Menampar Diri Sendiri
Saat
saya dan kawan-kawan masih menjadi pengurus KMA, ada sebuah fenomena
aneh yang kami hadapi. Tampaknya sederhana, tapi lama-lama bisa
berbahaya.
Sebuah
fenomena aneh tapi nyata. Teman saya bilang itu adalah akibat sebuah
ketergantungan. Ketergantungan yang akhirnya mengarah pada kelemahan dan
selalu merasa tidak mampu. Namun, ada yang bilang kalau itu karena
hanya cerminan dari rasa tawadhu dan menghormati yang lebih mampu.
Fenomena
itu adalah sebuah jawaban sama yang selalu berulang setiap kali kami
mencoba mencari pemateri atau tutor, bahkan hanya untuk moderator.
“Oman, bek lon lah. Han jeut lon. Bang nyan ken na, pakon han gobnyan manteng, lon pane na jeut.” Lucu memang kalau mengingat kalimat-kalimat seperti ini. Ataupun ada dengan edisi yang berbeda. “Han ek lon. Malee eunteuk di peukhem lee aneuk baroe. Ji mita yang laen manteng yang leubeh cocok”. Kalau sudah begini biasanya si panitia yang menelpon langsung berbalik sambil bertanya: Kiban teuma bang nyoe? Hana so tem jeut keu pembimbing.”
Walaupun
nantinya acara tetap berjalan, namun tetap saja terpaksa memakai para
pemain lama. Hanya saja, yang menjadi pertanyaannya adalah: apa yang
terjadi dengan mahasiswa kita? Begitu susahkah untuk menjadi seorang
pemateri, pembimbing, atau tutor? Padahal setahu saya bahan yang diminta
untuk disampaikan selalu disesuaikan dengan spesialisasi si mahasiswa.
Bila dia di Syariah ya yang berorientasi ke fikih, usul fikih dan
kawan-kawannya. Kalau akidah, mantiq, tafsir dan sebagainya, pasti
mahasiswa ushuluddin yang diminta. Begitu juga dengan lughan tentu saja.
Selain itu, mahasiswa yang ditelpon juga biasanya adalah mahasiswa tingkat tiga atau empat dan seterus wa ma fauqahu.
Sehingga dari segi senioritas tentu saja sudah sangat cocok. Tetapi,
lagi-lagi jawaban atas permohonan kesediaan selalu saja diawali dengan
kata “oman, sorry lah”, atau pun “lakee meu’ah lah nyoe”, ada juga “han ek kee”, dan sebagainya. Ujung-ujungnya kita pun bertanya, ada apa dengan kita?
Kasus
seperti ini juga terjadi ketika dimintai untuk mengisi tulisan. Baik di
El-Asyi, diskusi dan lain-lain. Jawaban-jawaban seperti di atas juga
kerap terdengar. Makanya, saya kira there’s something wrong. Ada yang kurang rebes dengan kondisi seperti ini.
Selain
itu, ada sebuah masalah yang selama ini juga luput dari perhatian kita.
Masalahnya seperti ini, bila kita ditanya orang: “Mahasiswa Timur
Tengah ya? Keren donk bahasa Arabnya..”. Maka jawablah... Apa coba jawabannya? Tapi harus jujur syaratnya.
Tentu
saja beda orang beda jawabannya, tapi intinya apa? Tidak mungkin kan
jawabannya berbau-bau “tidak”? Harus “iya”. Caranya boleh-boleh saja
berbeda. “ Nggak juga, biasa ja,” atau “ panee na hayeu-hayeu that, biasa mantong lah”, dan berbagai cara menjawab lainnya.
Kita
akui atau tidak, banyak diantara kita yang masih malu-malu untuk
bertutur dengan bahasa Arab. Entah malu atau karena ada sebaab lain.
Kalau memang bisa berbicara lancar, kenapa harus malu-malu berbicara?
Kalau masih takut salah dan tersendat-tersendat, kenapa harus malu-malu
belajar? Bukankah kita masih berstatus thalib? Seorang yang masih dalam proses belajar. Salah, silap, tersendat-sendat, dan kehabisan vocab bukanlah sebuah aib selama kita masih terus berusaha untuk berubah.
Lebih
kurangnya, fenomena-fenomena di atas adalah masalah yang sedang kita
hadapi. Hanya saja, selama ini kurang kita sadari. Entah karena kita
disibukkan oleh aktifitas-aktifitas kita, ataupun mungkin saja kita
“enggan” untuk berpikir ke sana. Bisa jadi, kita merasa tidak siap
menerima kenyataan yang sedang ada di hadapan kita. Tapi, inilah
kenyataannya, terserah kita mau menerima atau menjadi kura-kura dalam
perahu, pura-pura tidak tahu.
