Seni Aceh Dalam Pendidikan

Dalam pendidikan seni dapat ditemukan dalam sejumlah “buku wajib” yang digunakan di sekolah-sekolah di Aceh, yang tidak representatif. Meskipun Aceh secara resmi dinobatkan sebagai daerah otonomi khusus, termasuk dalam bidang pendidikan, kebanyakan seni-seni bermakna di Aceh tidak terwakili. Hal ini saya temukan sewaktu melakukan pengkajian sejumlah teks berupa buku yang digunakan para siswa SMP, sebagai bagian dari riset PhD.  Kurang dari dua persen isi buku-buku tersebut mewakili seni tentang Aceh. Bila disadari, hal ini akan berdampak terhadap terpinggirkannya dan tak terwakilikan seni Aceh dalam kurikulum-kurikulum sekolah secara memadai.

Padahal, bila ditelisik dengan menggunakan pendekatan diskursus kritis, seni-seni Aceh mengandung nilai yang penting dilestarikan dan direproduksi di sekolah karena beberapa alasan. Pertama, seni Aceh lebih ditujukan sebagai media pembelajaran, ketimbang sebagai media hiburan. Misalnya, seni untuk menerjemahkan ajaran Islam. Seni diupayakan untuk merefleksikan pesan-pesan agama yang ada dalam teks-teks Alquran dan Hadis ke dalam realitas hidup masyarakat Aceh dengan mengunakan media seni.

Dengan kata lain, sedikit sekali seni Aceh bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam.  Malah seni menjadi media untuk memperkenalkan Islam bagi masyarakat luas dan sekaligus sebagai sarana pengajaran atau pendidikan agama Islam. Hikayat Aceh, misalnya, banyak digunakan sebagai sarana pengajaran agama Islam, terutama untuk membangkitkan semangat jihad melawan penjajahan sekaligus sebagai hiburan. Demikian juga dengan tarian saman, seudati, rapai dan lain-lain. Semua seni itu menjadi benteng mempertahankan sekaligus menjaga nilai-nilai agama Islam.

Kedua, seni Aceh merupakan seni yang hidup. Maksudnya, seni Aceh menyatu dengan kondisi masyarakat. Misalnya, hampir semua seni Aceh menggambarkan realitas masyarakat Aceh pada masa seni-seni itu diciptakan. Tarian Saman, contohnya, mengambarkan realitas masyarakat Gayo yang hidup serentak, kompak dan bersama-sama seiring sejalan dalam kehidupan bermasyarakat. Demikian juga  Tarian Seudati, yang mengambarkan masyarakat Pasee yang dinamik, serentak, tangkas, cepat dan penuh perhitungan. Hikayat Perang Sabi juga demikian. Hikayat ini merefleksikan kondisi masyarakat terjajah dan penting melawan penjajahan (Belanda).

Namun, coba kita bandingkan dengan seni-seni yang bukan dari Aceh. Sebut di antaranya Tarian Jaipongan, dangdut dan tari perut. Tarian-tarian ini mengesankan adanya gerakan-gerakan erotis dan penuh birahi. Secara esensial, tarian seperti ini dimaksudkan untuk kepentingan hiburan semata. Demikian juga kebanyakan lagu Barat, yang berfungsi sebagai ekspresi cinta dan nafsu birahi.

Seni yang benar

Dalam pandangan filosof pendidikan, John Dewey (1916, 1934), seni yang benar adalah yang menggambarkan hubungannya dengan pengalaman sehari-hari suatu masyarakat. Ia menjadi replika realitas hidup suatu masyarakat. Kalau dicermati, seni-seni di Aceh secara langsung mengambarkan realitas masyarakat Aceh pada saat seni itu diciptakan. Seni menggambarkan pengalaman hidup mereka, menjelaskan dengan indah bagaimana mereka memperlakukan peristiwa dalam bentuk respons-respons mental dan fisik secara kompleks untuk mewujudkan kepentingan hidup suatu kelompok. Bahkan, seni disebut identitas suatu kelompok sosial yang sangat penting untuk melanjutkkan kesinambungan budaya suatu masyarakat, di samping berperan penting untuk menjadi media memperkuat identitas budaya dan politik suatu masyarakat (Hall, 1998;  Freire, 1973).


