POLITIK TEUNGKU


Snouck Hurgonge punya peranan yang sangat strategis dalam mereduksi peran ulama di Aceh. Ia memisahkan fungsi ulama dan pemimpin pemerintahan. Ulama hanya berperan mengurus masalah keagamaan saja. Sementara urusan pemerintahan, politik, ekonomi dan keagamaan biar itu menjadi wilayahnya orang lain yang bukan ulama. Konsep ini telah membumi dalam kultur masyarakat Aceh pasca penjajahan kolonial Belanda.

Konsep itu pula, pada abad 20 M. sangat dipegang oleh ulama-ulama di Aceh. Mereka tidak mau terlibat dalam urusan politik dan pemerintahan. Bahkan, jika seorang ulama, atau teungku dalam istilah Aceh, yang sangat poluler dengan keulamaanya bergabung dengan partai politik, maka kharismanya menurun dimata masyarakat. Di sisi yang lain, jabatan pemerintahan dan politik diisi oleh orang-orang yang pemahaman dan amalan keagamaannya pas-pasan. Alhasil, moral dan perilaku pemerintah dan politisi di Aceh sangat mengecwakan masyarakat, bahkan menyimpang dari ajaran Islam.

Kesadaran terhadap konsep yang salah itu kini sudah mulai terasa. Walaupun masih banyak insan dayah (ulama dan santri) yang apriori dengan politik dan pemerintahan. Namun sekarang sudah muncul beberapa ulama atau santri-santri senior yang masuk kewilayah politik dan pemerintahan. Satu langkah yang sangat maju, di mana insan dayah telah mendirikan satu partai politik lokal, yaitu Partai Daulat Aceh (PDA). Partai politik yang dipelopori oleh sebagian Abu-Abu Dayah dan dijalankan oleh teungku-teungku muda.

Kebangkitan kelompok teungku di Aceh ini tidak terlepas dari kiprah Rabithat Thaliban Aceh (RTA) –beranggotakan seluruh santri Aceh- dan Himpunan Ulama Aceh (HUDA) selaku organisasi para ulama dayah di Aceh, yang keduanya lahir pada tahun 1999. Dampaknya, sekarang kelompok yang identik dengan kupiah dan ija krong ini telah mulai berkiprah di beberapa posisi jabatan pemerintahan dalam perpolitikan Aceh.

Kondisi kongkrit dari keterbukaan teungku-teungku untuk berpolitik, saat ini terdapat beberapa alumni, bahkan pimpinan dayah yang mendaftar sebagai calon bupati/calon wakil bupati dan calon gubernur untuk pemilihan kepala daerah (Pemilukada) ke depan ini. Di antaranya, Tgk. Fajri M. Kasem (alumni Dayah MUDI Samalanga), dan Tgk. Walidin Husen (pimpinan Dayah di Tanah Luas), keduanya sebagai calon bupati Aceh Utara. Selanjutnya Tgk. Ahmad Tajuddin (Abi Lampisang) sebagai calon Gubernur Aceh. Artinya sudah ada teungku-teungku yang terjun ke dunia politik dan mau masuk ke wilayah pemerintahan.

Pembaruan pola pikir itu sepertinya belum menyentuh pada teungku-teungku yang alumni Universitas Al-Azhar Mesir. Pada Pemilukada periode lalu hanya satu orang calon yang merupakan alumni universitas Islam nomor satu di dunia tersebut; Tgk. Munawar Liza (Walikota Sabang). Namun beliau juga tidak sempat menyelesaikan studi S1-nya di Al-Azhar.

Kiranya, pembaruan yang telah dimulai teungku-teungku dayah di Aceh bersambut dengan baik oleh putra-putri terbaik Aceh lulusan Al-Azhar Mesir. Berkecimpung di dunia politik dan pemerintahan menjadi suatu keharusan mengingat itu sebagai media dakwah yang paling efektif. Masuk ke dalam sistem dengan komitmen yang kuat untuk merubah sistem. Ada dalam sistem akan jauh lebih efektif menjalankan misi dakwahnya daripada teriak-teriak di media dan mimbar-mimbar khutbah.

Ribuan ayat Al-Quran dan Hadits yang telah kita kuasai akan sangat disayangkan bila tidak bisa diterapkan untuk kemajuan Islam dan kesejahteran masyarakat. Kekuasaan adalah salah satu wasilah yang sangat penting untuk merubah masyarakat dan pemerintahan. Ulama harus tampil menjadi pemimpin di Aceh. Tentunya dengan kesiapan yang matang.

Dalam Islam tidak memisahkan antara ulama dan pemimpin pemerintahan. Islam memperkenalkan dengan istilah “Ulil Amri”. Kata “Ulil Amri” ini lebih mudah dipahami sebagai pemimpin yang menguasai agama. Ulama yang menjadi pemimpin atau pemimpin yang ulamais (baca: agamais). Tidak ada istilah ulama dan umara. Setiap pemimpin (umara) dia harus ulama, dalam arti paham Islam dan hukum-hukumnya.

Kita lulusan Mesir harus berfikir dan mempersiapkan diri untuk memasuki wilayah tersebut. Jangan hanya sekedar untuk menjadi seorang ulama tulen yang berkecimpung dengan kitab-kitab turas, menjadi ustaz di dayah-dayah almamater kita, menjadi dosen di kampus-kampus Islam, atau menjadi ketua Majelis Pemusyawaratan Ulama (MPU). Mari cita-citakan hidup kita lebih bermanfaat untuk orang banyak, bukan untuk segelintir orang. Kita adalah orang-orang pilihan yang mempunyai kemampuan luar biasa. Optimalkanlah kemampuan itu! Tidak ada yang mustahil.

Oleh: As’adi M. Ali
Musyrif Zawiyah KMA,. Sedang menyelesaikan Thesis di Institut Liga Arab.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top