Idul Adha, Ketika Jauh dari Sanak Saudara


Pada hari raya, semua wajah kita terlihat gembira pada hari ini. Namun bagaimana pun kegembiraan, tak bisa dipungkiri bintik-bintik kesedihan tetap saja tergores di masing-masing lubuk hati kita. Hal itu di karenakan hari raya yang seharusnya kita berkumpul dengan keluarga ternyata harus kita rayakan di negeri orang yang jauh dari keluarga dan sanak saudara.

Kerinduan kita pada kampung halaman -apa lagi pada hari raya seperti ini- merupakan suatu fenomena yang wajar, yang bisa saja terjadi pada setiap insan di dunia ini, bahkan pada diri Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam sendiri. Karena rindu itu adalah anugerah dari yang Maha Esa.

Dalam satu riwayat, seorang sahabat Nabi yang bernama Iban bin Said radhiallahu`anhu, berangkat dari kota Makkah al-Mukarramah menjumpai baginda Rasul di Madinah al-Munawwarah. Setiba di Madinah baginda Nabi bertanya pada sahabat tersebut: "Wahai Iban bagaimana engkau tinggalkan penduduk Makkah?". Ia menjawab: "Aku meninggalkan mereka dalam keadaan (bahagia) memuji Tuhan mereka. Aku meninggalkan mereka pada saat pokok Azkhar mekar dengan bunganya. Aku meninggalkan mereka pada saat batang Nammam menggeluarkan aroma wanginya". Lalu baginda Nabi tanpa sadar berlinang air matanya, karena rindu pada kampung halaman dan tanah kelahirannya.

Orang Arab dahulu pernah berkata: "Kalau kamu ingin mengetahui sifat setia pada diri seseorang, maka lihatlah apakah dia rindu pada kampung halamannya". Karena rindu pada kampung halaman merupakan sifat yang terpuji yang pasti dimiliki oleh orang-orang sehat perangainya.

Dengan momen Idul Adha ini, mari sama-sama kita melatih diri untuk menjadi orang-orang yang sabar, walau harus memeriahkan hari agung ini tanpa keluarga dan sanak saudara, karena Allah itu menyukai orang-orang yang sabar.

Bagaimanapun selaksa kesedihan yang kita rasakan sekarang ini, tidak lah sebanding dengan kesedihan dan cobaan yang terjadi pada diri Nabi Ibrahim `alaihissalam. Tatkala Allah `Azza wa Jalla menurunkan perintah pada beliau untuk menyerukan keluarga dan kaumnya agar meninggalkan penyembahan patung dan berhala, tak ada yang menerima ajakan beliau kecuali hanya sebagian orang saja.

Bahkan ayahnya sendiri Azar menolak mentah-mentah seruan beliau tersebut, yang akhirnya dakwah beliau itulah yang menjadi sebab dilemparnya beliau ke dalam tumpukan bara api. Namun beliau bersabar menerima cobaan, hingga Allah selamatkannya dari ujian itu.

Tak lama setelah kejadian ini, turun perintah pada Nabi Ibrahim untuk meninggalkan negeri Babilon. Negeri di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Dengan penuh keikhlasan beliau laksanakan perintah Allah tersebut. Di antara cobaan yang beliau rasakan, Allah belum memberikan keturunan untuknya hingga usianya yang ke-86 tahun. Dapat dibayangkan bagaimana kalau seorang yang sudah lama menjadi suami, tapi tak kunjung dikaruniai anak, betapa sedihnya!

Tak lama kemudian Allah pun menganugerahi padanya seorang putra yang bernama Isma`il. Belum lama berbahagia dengan anak semata wayangnya itu, Allah perintahkan beliau untuk membawa anak tersebut dan ibunya ke sebuah tempat yang dikelilingi padang pasir, yang sekarang kita kenal dengan Makkah al-Mukarramah.

Setelah beberapa tahun kemudian, tatkala Isma`il sudah tumbuh menjadi anak yang hampir mendekati remaja (sekitar 14 tahun), Allah pun mewahyukan pada Ibrahim melalui mimpinya untuk menyembelih anak satu-satunya.

Bayangkan bagaimana seorang ayah yang sangat lama menanti-nantikan kehadiran seorang anak, setelah memiliki anak yang ganteng lalu disuruh untuk menyembelihnya sebagai kurban? Perlu diingat, bahwa perintah ini datangnya dengan isyarat, yaitu mimpi, bukan secara terang-terangan. Ini merupakan satu ujian yang sangat sulit dilakukan apabila dibandingkan dengan terang-terangan, kalau orang yang lemah imannya bisa saja ia jadikan alasan untuk mengelak dari perintah tersebut. Karena suruhan itu datang dengan cara samar-samar yaitu mimpi. Tetapi Nabi Ibrahim tanpa banyak pertimbangan langsung melaksanakan perintah itu.

Perintah peyembelihan anaknya ini merupakan ujian sangat berat yang dihadapi Nabi Ibrahim. Ini merupakan akhir dari ujian yang Allah berikan pada beliau. Dengan kesabaran dan keberhasilannya menghadapi cobaan-cobaan yang lain, akhirnya Allah berikan pada Nabi Ibrahim julukan "minal Muhsinin". Juga dengan kesabarannya itu pula Allah karunia baginya seorang anak lagi yang bernama Ishaq, yang kemudian juga menjadi Nabi.

Demikianlah hukum Allah di alam semesta ini (sunnatullah). Di mana ada kesusahan di situ ada kemudahan, di mana ada kesempitan di situ ada kelapangan. Itulah episode kehidupan manusia yang silih berganti. Semoga dengan ujian ghurbah yang kita rasakan ini,  Allah memberikan kegembiraan pada kita di kemudian hari. Amin…!

Penulis : Edi Saputra M. Jamil, MA.
Kandidat Doktoral di Universitas Al-Azhar

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top