Pengalaman Ramadan Mahasiswa Aceh di Tengah Gejolak Negara Mesir

INI merupakan Ramadan kelima saya di Mesir sejak tahun 2009. Duka jauh dari keluarga jelas lebih terasa jika dibandingkan dengan bulan biasanya. Namun tidak pulang kampung bukan hal yang patut ditangisi, karena berpuasa Ramadan di Mesir memberikan kejutan yang tak mungkin saya temui di negeri sendiri.

Ramadan di Mesir seringkali bertepatan dengan liburan kuliah. Sebagian teman-teman menggunakan kesempatan ini untuk pulang kampung. Namun saya dan sebagian teman tetap bertahan di Mesir. Sebagian baru mudik setelah lebaran nanti.

Ramadan di Mesir memang terlihat sedikit berbeda. Beberapa minggu sebelum Ramadan tiba, hampir di setiap toko dan pusat belanja ramai yang menjual makanan khas Ramadan seperti, kurma, kismis, misy-misy dan sebagainya. Tidak hanya itu, Mesir juga sangat identik dengan vanus, sejenis lampu hias kuno yang sangat mudah dijumpai di pinggiran jalan.

Masyarakat Mesir memang dikenal sangat luar biasa dalam menyambut bulan Ramadan. Tenda-tenda dibentangkan, vanus bercahaya, spanduk-spanduk bertuliskan "Marhaban Ya Ramadhan… Kullu Sanah wa Antum ilallahi Aqrab" (selamat datang bulan Ramadhan.. semoga kita senantiasa semakin dekat kepada Allah) ada di mana-mana.  Semuanya menjadi identitas Ramadan di negeri para Anbiya ini.

Adalagi yang menarik dengan Ramadan di negeri ini, yaitu budaya maidah al-rahman. Maidah al Rahman adalah hidangan berbuka puasa yang diberikan individu atau lembaga yang disalurkan melalui badan khusus.
Maidah al-rahman kerap saya jumpai di mesjid atau tenda khusus sepanjang bulan Ramadan. Biasanya disiapkan setelah salat ashar atau menjelang berbuka puasa.

Bahkan belakangan, tidak sengaja saya menjumpai maidatu al-rahman juga menyediakan menu untuk sahur. Nikmat apalagi yang tidak diberikan oleh Mesir khususnya bagi mahasiswa yang sering khawatir jika kantong mulai menipis.

Meski kesan gratis identik dengan asal dan tidak memuaskan, namun tidak dengan maidatu al-rahman. Menu yang disajikan sangat mewah dan bervariasi, seperti nasi ayam atau daging, 'isy dan kuftah atau kibdah  (makanan khas Mesir). Siapa saja boleh berbuka puasa di sini, tua muda, lelaki perempuan, miskin atau kaya tidak masalah.

Namun kedermawanan orang Mesir di bulan Ramadan tidak hanya terbatas pada maidah al-rahman saja. Menjelang berbuka puasa, saya juga sering menjumpai para pemuda dan anak-anak berdiri di pinggir jalan sambil menenteng kardus dan nampan. Mereka membagikan kurma dan air kepada pengguna jalan. Bahkan seringkali mereka berhamburan ke dalam bis kota sekedar membagikan air dan kurma pagi para penumpang.

Ini merupakan pengalaman yang langka dan mahal bagi saya. Terkadang saya membayangkan jika mengalami kemacetan di simpang lima atau simpang Jambo Tape Banda Aceh, kemudian datang sekelompok pemuda membagikan kurma sekedar untuk berbuka. Indah sekali bukan?

Inilah Mesir dengan segala keindahannya. Gejolak revolusi yang sedang terjadi sama sekali tidak mengurangi kenikmatan berpuasa dan beribadah di bulan yang mulia ini. Vanus tetap bercahaya, maidah al-rahman tetap ramai, dan tenda-tenda dibentangkan masih tetap sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

Bahkan di tengah isu politik Mesir yang sedang memanas ini, alhamdulillah masyarakat Aceh di Mesir masih bisa berkumpul Meuligoe KMA (Keluarga Mahasiswa Aceh) untuk berbuka puasa bersama, walaupun tinggal dititik berjauhan.[]


Humaira Syukri Mahasiswi S1 fak. Dirasat Islamiyah wal Arabiyah, Jur. Bahasa Arab di Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir
Repost : www.atjehpost.com, Senin, 29 Juli 2013

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top