Kalau Kita Tahu Jalannya
Semalam saya baru tahu kalau ternyata jarak dari Tahrir ke 'Attabah itu sangat dekat. Tentu jarak tersebut dekat bagi orang yang mengetahui jalannya. Tapi bagi orang yang tidak tahu jalan yang benar, mungkin akan menghabiskan waktu dua jam baru sampai ke ‘Attabah karena harus berputar-putar mencari jalan yang benar.
Tadi pagi, Syekh Abdul Qadir, guru tahfidz saya mengatakan bahwa ilmu itu mudah bagi orang yang tahu jalannya, tahu di mana dia harus memulai, kemudian mengembangkan dan seterusnya. Akan tetapi bagi orang yang tidak tahu jalannya, maka akan sulit baginya untuk mendapatkan ilmu tersebut, karena dia tidak tahu harus memulainya dari mana, apa lagi mengembangkan.
Kemudian beliau melanjutkan bahwa permulaan dari jalan tersebut adalah dengan menghafal Al Qur’an. Sejarah ilmuwan atau ulama islam menuliskan bahwa setiap ulama besar pada masa dahulu selalu memulai pendidikan mereka dari menghafal Al Qur’an. Baru setelah itu mereka mulai mendalami ilmu-ilmu yang lain.
Karena Al Qur’an sangat bermanfaat bagi kita untuk memahami ilmu-ilmu yang lain.
Tidak ada seorang muhadits yang ketika masa kecilnya langsung langsung mempelajari hadits secara riwayah atau dirayah. Begitu pula para fuqaha, walaupun mereka Ahli fiqh, tapi permulaan jalan yang mereka pilih adalah menghafal Al Qur’an seperti yang dilakukan oleh imam Syafi’i. Bahkan para ilmuwan islam dibidang sains pun penghafal Al Qur’an.
Sebagai penuntut ilmu, apalagi ilmu agama, kita harus mengetahui langkah-langkah yang harus kita tempuh dalam mendapatkan ilmu tersebut. Memang setiap orang mempunyai langkahnya masing-masing dalam mencari ilmu, tapi saya rasa kita semua sepakat bahwa al qur’an menjadi prioritas penting diantara semua itu. Karena Al Qur’an merupakan sumber nomor satu dalam syari’at islam.
Banyak orang sekarang ini yang berbicara tentang islam, tapi sumber yang mereka dapat hanyalah dari khayalan akal semata. Oleh sebab itu, banyak diantara mereka yang salah kaprah dalam menarik kesimpulan.
Contohnya yang pernah penulis temui tentang masalah bermazhab, banyak yang menuntut untuk apa kita bermazhab, bukankah al qur’an menyuruh kita untuk berfikir? Bukankah setiap manusia mempunyai akalnya masing-masing? Dan imam mazhab tersebutkan juga manusia, bukankah apa yang mereka sampaikan bisa saja salah?
Mungkin orang yang bertanya seperti itu belum khatam membaca al qur’an. Atau bahkan tidak pernah baca al qur’an. Tapi yang mereka baca hanyalah buku-buku yang berisi syubhat tentang al qur’an. Sehingga walaupun mereka telah menyelesaikan studi hingga bermacam jenjang, tetap saja belum mendapatkan apa-apa.
Allah menyuruh kita untuk memperkerjakan akal kita dalam ayat-ayat kauniyah. Tetapi Allah juga Maha Mengetahui bahwa akal manusia mempunyai batas. Maka itu Allah utuskan Rasul bersama Al Qur’an sebagai penjelas Syari’at Allah. Dan ulama merupakan pewaris para Nabi. Allah berfirman dalam Al Qur’an dalam surat An Nahl ayat 43:
"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui."
Kalau seandainya semua orang bebas menggunakan akalnya masing-masing, kenapa kita membutuhkan dokter ketika sakit. Bukankah kita bisa menggunakan akal kita masing-masing untuk menyembuhkan penyakit tersebut?
Jalan yang kita pilih menentukan tujuan yang akan kita capai. Pepatah Arab mengakatan, “Barang siapa yang berjalan di atas jalannya, maka ia akan sampai.”
Mungkin saya termasuk telat mnyadari hal ini, maka itu kepada yang lebih muda dari saya, jangan sia-siakan waktu kalian. Segera memulai sebelum terlambat. Dan bagi yang lebih tua, tidak ada kata terlambat, selagi hayat masih dikandung badan. Dan bagi calon orang tua atau yang sudah menjadi orang tua, tanamkanlah pada anak-anak rasa cinta untuk belajar dan menghafal Al Qur’an, sebagai bekal masa depan umat yang lebih cerah.
Redaksi (FR)
Posting Komentar