Polemik Kepemimpinan Wanita
Ranah
politik merupakan tiang kesejahteraan masyarakat, mulai dari pimpinan
tertinggi hingga pimpinan wilayah terkecil mempunyai tanggung jawab
besar. Oleh karena itu, menjadi pemimpin bukanlah hal yang sepele.
Wilayah
politik sangat luas meliputi penyelenggara (eksekutif), pengontrol dan
pembuat undang-undang (legislatif) dan pelaksana peradilan (yudikatif).
Siapa saja yang menempati kursi tersebut adalah penanggung jawab roda
negara dan kesejahteraan masyarakat.
Menyinggung
partisipasi wanita dalam ranah politik merupakan polemik yang tak
berujung, mengingat kontroversi yang tajam antar Ulama dalam mengkaji Nash Al-Quran dan Hadis, ditambah pergeseran budaya dan adat dari masa ke masa.
Pendapat Ulama Tentang Kepemimpinan Wanita
Ada tiga pandangan tentang kepemimpinan wanita dalam Fiqh
Islam. Pendapat pertama melihat wanita tidak mempunyai hak sama sekali
dalam berpolitik. Di antara dalil yang dipakai untuk menguatkan pendapat
mereka adalah adanya ketentuan laki-laki adalah pemimpin (Al-Nisa 32
dan 34, Al-Baqarah : 228), larangan wanita untuk keluar rumah (Al-Ahzab
: 33 dan 53), Nash Hadis yang mengatakan wanita kurang akal
dan agama (HR Bukhari Muslim), Hadis Abu Bakrah, ketika Rasulullah
mengetahui Kaum Parsi dipimpin oleh seorang wanita, Rasulullah Bersabda :
“Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada wanita” (HR Bukhari Muslim).
Laki-laki
adalah pemimpin dalam tiga ayat yang mereka usung, tidak dapat
disimpulkan sebagai pemimpin dari semua lini kehidupan. Apalagi ayat
tersebut berbicara dalam kontek keluarga dan tentang harta peninggalan.
Sementara larangan wanita keluar rumah, khitab ayat tersebut untuk Isteri-isteri Rasulullah.
Pendapat
kedua dari sebagian besar Ulama Klasik dan kontemporer, memandang
wanita memiliki hak berpolitik yang sama seperti laki-laki kecuali
memegang pucuk pemerintahan (presiden), dengan beralasan bahwa laki-laki
dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam Islam(Buka
Al-Baqarah:228, Al-Hujurat:13, Al-Taubah: 71 dan Al-Nur: 30-31). Alasan
pendapat yang kedua bahwasanya wanita kapabel untuk berpartisipasi
dalam wilayah politik, seperti bukti sejarah tentang suksesnya Ratu
Bilqis yang memerintahkan Saba (Al-Naml : 32-34). Rasulullah juga
mengakui suaka politik dari kaum wanita, seperti Ummu Hani dalam
peristiwa Fath Mekkah, Rasulullah juga menerima bai’at kaum wanita. Juga penyebaran dakwah Islam dengan periwayatan hadis yang dilakukan juga oleh kaum Muslimah seperti Aisyah ra..
Pendapat ketiga memandang wanita berhak berpolitik seperti laki-laki termasuk memegang pucuk pemerintahan.
Kelompok yang sebagian besar Ulama Kontemporer ini menginterpretasikan Hadis Abu Bakrah ; “(Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada wanita)” khusus
ditujukan untuk Kaum Persia yang saat itu dipimpin oleh seorang wanita,
bukan dipukul rata untuk semua kaum. Juga mengambil dalil dari kisah
sukses Ratu Bilqis yang diceritakan dalam Al-Quran (Al-Naml : 32-34),
serta realita suksesnya pemimpin wanita seperti: Margareth Teacher,
Indira Gandhi, Syajaratuddur yang menghalau tentara salib masuk Mesir,
bahkan kerajaan Aceh pernah dipimpin oleh wanita.
Mereka berpendapat juga bahwasanya “wilayatul ‘udhma”
dulu bermakna pemimpin tertinggi dalam semua lini baik kenegaraan dan
agama seperti menjadi imam shalat dan khatib. Namun setelah tumbang
Khilafah Utsmaniyyah, sistem kenegaraan mengalami pergeseran. Ada
pembagian tugas yang membantu wali, seperti parlemen,
menteri-menteri, sehingga wanita juga boleh menduduki posisi tertinggi
karena tidak ada tuntutan untuk menjadi Imam shalat ataupun khatib.
Kesimpulan
Untuk
membahas masalah ini dibutuhkan ruang dan waktu yang luas, namun
diakhir tulisan singkat ini penulis mencoba menarik benang merah dari
semua pendapat di atas. Pemimpin adalah sosok yang sangat penting dalam
sebuah negara, kita lihat sikap Sahabat yang menangguhkan pemakaman
Rasulullah hanya untuk menunjuk seorang pemimpin yang menggantikan
Rasul, begitu juga dengan revolusi yang merambah Timur Tengah tak lain
hanya karena sikap seorang pemimpin. Jadi hemat penulis, seorang
pemimpin adalah yang kapabel dan berkualitas yang sanggup membawa Negara
dan rakyat ke arah yang lebih baik, siapapun dia tanpa memilah antara
laki-laki dan wanita. Wallahu a’lam bishshawab.
Posting Komentar