Tapi
tunggu dulu. Hal diatas tidak selamanya berarti negatif. Karena seperti
yang saya katakan sebelumnya, sebagian teman menilai penolakan itu
hanya sebagai bentuk ketawadhuan mereka. Lebih menghormati yang lebih
mampu, bukan karena tidak mampu. Kalau ada yang lebih baik, kenapa harus
habisin pulsa untuk slepon saia? Kalau memang demikian, it’s okey saya kira. Fa biha wa ni’mah. Tetapi, bagaimana kalau yang terjadi sebenarnya adalah kebalikannya?
Untuk
itu saya mencoba mengangkat beberapa permasalahan di atas, dengan
harapan dapat menemukan sebab dan solusi terhadap problema di atas.
Ketergantungan dan merasa lemah
Ketergantungan
ini saya artikan sebagai sebuah sikap yang selalu mengandalkan satu
sosok atau individu tertentu. Kita seakan tidak pernah punya pilihan
untuk mencari yang lain, seakan sudah takdirnya demikian. Kita
kehilangan kepercayaan kepada yang lain. Meunyo kon gobnyan, pulang peng.
Parahnya, kita bahkan kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri.
Selalu merasa dialah yang pantas, bukan saya. Saya hanya insan biasa,
sedangkan dia adalah si Luar Biasa yang tahu segalanya. Hehehe... begitu kira-kira.
Tentu saja rasa ini salah, salah besar. Khata’ kabir. Kita tidak akan pernah tahu seberapa kemampuan kita sebelum kita mencoba. Everything has its first time.
Tidak yang langsung jadi, semua butuh proses. Kita hanya perlu mencoba,
lalu memperbaiki kekurangan yang kita dapatkan. Bukankah lebih baik
bila kita salah selagi kita masih belajar, dari pada kita salah ketika
kita tampil nanti di masyarkat kita.
Pembaca
yang budiman, mohon maaf kalau terkesan terlalu menggebu-gebu dan
seperti menceremahi. Tapi, yang ingin saya sampaikan, mari kita akhiri
kisah ketergantungan ini. Semua kita punyai kekurangan dan kelebihan.
Seimbangkan kelemahan dengan kelebihan, bukan malah n tak kan pernah
kita kenal sebelum dicoba. Dia akan selamanya tersembunyi dalam
kekurang-pede-an kita, yang pada akhirnya malah menggerogoti kelebihan kita. membunuh kelebihan dengan mengedepankan kekurangan. Yalla,Chayoo!
Karya tulismu mana?
Ini
masalah lain lagi. Walaupun tidak separah “wabah” pertama, namun untuk
ukuran zaman sekarang sudah dianggap berbahaya. Di zaman dimana tulisan
sudah menjadi layaknya kartu pengenal diri. Tanpa tulisan kita sulit
untuk dikenal.
Terlebih lagi status kita sebagai mahasiswa mengharuskan kita untuk memposisikan diri sebagai agent of change, pembawa
perubahan. Di saat dunia dipenuhi syubhat-syubhat, peran kita sangat
diharapkan. Kasus Qory dan Qanun jinayat di Aceh misalkan. Siapa yang
akan menjelaskan kepada mereka tentang kedudukan jilbab, aurat,
kedudukan wanita dalam Islam, dan seterusnya? Siapa yang akan membela
syariat Allah ketika dikatakan sebagai produk kuno, primitif, tidak
manusiawi dan sebagainya? Jawabannya, tentu saja “kita”. Tapi
bagaimana? Mau teriak? Tentu tidak akan terdengar. Mau ceramah? Belum
ada kesempatan.
Karena
saya yakin semua kita punya potensi. Tidak wajar seorang mahasiswa yang
sudah lebih dari 3 tahun belajar di Mesir, di Al-Azhar, tidak bisa
menjelaskan tentang aurat misalkan, atau apa hikmah di balik kewajiban
berjilbab, ataupun kenapa zina dihukum cambuk atau rajam. Kalau memang
ada yang belum bisa (semoga saja tidak ada), inilah waktunya untuk
melengkapi kekurangan kita. Selama kita masih sebagai penuntut ilmu.a
yang menawarkan rekaman. Makanya kita butuh belajar menulis. Belajar
untuk menyampaikan ilmu kita melalui tulisan. Agar ceramah kita bisa
terdengar lebih luas. Tetap terekam, bisa didengarkan berulang-ulang.
