Simpang Tiga

Lampu- lampu di sepanjang jalan sudah sedari tadi dinyalakan. Sayup- sayup alunan azan isya mulai terdengar dari kejauhan, tertelan riuhnya suara kendaraan yang kian memadati badan jalan. Di seberang sana, petikan gitar dan galak tawa pun tak mau kalah, ikut menggambarkan lazimnya kehidupan di semua tempat. Tapi jauh sebelum itu, mata ini telah lama terpejam. Begitu juga dengan Mak. Terbalut lelah siang tadi memaksa mata Mak untuk terpejam lebih awal, dan tengah malam nanti baru akan terjaga untuk shalat isya, lantas kembali tidur.

Pagi masih berembun ketika Mak sedang menyiapkan dagangannya, karena tepat pukul tujuh nanti dagangan itu sudah harus berada di dalam gerobak.

Aku duduk di tepi ranjang, menatap punggung Mak dari belakang, sambil sesekali menatap kosong setiap sudut rumah. Pagi-pagi ini terus terulang bertahun- tahun lamanya. Saat di mana fajar baru akan menampakkan wujudnya, Mak sudah di sibukkan dengan pekerjaan rutinnya, membuat nasi guri andalannya. Sambal goreng hati ayam, kerupuk udang, telur dadar iris, daging rendang... ah, sungguh aku selalu terhipnotis oleh aroma masakan Mak. Aroma yang membangunkanku di saat semua mata masih terlelap.

Jarum jam menunjukkan pukul enam dini hari. Semua peralatan dapur telah Mak rapikan. Wajan- wajan bekas gorengan telah di cuci bersih. Nasi guri Mak pun telah jadi. Kini tiba giliranku. Mak menuntunku menuju kamar mandi. Membersihkan ku dari sisa- sisa tidurku semalam. Mengguyuriku dengan air hingga guyuran terakhir.  Lihatlah, aku merasa dia adalah wanita cekatan dan gigih. Meskipun melakukan hal yang sama terus- menerus di sisa hidupnya, tak sekalipun keluh Mak pernah terdengar oleh ku.

“Mak ikhlas mengurusimu, Gus. Lebih baik begini dari pada kamu sehat tapi jauh dari Tuhan. Magrib masih petik gitar, isya nongkrong gak jelas, subuhnya masih dalam selimut...” kata Mak suatu hari. Seolah mengerti kegalauan hati ku. Maka tak salah jika ku katakan, aku adalah orang pertama yang berbangga hati memiliki seorang Mak sepertinya.

Jarum jam kini telah menunjukkan pukul enam lewat seperempat. Embun yang tadi masih bergelantungan kini perlahan- lahan mulai menguap seiring datangnya mentari. Mak menuntunku menuju balkon depan, mendudukkanku pada sebuah bangku panjang yang menghadap ke jalan, sambil menunggu matahari benar- benar muncul. Kata Mak, sinar matahari baik bagi tubuh, apalagi tubuhku yang tidak pernah sejalan dengan kemauanku.

Mak muncul dari dalam dengan nampan berisikan nasi guri dan sambal goreng. Kemudian di susul kerupuk udang dan telur dadar, begitu seterusnya sampai semua menu telah tertata di gerobak jualan.

Menit selanjutnya aku tidak lagi memerhatikan Mak, tidak tahu apa yang sedang di kerjakannya. Pandangan ku kini tertuju pada keramaian di hadapanku. Sebuah persimpangan yang kerap membuat kemacetan. Mereka biasa menyebutnya simpang tiga. Segala aktifitas yang beragam dari manusia yang beragam pula. Seperti siang kemarin, jalanan mendadak mecet hanya karena sebuah sedan tanpa sengaja menabrak seekor kucing yang melintas. Tapi permasalahannya bukan pada kucing yang mati, melainkan pada mobil yang tidak tahu apa- apa itu tetap melaju dengan tenang. Orang- orang dengan senang hati mengutuki supir malang itu.

