam di Mesir tentu juga akan sangat besar, baik dari
dalam maupun luar negeri. Tapi tulisan ini hanya sekedar mengambil
pelajaran, bahwa untuk membangun pemerintahan Islam di negara mana saja
butuh persiapan konsep yang matang dan pengalaman di lapangan. Terkait
hal ini, para aktor gerakan Islam di Mesir mengatakan, “Kita tak tahu
kapan Allah memberi kesempatan untuk kita mengatur negara ini dengan
hukum Allah, tapi kita tahu bagaimana mempersiapkan diri dengan baik
untuk itu. Kita tak tahu kapan pertolongan Allah akan datang, tapi kita
tahu bagaimana kita layak mendapat pertolongan Allah.” Nahnu lâ na’rif mata ya’tî nashrullâh, walakinna na’rif kaifa nastahiqqu nashrallah.
Oleh; Muhammad Yasin Jumadi
Mahasiswa S2, Fak. Syariah wal Qanun, Jur. Usul Fiqh, Unv. Al-Azhar, Cairo.
Posting Komentar