Di Pangkuan Bidadari (bagian 2)
Oleh; Tarian Langit
Benar-benar tidak terasa, waktu
berjalan begitu cepat. Tanggal satu bulan depan adalah hari wisuda S2 ku.
Ternyata aku hampir tujuh tahun
tinggal di negeri menara kembar. Jika dulu Aku tidak lulus sarjana dengan
predikat istimewa, mungkin skenario hidupku tidak akan seperti ini. Aku tak
mungkin sanggup kuliah S2 di Universitas Malaysia dan tak akan selama ini Aku
di negeri orang.
Malam itu begitu kelam, di luar
apartemen terdengar suara Guntur terus mengganggu makhluk di bumi, angin
bertiup tidak karuan, suasana begitu mencekam. Rintik-rintk hujan mulai
membasahi bumi, sesekali kulirik keluar apartemen untuk memecahkan rasa galau
di hati ini.
Hatiku begitu risau. Aku teringat
tanah air, juga calon istriku di Aceh sana. Hari pernikahan kami semakin dekat.
Namun, rasa-rasanya ingin aku menundanya. Karena jadwal pernikahan kami begitu
dekat dengan jadwal sidang masterku.
"Ya Allah tenangkanlah hati
hambamu." Ucapku.
Tiba-tiba saja Aku ingin menelpon
calon istriku di tanah air. Tanpa pikir panjang Aku langsung menelpon Aya.
"Halo… salamu'alaimum"
"Walaikumsalam...kok
tumben telpon malam-malam
begini bang?" Tanya Aya.
"Adek sehat? tak tau ini dek
abang risau kali malam ini.”
"Alhamdulillah adek sehat
bang, abang shalat sunnah gi biar ilang rasa risaunya, abang fukus wisuda
saja dulu jangan risaukan kami yang di Aceh ya, kami baik-baik saja di
sini". Jawabnya.
"Ya sudah kalau begitu, adek
jaga ibu ya. Insya Allah pertengahan bulan depan abang pulang ke Aceh".
"Ya bang, ya sudah abang
jaga kesehatan ya. Salamu'alaikum..."
"Walaikumsalam..."
Jawabku.
Selesai Aku berbicara dengan Aya,
hand phone ku berbunyi lagi. Kulihat
layar hp-ku, ternyata dokter senior
di rumah sakit Aku bertugas menelpon.
"Salamu'alaikum...
apa hal pak, tak biase malam-malam?"
"Walaikumsalam...macam
ni dokte Asyraf, esok pagi I am waiting Asyraf di tempat biasa. Kawan
Asyraf, Razzak sudah bapak call juga,
pasal ape esok kita bicarakan okay."
"Ya pak, Saya datang esok
Insya Allah."
"Sampai jumpa esok hari. Assalamu'alaikum..."
"Walaikumsalam..."
Keesokan harinya, Aku sengaja
berangkat ke rumah sakit lebih awal dari pada hari-hari biasanya, ada tugas
yang harus Aku kerjakan sebelum bertemu dengan bapak Direktur rumah sakit di
Café KL.
***
Ditemani alunan musik jaz
ditambah dengan secangkir kopi hangat. Aku, Razak dan Pak Ismail mulai larut
dalam suasana café di tempat Aku dan
Razak menghilangkan penat selepas kerja.
"Macam ni nak Asyraf dan
Razak," Pak Ismail memulai pembicaraan.
"Mengingat biadapnya
perlakuan israel kepada rakyat Palestina, jadi rumah sakit kita mendapat surat
dari Lembaga Kemanusiaan Negeri Malaysia untuk mengirimkan relawan dokte bedah
sebanyak 8 orang. Tapi Saya hanya ingin mengutuskan lima saje dari dokte kita
untuk berangkat ke Palestina, termasuk Asyraf dan Razak." Jelas Pak
Ismail.
"Macam mana Razak dan
Asyraf, awak bedua boleh ikot sekali?" Tanya Pak Ismail lagi.
