Jati Diri Aceh Mulai Memudar
Oleh; Irwansyah Husni Daud*
Who Am I? image doc. google |
Aceh merupakan daerah paling ujung barat Indonesia yang
telah hidup menggelora dalam keberadaan zaman yang panjang. Kejayaan-kerajaan
masa silam dan kepahlawanan jihad fisabilillah melawan penjajahan adalah cerita
yang selalu membawa kebanggaan bagi Aceh. Almarhum Prof. H.A. Madjid Ibrahim
mengatakan, daerah Aceh juga mempunyai keistimewaan dalam tiga hal; istimewa
dalam bidang pendidikan, istimewa dalam bidang keagamaan dan terakhir istimewa
dalam bidang adat dan budaya.
Namun, apakah sekarang Aceh masih menggenggam erat
keistimewaan tersebut? Bukankah ketiga keistimewaan itu merupakan jati diri Ureung
Aceh? Disini penulis akan menggambarkan sekilas kondisi rakan-rakan geutanyoe
yang saya saksikan selama berada di
Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka liburan musim panas kemarin.
1. Istimewa dalam bidang pendidikan.
Pendidikan yang berlaku di Aceh di masa silam (baca: masa
kerajaan pase, kerajaan peurlak dan lainnya) adalah pendidikan berdasarkan Islam,
belum ada pada saat itu yang namanya sekolah. Satu-satunya tempat belajar untuk
umum adalah Dayah, sedangkan Meunasah selain tempat ibadah salat juga berfungsi
sebagai tempat belajar bagi masyarakat
dan anak-anak di kampung.
Sekarang bisa kita lihat di Aceh, telah banyak dibangun
sekolah-sekolah baik dari tingkat terendah
TK, SD, SMP/Mts, SMA/MAN hingga perguruan tinggi. Dari satu sisi ini
merupakan sebuah kemajuan bagi Provinsi Aceh terlebih lagi ketika IAIN
Ar-raniry baru saja resmi berubah namanya menjadi UIN ar-Raniry.
Tetapi sangat disayangkan dari segi kualitas dan mutu
pendidikan yang ada di Aceh, di tahun 2013 tercatat lebih dari 1.700 an siswa
tingkat SMA dan sederajat gagal untuk lulus dari Ujian Nasional atau 95 persen
tingkat kelulusan. Padahal jumlah dana yang dikucurkan Pemerintah Aceh begitu
besar, namun tetap saja belum mampu meningkatkan mutu pendidikan di Aceh.
Siapa yang disalahkan? Anak didik, guru atau Pemerintah Aceh. Belum lagi kita melihat
betapa banyak anak-anak Aceh yang putus sekolah. Apakah ini yang disebut dengan
Daerah Istimewa?
Sebenarnya, Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai jati diri
yang membuat orang lain terkagum-kagum. Dulu Aceh menjadi ladang ilmu bagi
masyarakat Nusantara khususnya dan Bangsa Melayu pada umumnya, seperti Malaysia
dan Thailand. Bahkan ulama-ulama Aceh menjadi rujukan dan tempat bertanya
mereka yang datang dari negeri jiran.
Inilah yang sangat diharapkan oleh ureung Aceh pada masa
sekarang, semoga kegemilangan yang pernah dirasakan pada masa dulu bisa
bersinar kembali di Provinsi Aceh.
2. Istimewa dalam bidang keagamaan.
Irwansyah Husni Daud; Mahasiswa Tingkat Akhir, Fak. Ushuluddin, Jur. Hadis, Univ. Al-Azhar, Kairo. |
Keistimewaan lain yang terdapat pada diri ureung Aceh
adalah agama Islam yang dianutnya. Pastinya kita bangga, ketika melihat Islam
di masa kerajaan-kerajan Aceh dulu yang mana masyarakatnya sangat antusias menjalankan
syari'at Islam, Sehingga aceh terkenal dengan sebutan Serambi Mekkah.
Namun, apakah aceh yang sekarang masih aceh yang dulu?
menurut saya, realita yang ada di aceh saat ini adalah jawabannya.
Jika kita melihat kehidupan Ureung Aceh sekarang terutama
muda-mudi dan anak-anak. Mereka adalah generasi yang harus meneruskan estafet
ureung-ureung awai. Kita masih ingat, muda-mudi aceh dulu mereka sibuk
melakukan ibadah dan mengikuti pengajian di Meunasah pada malam hari.
Tapi berbeda dengan sekarang, mereka lebih asyik dengan
kehidupan yang glamour, hura-hura dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal
yang tidak berguna. Contohnya saja, remaja Aceh kini lebih suka berkeliaran di
malam hari dan tidur dari pagi hingga siang kalau tidak ada sekolah atau jadwal
kuliah, mereka lebih sering berkumpul di tempat burger, warung kopi, cafe-cafe
dan tempat-tempat yang mereka anggap tempat gaul yang mengakibatkan mereka lupa
waktu, lupa ibadah dan lupa semuanya.
3. Istimewa adat
Adat dan budaya yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam
adalah nilai plus bagi masyarakatnya. Di masa silam, seni budaya yang lahir
dari masyarakat Aceh sangatlah berasaskan Islam. Sehingga yang mereka rasakan
dalam kehidupannya hanyalah ketenangan dan keharmonisan. Akan tetapi, kenyataan
yang ada di Aceh sekarang membuat kita malu, karena sudah banyak yang dilakukan
oleh masyarakat kita menyimpang dari ajaran agama Islam.
Dalam rangka liburan kemarin, saya sempat berkunjung ke
Taman Ratu Safiatuddin tempat digelarnya Pekan kebudayaan Aceh VI dengan tema
"Aceh Satu dalam Sejarah dan Aceh Satu dalam budaya". Yang mana
semestinya, harus menggambarkan identitas Aceh dalam keragaman seni dan produk
budaya aneuk nanggroe yang berasaskan islam.
Namun sangat disayangkan, banyak panggung pertunjukan
dari berbagai anjungan kabupaten/kota diisi dengan acara dandutan, disko bahkan
sambil berjoget.
Jelas ini bukan budaya Ureung Aceh, orang-orang tua kita
dahulu tidak pernah mengajarkan apalagi melakukannya. Hal ini sangat merugikan
masyarakat aceh dengan dana miliaran rupiah kita habiskan, malah kita salah
kaprah menampilkan hasil cipta karya budaya orang lain.
Padahal, seni budaya yang diwariskan oleh ureung-ureung
awai itu tepat berada pada garis-garis islam. semetinya kita sadar kalau jati
diri kita selaku Ureung Aceh sudah mulai memudar sedikit demi sedikit.
Orang-orang Aceh dahulu, kata-kata yang keluar dari lisan
mereka itu ibarat mutiara di lautan, sarat akan makna dan penuh dengan hikmah.
jika kita sungguh-sungguh ingin kejayaan dan kegemilangan yang pernah membumi
di Aceh itu kembali, kuatkanlah iman di hati ureung-ureung Aceh dan terus
berjalan di atas garis-garis agama Allah Swt. serta ta pubuet peu yang
patoet seperti nasehat orang-orang tua Aceh dahulu; “Ta mariet beungoeh
ingat keu seupoet, Ta jak ukeu ingat u likoet, Ta duek di rumoeh bek ta meu
phoet-phoet, Ta jak lam rame bek ta ceumaroet”.
*Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Ushuluddin, Jur. Hadis, Univ. Al-Azhar, Kairo.Tulisan ini sudah dimuat dalam buletin el-Asyi edisi
119.
Posting Komentar