Syarat Baca Quran WN Timbulkan Prokontra


Pengesahan Qanun Wali Nanggroe oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dengan menetapkan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe ke-9 masih menuai kontroversi.  Syarat baca Quran yang tidak tercantum dalam qanun tersebut, menjadi salah satu fokus yang telah menimbulkan prokontra.

Prokontra tersebut berasal dari dua pihak yang memberikan penilaian berbeda terhadap pensyaratan tersebut. Pihak yang pertama Front Pembela Islam (FPI) Aceh, mereka secara tegas menyatakan untuk menolak Qanun Lembaga Wali Nanggroe karena tidak memasukkan syarat wajib baca Quran bagi calon wali nanggroe.

Sementara pihak yang lain, Pengurus DPP Gerakan Intelektual Se-Aceh (GISA) mengajak kepada semua pihak agar memahami dulu isi dari qanun tersebut, dan jangan mudah terpancing oleh provokasi pihak-pihak yang tidak senang dengan lahirnya qanun ini.

Ketua Front Pembela Islam (FPI) Teungku Muhammad Yusuh Qardhawi dalam siaran persnya menegaskan, dengan konteks Aceh Serambi Mekkah, tidak layak sebuah lembaga yang nanti akan membawa semua instansi pemerintha di Aceh, termasuk dinas Syariat Islam, tidak melakukan uji baca Al-Quran sebagai syarat menjadi pimpinan.

Yusuf Qardhawi mengkhawatirkan jika ini tetap dibiarkan akan menimbulkan fitnah di kemudian hari, termasuk kemungkinan krisis kepercayaan masyarakat terhadap sosok Wali Nanggroe. Sedangkan mantan anggota DPR/MPR RI, Ghazali Abbas Adan dalam siaran persnya menilai adanya pemaksaan kehendak dalam pengesahan Qanun LWN oleh DPRA. Terhadap hasil sidang paripurna pembahasan dan pengesahan Qanun Wali Nanggroe, Ghazali juga dengan tegas menyatakan, itu adalah produk akal-akalan dan pembodohan.
Ghazali juga menyebutkan pernyataannya itu bisa dibuktikan dengan bunyi syarat menjadi Wali Nangroe, seperti harus fasih berbahasa Aceh dan usulan mampu membaca Quran dengan tartil. Untuk fasih bahasa dinyatakan semua bahasa etnik yang ada di Aceh. Tetapi untuk mampu baca Quran dengan tartil tidak dieksplisitkan. Sebagai tokoh yang mulia, berkarisma dan bergezah tidak harus didengar kemampuannya oleh khalayak secara terbuka.
Seharusnya kata Ghazali, orang Aceh yang menjunjung tinggi kemuliaan dan keagungan Al-Quran jangan merasa aib, hilang marwah, karisma dan gezah apabila diminta dan membaca kalamullah di tempat terbuka dan didengar oleh orang banyak. Bahkan sebaliknya merasa tersanjung dan dimuliakan apabila diminta membaca Alquran di tengah-tengah khalayak ramai. Hal ini sangat sesuai dengan opini Teuku Zulkhairi Ketua IPSA yang dimuat Harian Serambi Indonesia beberapa hari yang lalu.
Secara terpisah, ketua umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Intelektual Se-Aceh (DPP-GISA), Teungku Muhtar Syarif,  justru memandang syarat itu tidak perlu. Menurutnya syarat membaca Al-Quran untuk WN sebagaimana syarat menjadi kepala daerah kurang tepat dan sangat rendah. Menurut dia qanun ini sudah melewati fase penjaringan pendapat yang sangat alot dan terbuka pada saat pembahasan dengan melibatkan banyak pihak. Ia juga menjelaskan bahwa qanun produk manusia bukan Al-Quran. Peraturan manusia tentu ada kekurangan dan tidak mungkin mengakomodir pendapat semua pihak, yang penting mengakomodir pendapat menyoritas. "Implimentasi dulu kalau nanti ada kekurangan bisa disempurnakan", tambah Muhtar. (Abdul Hamid)

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top