Budaya ‘Senewen’
Oleh: Zahrul Bawady M. Daud
Dulu, sinetron Korea mungkin hanya dinikmati oleh
segelintir orang. Tapi seiring perjalanan waktu, penyebaran penikmat film Korea
semakin meluas. Tidak mengherankan kalau beberapa pakar perfilman
memprediksikan Bollywood dan Hollywood akan tersaingi beberapa tahun ke depan, dalam
waktu yang singkat.
Secara objek pangsa pasar, sinema Korea tak hanya
menjadi tontonan pemuda pemudi bermata sipit. Tak jarang lelaki berjanggut dan
berwajah garang turut menyimak episode demi episode berbau korea. Di kalangan
wanita, tak hanya ABG labil, akhwat-akhwat halaqah pun fasih jika
disuruh bercerita kelanjutan sinetron Full House.
Fenomena “merakyatnya” film Korea di satu sisi membuat
kita miris. Di tengah maraknya tanyangan low-edukasi, malah kembali
diperparah dengan hadirnya tontonan minim nilai budaya lokal. Maka tepatlah
jika mengguritanya perfilman Korea di Indonesia digambarkan sebagai gerakan
invasi, atau dalam keadaan yang lebih parah bisa bermakna agresi.
Masuk ke Aceh, sinetron Korea tidak hanya dipandang
sebagai film anti budaya, tapi juga nihil nilai-nilai relegius. Menjamurnya
remaja pencinta Korea bisa jadi sedikit melenakan mereka dari tugas sebagai
anak bangsa, yang akan diberikan tanggung jawab pelaksanaan Syariat Islam ke
depan.
Jika ingin merunut, maka demam Korea tidak hanya salah
masyarakat. Namun lihatlah bagaimana bangsa kita dididik. Kita dikenalkan
sebagai bangsa yang memiliki aneka ragam budaya dalam berbagai catatan sejarah
dan buku panduan. Namun pada praktiknya pemerintah hanya menganggap Bali
sebagai objek wisata, batik sebagai baju lokal dan wayang sebagai hiburan.
Maka tidak salah jika kita mengalami krisis identitas,
karena memang kebanyakan identitas kita secara sistematis tidak memiliki
pengakuan yang memada. Padahal kita punya aset yang hebat untuk melahirkan
sebuah budaya popular dengan nilai-nilai global yang dituntut.
Agresi atau Invasi
Kita tentu masih ingat betapa maraknya media Indonesia ketika menyambut kedatangan
Super Junior (SuJu), sebuah grup band asal Korea. Saya kira ini hanya blow
up media yang bekerjasama dengan sponsor. Nyatanya memang animo masyarakat
membuncah. Mereka rela antri dari pagi hingga malam lalu sampai pagi lagi.
Miris.
Kita mesti waspada. Melihat geliat dunia hiburan Korea
sedikit ke belakang, sebenarnya yang menimpa kita adalah imbas infiltrasi
(penyusupan) budaya Barat (baca: Amerika). Ketika Amerika menjajah budaya
Korea, lalu dengan berbagai pergulatan mereka bangun untuk mencari mangsa baru.
Indonesia dengan berbesar hati menerimanya.
Kejadian tersebut mengingatkan kita dengan pendudukan
Jepang di Indonesia. Lalu Amerika menjatukan bom atom di Hirosima dan Nagasaki.
Kesamaannya adalah Indonesia selalu menjadi imbas. Baik itu invasi fisik ataupun
mental. Jika dulu diuntungkan, maka kini (maaf) merugikan.
Jadi sebenarnya (menurut musisi) kita sedang
disodorkan dengan alternatif berkualitas
super copy (KW). Bahasa kerennya imitasi. Tapi kita merasa nyaman saja. Entertainment
Korea sama sekali tidak perlu melakukan akulturasi (penyesuaian) budaya ketika
masuk Indonesia. Kita menjadi pelahap tanpa penyaring.
Parahnya lagi kita tak hanya menjadi penikmat. Tapi
melakukan plagiat. Saat ini muncul boyband atau girlband
beraliran Korea. Beberapa laki-laki pun harus rela jadi pria metroseksual atas
nama seni (estetika). Mereka rela keluar
masuk salon, facial demi sebuah sugesti; Kamu mirip artis korea.