Kalau menggunakan perspektif ini untuk mengeritisi kurikulum seni di Aceh, sungguh sangat memiriskan keadaanya. Di sekolah-sekolah menengah, ada beberapa buku inti pegangan guru-guru seni seluruh Aceh. Di antaranya buku-buku seni budaya terbitan Erlanga, Yudistira, Ganeca, dan Grafindo. Ketika menganalisa isi buku-buku ini, saya mendapati representasi budaya-budaya non-Aceh yang sangat dominan, sementara budaya dan seni Aceh terlihat terpinggirkan (marginalised).

Dari empat buku di atas, terbitan Erlangga adalah buku pegangan yang terbanyak digunakan di sekolah-sekolah. Untuk siswa sekolah menengah, ada tiga jilid yang digunakan, masing-masing jilid pertama untuk siswa sekolah menengah pertama, yang kedua untuk kelas dua dan terakhir untuk kelas tiga. Buku jilid pertama memperkenalkan seni daerah, sementara  kedua seni nusantara dan terakhir adalah seni mancanegara. Ironisnya, buku tersebut sebagaimana yang lainnya, tidak mampu mewakili (merepresentasikan) budaya daerah-daerah minoritas yang ada di Indonesia. Kata-kata seni daerah dan nusantara diterjemahkan dengan budaya dan seni kelompok tertentu, sebagai kelompok dominan di Indonesia. Dari tiga jilid buku itu, terbitan Erlangga hampir tidak memberi ruang bagi seni Aceh, kecuali pada jilid 2 halaman 105 yang memberi contoh tarian Zappin dari Aceh, sebuah tarian kreasi baru yang di Aceh sendiri tidak dikenal banyak.

Dari hasil kajian di sekolah-sekolah, banyak guru-guru seni menggunakan buku pegangan yang tidak merepresentasikan Aceh dalam pembelajaran seni. Guru-guru seni mengaku tidak mampu mendapatkan buku-buku seni yang merepresentasi Aceh di pasaran. Di samping itu,  banyak guru seni mengaku tidak berlatar belakang pendidikan seni. Bahkan, pihak Pemerintah Aceh pun  tidak memberikan training seni yang memadai bagi mereka.

Dengan demikian, jika penggunaan buku buku seni budaya terbitan Erlanga, Yudistira, Ganeca, dan Grafindo terus berlanjut atau tanpa adaptasi, risikonya besar bagi generasi Aceh.  Murid-murid sekolah akan digiring untuk mengenal budaya dan seni yang asing bagi dirinya dan masyarakatnya sendiri. Akibat lebih lanjut, anak-anak Aceh akan menjadi anak yang hilang identitas, “doek” dan terasing di negeri sendiri.

Mengunakan kacamata Paulo Freire (1970, 1973), tindakan dominasi suatu kelompok mayoritas selalu diikuti dengan tindakan pengelabuian budaya minoritas dan menumbuhkan kesadaran budaya palsu. Akibatnya, kelompok yang termaginal akan menerima pasrah dengan kondisinya termarginal tanpa berusaha melakukan perubahan. Kalau disadari, ini sedang terjadi di Aceh. Masyarakat dan bahkan kalangan pendidik di Aceh menerima begitu saja buku-buku teks tanpa mempertanyakan apa keuntungannya bagi anak didik. Juga tanpa mempertanyakan apakah teks-teks itu akan menumbuhkan generasi Aceh dengan kesadaran yang sebenarnya atau kesadaran palsu.

Lebih lanjut, Stuart Hall (1996, 1997) menyatakan identitas budaya adalah sesuatu yang sangat mendasar dalam menentukan nasib suatu masyarakat di saat kemajemukan semakin bertambah. Identitas budaya akan memberikan pemiliknya “the stance of bargaining” atau posisi menentukan sikap dan nasib, dan sekaligus menjadi alat pemersatu dan pembangkit solidaritas bersama. Namun disayangkan sekali, ketika budaya Aceh terabaikan di sekolah-sekolah, di mana kuriklulum didominasi oleh seni-seni non-Aceh, maka akan bagaimanakah jadinya generasi-generasi Aceh di masa depan? Akankah Aceh terus mampu mempertahankan eksistensinya?


Tulisan Tgk. Saifuddin Dhuhri, Lc, MA.
Dosen Jurusan Dakwah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Malikussaleh, Lhokseumawe; sedang mengambil program doktor di Monash University, Australia


Sumber: Serambi Indonesia, Opini, 3 Juni 2012

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top