“nabrak kucing kok masih nyantai? Cari musibah tu sopir!”, gerutu si tukang becak.
“Makanya, kalau nabrak kucing itu harus tanggung jawab! Kuburkan dan bagikan garam untuk tetangga!”, sambung yang lain.

Aku baru sadar kucing itu hewan keramat, pembawa bencana, atau apalah namanya. Tapi apa hubungannya antara kucing dan garam? Entahlah...

Mata ku kembali melanglang buana, kali ini pada sekelompok remaja dengan seragam sekolah yang asyik ngopi. Mak sering mengeluhkan mereka pada ku.

“jam 12 kok ngopi?”. “Gus..”, Mak menatapku. “Mak bersyukur dengan apa yang Tuhan berikan pada Mak. Mak bersyukur Tuhan memberi kamu untuk Mak, meskipun kamu itu cacat. Mungkin Mak akan sangat terpukul, jika kamu sehat dan sekarang kamu ada di antara mereka,” Mak menatap ku dalam. Lebih baik kamu bantu Mak jualan, gak usah sekolah, ya Gus?” Mak mengakhiri keluhannya dengan senyum. Aku paham arti senyum itu, senyum senang karena beliau tidak akan pernah menemukan ku ada di antara mereka.

Matahari sudah jauh di atas, tepat membakar ubun- ubun kepala. Jalanan kian macet. Masing-masing pengendara berharap bisa tiba di tujuan secepat yang mereka bisa. Tapi nyatanya hanya mereka yang bersepeda motor saja yang mampu menyelip gesit di antara celah-celah kendaraan lain, sedang sebagian mereka hanya melaju tertatih. Ada juga yang mengupat dirinya sendiri lantaran hampir menyenggol bodi kendaraan lain. Bisa panjang ceritanya.

Aku tidak sadar rupanya Mak telah selesai menata dagangannya. Beliau menghampiriku , dan kini berada di sisiku, mengelapi liurku yang mulai menetes. Beginilah keadaannya ketika laki- laki dewasa berusia 20 tahun tidak mampu mengurusi dirinya sendiri. Bahkan untuk hal yang terkecil sekalipun semuanya tidak pernah luput dari campur tangan orang tua. Tarkadang terlintas juga dalam benakku, entah sampai kapan Mak bisa menemaniku dan mengurusiku seperti ini. Sulit bagi ku untuk membayangkan kehidupanku ketika nanti Mak telah tiada. Wallahua’lam..

“Assalamualaikum”, seorang wanita berumur 20-an tersenyum kepada Mak. Kak Ratna namanya. Dia adalah pelanggan setia Mak. Pecinta sejati masakan Mak, sama seperti ku. Ia bekerja pada sebuah kantor swasta tak jauh dari rumah ku. Keharusannya untuk tiba di kantor lebih awal dari pegawai kantor pada umumnya membuat Kak Ratna lebih memilih membeli dari pada harus menanak nasi sendiri di rumah.

“Masih sepi Mak?”, tanya kak Ratna. Mak mengangguk lantas tersenyum. Seperti biasa, nasi guri Mak memeng sepi. Yang datang membeli pun satu- satu, sangat berbeda dengan nasi guri Cek Yah di ujung sana yang sudah mengantri pun belum tentu kebagian. Padahal nasi guri Mak tidak kalah enak dengan nasi Cek Yah, bahkan mungkin lebih enak. Hanya saja dalam hal ini ku rasa Mak telah melakukan satu kesalahan yang fatal, mendudukkanku dengan liur yang menetes tepat di samping dagangan nya.

Panas matahari sudah mulai terik. Kak Ratna dan semua pelanggan Mak sedari tadi telah berlalu. Mak memapahku memasuki rumah, karena sekarang sudah bukan waktunya untuk berjemur.

