Menuju Revitalisasi Pelabuhan

Aceh pernah berjaya dengan pelabuhan semenjak zaman kesultanan Iskandar Muda. Kala itu pelabuhan (bandar) Aceh memposisikan diri sebagai jalur perekonomian  penting.  Itu terus berlanjut  Sampai abad ke 18, pelabuhan Aceh benar-benar menempatkan diri sebagai palabuhan maritim Asia Tenggara.

Dalam literatur sejarah, tersebutlah kisah para pedagang Arab dan Persia yang kerap melakukan perjalanan melalui pelabuhan Aceh. Wilayah timur Aceh pada abad ke 13-14 telah berdiri pelabuhan besar Samudera dan Perlak yang merupakan pelabuhan terbesar kawasan Asia Tenggara.

Literatur sejarah juga menulis  tentang pelabuhan besar Aceh lainnya yang hidup kawasan Lamuri, pelabuhan ini bertahan  sampai abad ke 12. Kemunculan pelabuhan di semenanjung Melayu akhir abad 18 telah membuat pelabuhan Aceh nyaris hilang ditelan ombak.  Dan pada masa-masa selanjutnya pelabuhan Aceh tak banyak menunjukan perkembangan berarti.

Karena itu, kita menyambut baik pernyataan gubernur  Zaini Abdullah baru-baru ini yang menegaskan untuk menghidupkan kembali  pelabuhan sratagis di  Aceh (Serambi Indonesia, 30 Agustus 2012). Ada harapan besar setelah tujuh tahun perdamaian Helsinki, dimana peluang  revitalisasi pelabuhan  terbuka lebar.

Gubernur menyebutkan bahwa tujuan revitalisasi pelabuhan bukan hanya untuk meningkatkan taraf perekonomian yang tangguh, namun agar Aceh juga terbebas dari ketergantungan luar seperti Sumatera Utara.  Pelabuhan Sabang, Krueng Geukuh dan Langsa merupakan diantara pelabuhan strategis dimaksud. Namun untuk mewujudkan revitalisasi pelabuhan, membutuhkan biaya yang tidak sedikit, artinya pemerintah Aceh akan meminta pemerintah pusat melalui kementerian  perhubungan agar dana yang dialokasikan untuk proyek kereta api dialihkan untuk biaya revitalisasi  pelabuhan. (Serambi Indonesia, 30 Agustus 2012)

Dalam bingkai Aceh baru, Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA)  No 11 tahun 2006  yang merupakan turunan dari MoU Helsinki telah mengatur beberapa poin tentang pelabuhan Aceh ini yakni pasal 19 butir 1, 2, dan 4, pasal 156 butir 1, pasal 16-170, pasal 172, dan pasal 173 butir 1 dan 2.

Pengalaman adalah guru terbaik, mungkin itu kata bijak untuk menilai wacana revitalisasi ini.  Sebagai perbandingan,  majalah detik (edisi 39, 2012) pernah mengupas wacana pemindahan ibukota negara, yang dalam sejarahnya terus menjadi wacana abadi semenjak Sukarno berkuasa. Kita sama sekali tak berharap kajadian ini terulang persis pada proyek revitalisasi pelabuhan Aceh.

Hemat penulis sebelum masa pemerintah ZIKIR wacana-wacana untuk membangun kembali pelabuhan secara lebik baik juga telah lama bergulir. Walaupun sudah ada tindak lanjut dari rencana dimaksud, namun kesan yang kita dapatkan dari pengerjaan proyek tersebut masih terkesan cilet-cilet.

Pelabuhan Berbasis Syari’at

Pelabuhan Aceh merupakan warisan peninggalan kesultanan yang amat berharga. Warisan tersebut tentu telah dibingkai dalam tradisi Islam yang sedemikan apik. Kita perlu mengingatkan kembali akan sejarah ini, bahwa upaya revitalisasi pelabuhan di Aceh posmodern  juga harus pula dibingkai dalam semangat menjalankan syari’at Islam.

Karena pelabuhan yang disekelilingnya penuh maksiat tentu tak berguna bagi rakyat Aceh. Jika perekonomian berkembang, namun akhlak manusia menurun,  maka yang ada adalah hanyalah bala-bala yang turun ke tanah Aceh.

Revitalisasi pelabuhan perlu melibatkan ulama dalam hal pengawasan, ini dimaksud sebagai bentuk kehati-hatian (ihtiyath) sebagai peringatan sejak dini agar tanah Aceh yang diberkati tak ternodai oleh kasus-kasus pelangaran syari’at Islam. Kita tak ingin sama sekali jika pelabuhan Aceh masa depan berubah menjadi tempat maksiat yang tiap malam didatangi anak-anak muda yang krisis akan nilai agama. Menurut penulis, perlu dibangun lembaga-lembaga pendidikan Islam semisal dayah terpadu  yang letaknya tak jauh dari pelabuhan.

Pelabuhan-pelabuhan di Aceh mau tidak mau harus mempunyai ciri khas keislaman yang menjadi simbol mulia Aceh. Hasil dari revitalisasi tersbut seyogyanya bisa mengigatkan kita dan publik luar kembali tentang sejarah masuknya Islam lewat musafir panjang para pedagang Gujarat melalui pelabuhan-pelabuhan Aceh.

Pelabuhan Aceh masa depan akan menjadikan orang Aceh sendiri bertambah bangga akan keislaman dan keacehannya, bahkan orang luarpun akan turut menganggumi sisi keacehan yang nampak pada aura pelabuhan Aceh. Revitalisasi pelabuhan akan menuai keramat  jika para generasi Aceh post modern telah benar-benar berusaha sesuai semangat keacehan dan keislaman. Akhirnya kita berharap dengan adanya revitalisasi pelabuhan bernuansa islami, kelak akan menjadi safari sejarah yang indah disamping menggeliatnya pertumbuhan ekonomi di tanah Aceh baru.

Penulis : Azmi Abu Bakar
Mahasiswa Al-Azhar Fak. Syariah Wal Qanun.
Tulisan ini sudah pernah di muat di acehinstitute.org. Hari Sabtu 8 September 2012. Link http://acehinstitute.org/id/pojok-publik/sosial-budaya/item/167-menuju-revitalisasi-pelabuhan.html

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top