"Bagi kami waktu pak, esok
hari kami buat keputusan, Sebab kite orang tak nak gegabah dalam memutuskan
pekare yang pelek ini seorang-seorang", balas Razak.
"Baik-baik, saya faham. Saya
tunggu jawaban awak bedua. Tapi jujur saya katakan, saya sangat berharap kalian
bersedia menerima panggilan umat Islam yang tersiksa di Palestina", tutup
Pak Ismail.
***
Palestina, 20 September 2010.
Sore ini tak seperti hari-hari
sebelumnya. Setelah sepuluh hari kelam ditemani alunan peluru, rudal dan bom.
Tangis, jerit, darah, dan kehilangan orang yang dicinta, kini seolah menjadi
hal yang biasa.
Teringat ketika pertama kali Aku
injakkan kaki di tanah al- Quds ini, suasana asing sangat mewarnai perasaanku.
Semua terlihat gersang dan terasa sulit digambarkan.
Hari-hari Aku lalui dengan
berbagai tantangan. Setiap harinya Aku harus menangani sepuluh sampai lima
belas pasien korban kekejaman zionis. Tak kenal usia, bahkan kebanyakan korban
dari kalangan anak-anak.
Pernah suatu malam ketika tubuhku
terasa seperti hilang rasa. Aku sangat ingin memejamkan mata sejenak untuk
memulihkan stamina setelah seharian penuh mengobati para korban.
Tapi, ketika Aku hampir terlelap,
"Asyraf, Asyraf…", suara Razak membangunkanku.
Dia memintaku untuk membantunya
membedah seorang pasien terkena ledakan bom di bagian kaki kirinya. Sungguh
nyawa tak berharga di sini.
Terkadang, ingin rasanya berdiri
di depan sana, mengakhiri perang tak berprimanusiaan ini. Lelah rasanya Aku
harus melihat mereka yang seharusnya bermain ceria dan berlari untuk menggapai
cita-cita tapi harus merasakan pahitnya kehilangan. Setiap saat dalam genangan
air mata bercampur darah.
Sepertinya Aku, Razak juga
dokter-dokter lain dari seluruh dunia sangat dibutuhkan di sini. Meskipun
begitu, Aku berharap semoga semua yang kulakukan ini menjadi jihadku di jalan
Allah. Seandainya ajal menjemputku, semoga matiku dalam keadaan syahid di
jalan-Nya.
''Allahumma amin'' doaku
dalam hati.
Tiba-tiba sekelebat banyangan
dari atas lewat dan jatuh tak jauh dari tempatku berdiri.
"Dhuuuuummmm…", suara
ledakan membuyarkan lamunanku.
Samar-samar terlihat bayangan
ibuku dan Aya tersenyum lebar kepadaku. Senyuman kali ini beda sekali. Kemudian
semuanya menjadi putih.
***
''Razzak…'' lirihku.
Samar-samar terlihat seorang ibu
duduk di sampingku, ia membaca Al-Quran. Kalau tak salah ibu dari
anak yang kami operasi dengan Razzak. Di samping kiri berjejer kantong infus. Seperti
mati rasa, Seluruh badanku terbalut perban dan tak dapat digerakkan.
''Razzak…'' panggilku lagi.
Ibu itu menunjuk ke luar jendela.
Sepertinya Razzak sedang sibuk mengobati pasien lain. Pandanganku semakin
kabur. Perasaanku pun terasa asing sekali.
''Qalam…'' kataku.
Ibu itu memandangku tak berkedip.
Diambilnya secarik kertas dan pulpen. Dengan sekuat tenaga, kucoret kertas yang
diberikan ibu itu.
''Razzak…'' kataku padanya.
Diambilnya kertas pemberianku.
Mataku kembali berkunang-kunang, kepala berat, pulpen di tangan terjatuh.
Terlihat beberapa orang masuk ke
kamar, mereka kukenal. Ada ibu, ayah,
adikku Leha yang sudah meninggal, nenek dan yang terakhir Aya, Calon
bidadariku. Mereka memegang tangan, dan menarikku bangun membawa pulang kembali
ke Aceh.
---Tamat---
Posting Komentar