Meminjam istilah pasaran, perilaku mencontoh pada
budaya Korea sama dengan menyontek pada jawaban yang salah. Tak heran jika
apresiasi seni sangat minim. Karena memang hiburan Korea secara budaya yang
dipandang sebagai hasil cipta, kehendak (karsa) dan rasa belum dikategorikan
memenui syarat. Jadi kita tidak sedang mempraktikkan seni budaya, namun budaya ‘senewen.’
Sekarang kita pantas bertanya, adakah tanah air kita
sedang diinvasi atau diagresi? Invasi dapat dimaknai dengan kegiatan
berbondong-bondong memasuki suatu tempat atau memasuki daerah lain dengan niat
menguasai wilayah tersebut. Sedangkan agresi dimaknai dengan penyerangan secara
fisik maupun psikis(jiwa-mental). Jawabannya ada pada realitas masyarakat kita.
Ketika penggiat entertainment Korea menerapkan gaya
Amerika dalam dunia hiburan, mereka menyempatkan diri untuk memadukan dengan
latar Asia (tepatnya Korea). Namun kita selalu minder, tidak berani menampilkan
unsur kedaerahan. Kita selalu menjadi bangsa yang pengekor. Bangsa yang
cenderung lebih suka ‘mangat na meurasa tan,’ ketimbang mengolah dengan
cita rasa sendiri.
Saat ini kita mulai bangga banyak tahu tentang Korea.
Siapa, apa dan bagaimana perilaku bangsa dan bahasa mereka. Makin hari,
kenyataan masyarakat kita sebagai bangsa kelas dua semakin terbukti. Ternyata
kita sendiri yang membuat bangsa ini inferior(merasa rendah). Beberapa orang
yang sudah masuk tahap ekstrim malah tak hanya mengetaui, tapi mencintai. Naas.
Seharunya efek Korea di Indonesia bisa berbua manis.
Ide-ide atraktif harus lahir demi
mewujudkan bangsa kita yang tidak low-entertaiment. Tanyangan televisi seharusnya
mampu mewujudkan identitas kehidupan kita sehari hari dengan format yang maju,
lazimnya drama Korea.
Berharap menjadi orang Korea
Sadar tidak sadar aneka budaya Korea diikuti
muda-mudi. Seperti debu yang terbawa angin dari Korea kemudian hinggap di
Indonesia dan menyebar sampai menempel
dikulit masyarakat kita. Lalu kita terhipnotis dan merasa sudah menjadi orang
Korea dengan debu itu.
Adakah efek hiburan separah itu? Pertanyaan ini muncul
setelah kita melihat apa tujuan dibalik dunia hiburan. Apakah mereka hanya
memperjuangkan sebua lelucon untuk sebuah tertawaan atau menampilkan kezaliman
terhadap tokoh protogonis agar mata kita lembab menangis. “Gop dikliek
meureumpok peng, troh tanyo meureumpok male.”
Kalla, tidak sekali kali. Merujuk
kepada sebuah pertentangan kebudayaan, ada nilai-nilai abstrak yang ingin
ditempuh dari setiap hiburan korporasi. Mereka tidak akan membuang uang begitu
melimpah hanya untuk sebuah hiburan murni. Jika ada, maka sang sutradara benar
benar miskin ide.
Sebagian tujuan drama dan aneka hiburan Korea bisa
dikatakan sudah menemui hasil. Lihatlah, betapa banyak saat ini muda-mudi yang
berjalan diterik matahari sambil mengenakan syal. Itu hanya contoh kecil.
Betapa tontonan bersfat korea sukses meninggakan living ideology, yaitu
sebua tatanan universal berlandaskan nilai sosial murni. Ini baru yang
menggurita, belum lagi jika kita melihat perilaku satu persatu remaja ‘gila’
Korea.
Hemat saya pribadi, tontonan Korea lazimnya sebuah
tontonan berusaha membawa kita ke arah wishfull thinking, sebuah daya
khayal alam bawah sadar yang merayap ke dalam state of mind. Masuk dan
meracuni pikiran kita. Lalu kita berharap benar- benar menjadi orang Korea dan
bersikap kekorea- koreaan. Buktinya banyak anak muda terobsesi untuk menjadi
Lee Min Ho, Le Min Jung ketimbang menjadi Ampon Leman yang berwibawa.
Akhirnya, beruntunglah anda yang tidak terpengaruh
dengan tontonan Korea, dan sungguh beruntung bagi anda yang tidak menontonnya
sama sekali. Wallahu A’lam.
*Tulisan
ini telah dimuat pada Buletin el-Asyi KMA Edisi 119
Posting Komentar