“Alhamdulillah Gus, nasi kita terjual habis”, Mak duduk di sampingku sambil menghitung hasil penjualan hari ini. “Cukup untuk di tabung, beli bahan untuk dagang besok, untuk Makan kita. Alhamdulillah ya Gus!” kata Mak sambil tersenyum. Beliau menyimpan uang itu di dalam lemari. Menutupnya rapat-rapat. Iya Mak, Alhamdulillah... mudah- mudahan berkah...

Selepas ashar tadi Mak kembali menuntunku menuju balkon depan. Udara sore lebih ayem dengan angin yang berhembus lembut ketimbang udara pagi dan siang hari yang kering, panas berpolusi. Simpang tiga di hadapanku pun normal, tidak sepadat tadi. sesekali sekelompok anak- anak TPA melintas dengan sepeda mereka. Dan kembali akan melintas petang nanti sepulang mengaji. Aku lebih menikmati pemandangan  seperti sekarang. Lebih tenang. Apalagi melihat Mak yang lebih santai, tidak  se kasak- kusuk tadi pagi.

Sepanjang sore ini aku hanya menemani Mak menyirami tanaman dan menyapu halaman. Padahal biasanya Mak kerap mengajak ku menyusuri trotoar yang berada di sepanjang jalan tanpa memakai alas kaki. Mak pernah mengatakan, kami yang miskin itu lebih sehat di bandingkan orang kaya. Karena mereka menggunakan alas kaki 24 jam kecuali saat tidur. Bahkan di rumahpun mereka memakai alas kaki. Padahal bersentuhan langsung dengan bumi berdampak bagus bagi kesehatan. Aku sangat setujuh dengan apa yang Mak katakan, meski sebenarnya aku tahu, terkadang Mak hanya mengada-ngada untuk menutupi kekurangan kami.  Seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Mak sempat sakit dan tidak sangggup berjualan hingga satu minggu. Akhirnya persedian beras habis. Aku ingat, malamnya Mak berkata,

“Gus... selama ini kita Makan terus,” Mak berhenti sejenak memikirkan lanjutan kata- katanya.

Nah, sudah saatnya perut ini kita istirahatkan. Biar sehat. Iya kan Gus?”.

#   #  #
Malam kembali datang membentangkan sayapnya yang lebar. Menutup sinar- sinar matahari siang tadi. Satu-persatu lampu di sepanjang jalan mulai dinyalakan. Sayup- sayup alunan suara azan mulai terdengar di kejauhan, tertelan riuhnya suara kendaraan yang kian memadati badan jalan. Di sebarang sana, petikan gitar dan galak tawa pun masih tak mau kalah, ikut menggambarkan lazimnya kehidupan di semua tempat.
Mak baru saja selesai dari shalat magribnya. Dengan takzim mulut mulia itu berdoa, bersyukur dan berkeluh kesah pada Sang Pengatur semua kejadian.selang beberpa waktu kemudian Mak melipat mukena dan sarungnya.lantas menghampiriku yang sedari tadi membisu dikasur belakangnya. Mengurut-ngurut kaki ku, mengelus-ngelus rambutku.

"Kamu lapar ya Gus", Mak beranjak menuju dapur dan kembali dengan sepiring nasi lauk rendang sisa jualan tadi pagi. Sesupa nasi singgah dimulutku, kemudian dimulut Mak. Begitu seterusnya sampai piring ditangan Mak tak bersisa.

"Kenyang kan Gus"'.

Malam mulai beranjak. Suara jangkrik dari semak-semak semakin riuh saja. Tapi indah dibawa tidur. Aku dan Mak memutuska untuk tidur seperti biasa, lebih awal. Agar tengah malam nanti Mak terbangun untuk shalat isya. Lantas kembali tidur sebelum fajar datang.

Malam kian larut saja. Aku dan Mak sudah sedari tadi terpejam, hanyut dalam lingkaran mimpi. Tapi jauh di luar sana, simpang tiga tetap bercerita. Mengisahkan ribuan cerita sampai pagi dan pagi lagi…

Oleh : Humaira Syukri*
*Mahasiswi tingkat III Fakultas Bahasa Arab, Univ, Al Azhar Mesir

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top