Memburu Kitab Karangan Ulama Aceh di Mesir


SATU hal yang yang tak pernah saya duga selama belajar di Mesir adalah keberadaan kitab-kitab berbahasa Melayu dengan aksara Arab (jawo). Berbagai literatur Islam ini bertebaran di Maktabah Halabi yang terletak di Kota Hussein, tepatnya di belakang Universitas Al-Azhar.

Halabi adalah sebuah maktabah sederhana dan tidak begitu luas. Berbagai kitab cetakan lama menjadi ciri khas dari maktabah ini. Selain kitab jawo, Halabi juga menjual berbagai literatur Arab, semuanya berupa cetakan lama. Nama Halabi sendiri merupakan nisbah dari pendiri maktabah ini yang bernama lengkap Mustafa Al-Halabi.

Kala itu Syekh Mustafa Al-Halabi bergaul sangat intens dengan para ulama semenanjung Melayu. Sepeninggal beliau, maktabah ini terus dipertahankan oleh anak, cucu, serta cicitnya.

Diperkirakan, Matabah Halabi ini berdiri pada awal abad 20 Masehi, mengikut beberapa cetakan kitab jawo yang cetakannya berkisar pada tahun 1900-an. Kitab-kitab tersebut adalah buah dari mahakarya ulama-ulama Melayu pada abad 20 Masehi. Di antaranya karangan ulama negeri Aceh, Banjar, Pattani, juga mahakarya dari ulama Pulau Jawa.

Keberadaan kitab-kitab tersebut membuktikan eksistensi ulama-ulama  semenanjung Melayu di Mesir dalam rangka mengajar dan belajar. Selama di Mesir, para ulama ini menyempatkan diri menulis kitab.

Di antara kitab jawo yang sudah berada di tangan saya adalah kitab Nuzhatul Ikhwan yang dicetak pada tahun 1349 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1928 Masehi. Kitab ini dikarang oleh ulama asal Aceh bernama Abdullah bin Isma’il Al-asyi. Nuzhatul Ikhwan adalah kitab bahasa untuk memudahkan pelajar menguasai beragam kosakata asing. Yang menarik dari kitab ini adalah turut menyertakan kosakata bahasa Aceh dan Turki, di samping bahasa Melayu dan Arab.

Beberapa bulan lalu, saya sempat memposting cover kitab ini di jejaring sosial facebook dan mendapat respons luar biasa dari facebooker, khususnya para pemerhati bahasa dan budaya Aceh. Salah satu nilai tarik dari kamus bahasa ini karena telah membuka fakta bahwa promosi bahasa Aceh dalam kancah dunia telah dimulai semenjak dulu oleh  Syekh Abdullah bin Isma’il Al-Asyi dalam format kitab jawo.

Kitab karangan ulama Aceh lainnya adalah Bidayatul Al-Hidayah yang dicetak tahun 1342 H atau bertepatan dengan tahun 1921 M. Kitab ini dikarang Syekh Muhammad Zein bin Alfaqih Jalaluddin. Bidayatul Al-Hidayah banyak mengupas tentang ilmu tauhid dan fikih.

Masih ada beberapa kitab jawo lain yang telah saya koleksi. Di antaranya Al Wahbah Al-ilahiyah karangan Syekh Muhammad Mukhtar Al-Jawi Al-Batawi Al-Bogori. Kitab ini menyebutkan bahwa pengarang pernah bermukim di Mekkah dan menjadi pengajar di Masjidil Haram. Kitab ini mengupas tentang hak-hak mayat, bab shalat dan puasa.

Maktabah Halabi telah membuat saya terkagum-kagum dengan beragam mahakarya ulama dari tanah Melayu, terutama kitab-kitab karangan ulama Aceh. Namun sayangnya, dalam beberapa kitab yang saya koleksi, tak ada satu pun dari para ulama tersebut yang menulis biografi (manaqib)-nya, kecuali hanya menulis negeri asal. Bahkan ada yang hanya menyebut dirinya sebagai hamba Allah saja. Di kalangan para ulama, hal ini bertujuan untuk membebaskan diri dari sifat ujub dan riya, Wallahu ‘alam.  


AZMI ABUBAKAR.
Mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Editor Buletin el-Asyi, melaporkan dari Kairo.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top