Mencatat Matruh-Siwa

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
October 21, 2013 

Oleh: Tgk. Azmi Abubakar


Tepat jam 7.30 pagi bus MCV 500 yang kami tumpangi meluncur, berjalan tenang melewati kota Kairo yang eksotik. Angin yang berhembus seolah mengajak para penumpang menari dalam ruang batin yang dalam. Betapa mozaik seperti ini mengingatkan kita pada kampung Mali, tentang sawah dan sungainya yang jernih. Beberapa saat kemudian, Kairo tak lebih seperti lagunya Tommy J Pisa; Dibatas Kota. 

Bus yang membawa 50 anggota Keluarga Mahasiswa Aceh terus berjalan, kita diajak untuk menghayati ciptaan sang Maha Pencipta, ternyata alam yang Allah peruntukkan untuk manusia belumlah dimaknai dengan benar. Kita begitu serakah dan sombong menatap alam sekitar. Sementara padang pasir yang terhampar dengan santunnya menyapa; wahai.. Singgahlah disini, bacakan kami puisi…”

Padang pasir telah menjadi inspirasi, surganya para penyair. Bagaimana ketika sastrawan Mesir sekelas Syarnubi menatap dalam padang pasir lalu menelurkan magnum opusnya. Dalam rentang waktu yang sangat lama padang pasir telah merasuk kedalam penyair-penyair Arab. Dan hari ini misalnya, pikiran kita boleh saja liar, menatap padang pasir. Mengumpulnya kedalam sebuah ide tentang bus yang tiba-tiba mogok, ada sebuah rumah milik keluarga Mesir, ada seorang gadis disana dan kita terpikat. Ide-ide seperti ini jika dikembangkan akan menjadi sebuah cerita romansa yang apik. 

Kisah Laila-Majnun yang digambarkan sebagai hubbon jamman adalah wujud lain bagimana sastra padang pasir bergerak. Syair-syair Majnun benar-benar majnun. Ia melewati padang pasir, Majnun yang jiwanya dipenuhi pasir-pasir puisi. Berada disini kita bisa terkenang dengan Buya Hamka, jiwanya terinpirasi lewat tanah Minang yang indah.

Kita diingatkan kembali suatu ketika tentang seorang sastrawan Mesir yang berkunjung ke Aceh, lalu menyapa Hasyimi; Alam Aceh ini seluruhnya adalah puisi. Para serdadu Belanda ketika di Aceh juga tak bisa lari dari sastra, kita ingat ketika Habib Abdurrahman Az-Zahir menyerah. Para Belanda dengan senangnya merayakan kegembiraannya lewat beberapa lirik. Matruh dalam hal ini kita dapati telah menjadi bagian dari mozaik itu.

Lima jam perjalanan dari Kairo ke Marsa Matruh haruslah menjadi perjalanan sastra yang menyenangkan. Nilai-nilai sastra bisa saja terkandung dalam bu luho pinggir pantai Ajiba atau bahkan pada kran-kran air yang tak lagi berfungsi. Dan kita berusaha untuk mengabadikan itu semua sebagai bagian dari kuliah alam. Bersama beberapa tembang kenangan era 90-an, Matruh semakin nyata, menjelma menjadi Mali. Betapa kita dapat merasakan gezah yang mendalam ketika mendengar lagunya Koesplus dan Ebit G Ade.

Aku tak sabar lagi
bernyanyi dan berdansa lewat kata
lalu mencicipi jamuan musim semi
Di hamparan Padang dan tepi laut Ajiba

(Bersambung)
Hotel Cleopatra, Kota Siwa, Matruh. Pukul 3.00 Pagi.


Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top