Bittukallim ‘Arabi ya ibni?
Seperti
yang kita ketahui dan maklumi bersama, belajar bahasa itu mesti ada
prakteknya. Tidak cukup sekedar tahu dan selalu diniatkan dalam hati.
Bisa menghafal segudang kata-kata bahasa Arab tidak menjamin kita bisa
menjawab dengan lancar ketika ditanya: “sa’ah kam?” atau untuk
meminta kembalian yang belum cukup. Masa harus menunjuk ke jam tangan
selalu atau harus pakai tangan untuk sekedar bilang “khamsah”. Oleh sebab itu, menurut pendapat saya pribadi, kekuranga
Opsi untuk solusi
Kita itu bukan di kosa kata, tapi di prakteknya. Setiap hari lidah kita selalu dimanjakan dengan mother tongue kita. Dari
sejak bangun tidur hingga tidur lagi, jarang sekali kita berbicara
bahasa Arab secara sadar. Artinya kita mengerti dengan baik kata-kata
yang kita gunakan dan sesuai pada tempatnya. Belum lagi bila kita
singgung pidato atau ceramah dengan bahasa Arab. Ironis kan?!
Bila masalah yang sedang kita hadapi adalah seperti yang di atas, lalu bagaimana jalan keluarnya?
Pertama,
ketergantungan dan merasa lemah. Untuk masalah ini saya kira jalan
terbaik adalah dengan memberanikan diri untuk tampil. Tidak ada lagi
kata-kata penolakan. Kita butuh untuk belajar, tidak hanya “apa yang
akan kita sampaikan”, tapi juga “bagaimana kita akan menyampaikan.”
Tenang saja, kita tidak diminta tampil sempurna, tapi tampillah
seadanya.
Selain
itu kerjasama antara pengurus dan masyarakat KMA untuk menciptakan
“lapangan kerja” bagi para mahasiswa kita untuk menyampaikan apa yang
telah mereka dapatkan. Hal teknisnya secara rinci, sepertinya tidak
cocok untuk dibahas di sini. Namun, secara umum bisa saya katakan dengan
memperbanyak ruang diskusi, seminar, dan sejenisnya. Berikan ruang
untuk lebih luas untuk mahasiswa kita untuk berbicara, menulis dan
sebagainya.
Mengenai
masalah di bidang di kepenulisan, tidak ada cara lain selain memulai
menulis. Menulis tidak bergantung pada bakat, tapi lebih kepada semangat
dan tekad. Mulailah menulis walau hanya berupa diary pribadi, lebih
bagus lagi kalau anda menjadi anggota klub-klub kepenulisan. Tidak mesti
Zawiyah KMA, di luar sana juga banyak yang tersedia.
Terakhir,
mari kita hidupkan bahasa di lingkungan KMA. kita perbaiki
perlahan-lahan (terserah juga kalau mau spontan) menghapus kekurangan
kita dalam bahasa Arab. Mari kita bentuk lingkungan berbahasa Arab
sesama kita. Salut dan syukran katsiran buat kawan-kawan
Cara lainnya, cobalah cari kawan Arab untuk bermuhadatsah, mudah-mudahan bisa membantu. Intinya, praktik dan berbicara, bukan hanya diam sambil mengenang kata-kata saja.
Terakhir,
mari kita hidupkan bahasa di lingkungan KMA. kita perbaiki
perlahan-lahan (terserah juga kalau mau spontan) menghapus kekurangan
kita dalam bahasa Arab. Mari kita bentuk lingkungan berbahasa Arab
sesama kita. Salut dan syukran katsiran buat kawan-kawan
Rakan lon ban bandum, sekali
lagi saya minta maaf atas tulisan ini bila kurang berkenan. Terus
terang hal-hal di atas hanyalah intisari dari renungan dan taushiyah
dari beberapa guru, abang-abang, dan juga teman-teman. Saya terkadang
merasa ditampar dengan nasehat-nasehat tentang kenyataan ini. Tapi, di
sini saya tidak ingin menampar siapa-siapa. Hanya ingin berbagi pikiran,
semoga ada manfaat bagi kita semua. Agar kita tidak sekedar menyandang
gelar mahasiswa. Semoga.
Tulisan Tgk. Husni Mukhtar ( Penasehat KMA-Mesir)
sudah pernah dipublikasikan di el-Asyi edisi 103
sudah pernah dipublikasikan di el-Asyi edisi 103
Posting Komentar