Bu Leukat dan Timphan Ala Kairo
BU LEUKAT (nasi ketan) dan timphan (sejenis lepat) merupakan makanan warisan indatu (leluhur) orang Aceh yang masih terus dilestarikan dari masa ke masa. Tak kenal timphan dan bu leukat, berarti belum layak disebut sebagai orang Aceh.
Bu leukat biasanya dimasak dan dihidangkan pada momen-momen tertentu seperti peusijuek (tepung tawar) jamaah haji, peusijuek linto dan dara baro (mempelai pria dan wanita), peusijuek tujuh bulan (wanita hamil), atau pada perayaan maulid Nabi Muhammad saw.
Begitu juga halnya dengan timphan. Penganan khas Aceh ini sering kali disajikan pada hari Lebaran, kenduri, peusijuek pranikah, peusijuek sunatan, dan sebagainya. Khusus pada hari kenduri, timphan biasanya menjadi salah satu menu dalam idang meulapeh (hidangan berlapis).
Tapi lain di Aceh, lain pula di Kairo. Di sini, kami biasanya memasak bu leukat ketika mempeusijuek para duta Aceh yang baru tiba untuk menuntut ilmu di Mesir, Negeri Kinanah. Bu leukat juga disajikan saat peusijuek para pengurus Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) saat pelantikan.
Yang membuat bu leukat Kairo tampil beda adalah bahan bakunya bukan dari beras ketan, melainkan terbuat dari beras Mesir yang disebut lisan asfour. Ini karena, beras ketan sangat sulit dicari di seantero Mesir. Kalaupun kebetulan ada, harganya sangat mahal. “Kalau ada yang murah, buat apa beli yang lebih mahal?” begitu kira-kira prinsip kami.
Adapun timphan di Kairo, saat ini tidak hanya dikenal oleh aneuk nanggroe. Tapi juga diminati oleh masyarakat luar Aceh. Bahkan pada awal bulan Juli lalu, dalam Event International Student Show yang dihadiri oleh delegasi beberapa negara di dunia, timphan menjadi salah satu kuliner favorit dari Indonesia.
Karena persediaan pucuk daun pisang untuk membalut timphan sangat terbatas, kami akhirnya juga menggunakan daun pisang tua sebagai pembungkus timphan. Ini menjadi sisi unik tersendiri dari timphan kreasi kami di Kairo. Namun, jika tidak mendapatkan daun sama sekali, timphan terpaksa kami bungkus dengan plastik atau terkadang dengan alumunium foil.
Merupakan kebahagiaan yang luar biasa bagi kami, ketika mendapati timphan yang berisi asoe kaya (srikaya) karya kami tidak jauh beda cita rasanya dengan buatan ibu di kampung halaman. Dengan cara itu, kerinduan kami akan kampung halaman pun bisa sedikit terobati.
Melestarikan budaya Aceh, termasuk aspek kulinernya, adalah salah satu kewajiban aneuk nanggroe di mana pun ia berada. Jadi, sejauh mana pun kita merantau, semodern apa pun hidup kita, jangan sekali-kali menjadi “kacang yang lupa akan kulitnya”.
Oleh: Sumainah Muhammad Husin
Mahasiswi Universitas Al-Azhar Fakultas Bahasa Arab Tk. IV
Sudah pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia, rubrik Citizen Reportase
Posting Komentar