Anak Aceh Belajar Khat Di Kairo


BULAN ini genap tiga tahun saya dan teman-teman bergabung dalam Komunitas Kaligrafer Aceh di Kairo. Walaupun nama itu baru saja kami resmikan lewat sebuah akun facebook beberapa bulan lalu.

Awalnya, kami hanya berniat mengisi waktu kosong ketika liburan musim panas datang, karena saya pribadi tak punya bakat dalam bidang kaligrafi.

Namun, setelah diperkenalkan oleh sang guru yang juga mahasiswa Al-Azhar saat itu, akhirnya saya mulai jatuh cinta pada pena bambu (buloh) dan tinta untuk melukis khat di atas kanvas.

Kegiatan ini dinaungi oleh Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Kairo, khususnya bidang Afanin (Asosiasi Kaligrafer Arab Murni Indonesia) yang didirikan tahun 2006 oleh seorang mahasiswa bernama Muhammad Nur.

Berbeda dengan metode belajar kaligrafi di Aceh, di sini kami memulainya dari khat riq’ah, bukan khat naskh. Karena riq’ah merupakan khat yang paling mudah, di samping sebagai pembuka jalan untuk jenis khat yang lainnya, termasuk yang rumit sekalipun.

Sistem belajarnya juga berbeda, jika di Aceh dulu kami belajar dengan cara memindahkan/meniru tulisan guru yang ditulis dengan kapur di papan tulis, di sini kami belajar dengan mendengarkan penjelasan langsung dari guru di buku kami masing-masing.

Siapa yang sudah mampu menulis suatu huruf, maka akan dipindahkan ke huruf berikutnya, tanpa menunggu teman-teman yang lain. Ini karena, setiap orang punya kemampuan berbeda dalam memahami dan menulis sebuah huruf bercorak kaligrafi.

Hal inilah yang membuat pencapaian personal teman-teman berbeda. Ada yang cuma satu setengah tahun sudah bisa menyelesaikan satu khat. Ada juga yang lebih atau kurang daripada itu. Faktor kehadiran juga sangat menentukan cepat lambatnya proses belajar khat ini.

Setelah satu tahun belajar di ICMI, ustaz meminta saya dan tiga orang teman untuk pindah ke markas khat di wilayah Husen. Tempat ini merupakan cabang sekolah khat di Turki yang bernama IRCICA (Research Centre for Islamic History, Art an Culture).

Bukan main senangnya hati kami, karena bisa langsung belajar dari seorang guru besar bernama Syaikh Bel’aid Hamidi. Profil beliau telah lama kami baca di media massa, juga di internet. Beliau seorang kaligrafer yang juga dewan juri dalam setiap musabaqah khat internasional di Istanbul. Beliau telah menulis enam mushaf Alquran memakai khat maghribi.

Di markas ini kami bisa berkenalan dengan teman-teman dari berbagai negara, seperti Turki, Cina, Jepang, Maroko, Thailand, Singapura, Malaysia, Banglades dan lainnya.

Semangat sang guru, baik Syaikh Bel’aid atau para guru di Afanin-ICMI, telah mampu mencetak generasi baru para kaligrafer masa depan. Ada beberapa teman Aceh saat ini sudah mulai mengajar, bahkan sesekali menggantikan Syaikh jika beliau berhalangan.

Syaikh sangat perhatian pada kami yang dari Aceh. Di sela-sela waktu belajar, beliau selalu mengingatkan kami agar tidak berhenti berusaha memberikan yang terbaik bagi Aceh melalui kesungguhan dalam belajar khat.

“Dalam musibah tsunami banyak sekali kaligrafer yang meninggal dunia. Amanah ilmu ini sekarang berpindah ke pundak kalian semua selaku duta Aceh,” kata-kata Syaikh itulah yang sering sekali beliau ulang dalam setiap pertemuan.

Saat ini, teman-teman juga sedang mempersiapkan karya terbaiknya untuk dikirimkan ke Turki pada awal 2013. Syaikh Bel’aid yang meminta kami untuk berpartisipasi dalam musabaqah internasional tahun ini. Semoga semangat teman-teman dalam menggubah khat demi khat akan membuahkan hasil terbaik nantinya.

Allahumma amin.
Oleh Tgk. Sumainah Muhammad Husen
Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Bahasa Arab Universitas Al-Azhar, Kairo
Sudah pernah dimuat di rubrik Citizen Reportase Serambi Indonesia

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top