Meluruskan Kekeliruan Dalam Dunia Tasawuf


 Oleh; Nurkhalis Mukhtar*


Tulisan sederhanana ini berawal dari sebuah diskusi bersama seorang teman di Husein, di sela- sela ujian term dua. Teman penulis ini meminta kepada penulis untuk menuliskan pandangan agama mengenai konsep Nurmuhammadi.

Penulis teringat  sebuah buku yang berjudul “ Daqaiqul Akhbar,“ buku tersebut banyak dikaji di pengajian ibu–ibu di kampung–kampung, atau dapat kita katakan, Daqaiqul Akhbar”  merupakan  buku bacaan masyarakat kita. Menurut hemat penulis, buku ini memuat persoalan – perseolan tentang israiliat dan khurafat,  terlebih lagi buku tersebut belum pernah diteliti.

Diantara persoalan yang ingin penulis angkat dari buku tersebut ialah mengenai konsep Nurmuhammadi atau Insan Kamil. Di samping penulis juga akan mengangkat beberapa persoalan lain seputar dunia tasawuf yang menurut penulis perlu diangkat sebagai bentuk pelurusan. Dan dalam membahas persoalan–persoalan tersebut penulis telah berusaha merujuk ke pada buku–buku pegangan  dalam dunia tasawuf.

Persoalan pertama :

Hakikat Nur Muhammadi atau Insan kamil

Rasulullah saw. sebagai panutan kita barsabda dalam sebuah hadist Mutawatir Lafdhi. Iman Bukhari menyebutkan dalam kitab shahihnya,  bab “Man Kazzaba ‘ala Nabi SAW.

Barang siapa yang berbohong atas namaku, maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka”.

Dalam hadist ini ada beberapa hal yang dapat kita petik dari sisi fikihnya, yaitu:

1.   seseorang yang meriwayatkan hadist maudhu’ dan ia tahu bahwa hadist itu palsu, maka dia termasuk dalam konteks hadist ini.

2.   Seseorang yang meriwayatkan hadist palsu dan ia tidak tau mengenai kepalsuannya, mudah-mudahan ia masuk ke dalam tiga kelompok yang di maafkan sesuai dengan hadist  rufi'al Qalam (yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga balik, lupa hingga ia ingat) dan disyaratkan ia belajar sehingga tidak jatuh dalam lubang yang sama.

3.   Dibolehkan meriwayatkan riwayat palsu dengan tujuan menjelaskan kepalsuannya kepada manusia.

Hadist tersebut juga melarang manusia meriwayatkan kemuliaan Rasulullah dengan berpegang pada riwayat palsu. Karena hadist-hadist sahih, hasan, dan dhaif, telah cukup untuk meriwayatkan keutamaan Rasulullah saw.. Diantara hadist palsu yang di sandarkan kepada Rasulullah saw. adalah hadist nur Muhammad yang nashnya:

Ada pendapat yang mengatakan hadist ini diriwayatkan oleh Abdurrazak dari Jabir ra., beliau berkata: aku bertanya: “Ya Rasulullah saw., demi bapakku dan ibuku, ceritakan kepadaku tentang sesuatu yang pertama Allah ciptakan sebelum segala sesuatu ? Beliau menjawab: “ Hai Jabir, sesungguhnya yang diciptakan Allah sebelum Ia menciptakan yang lain adalah Nur Nabimu Muhammad saw. dari Nur Allah swt. Maka Nur tersebut beredar dalam qudrah Allah swt., tidak ada pada saat itu laut, kalam, surga, neraka, malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, jin, dan manusia. Ketika Allah swt. ingin menciptakan makhlukNya, Ia membagi Nur itu ke pada empat bagian. Ia ciptakan dari bagian pertama qalam, dari yang kedua laut, dari yang ketiga ‘arsyi, kemudian Ia membagi yang keempat ke pada empat bagian. Ia menciptakan dari bagian yang pertama pembawa ‘arsyi, yang kedua kursi, yang ketiga seluruh malaikat, kemudian bagian yang keempat dibagi menjadi empat bagian lagi. Yang pertama langit, yang kedua bumi, yang ketiga surga dan neraka, kemudian Ia ciptakan yang keempat empat bagian. Ia ciptakan dari yang pertama cahaya mata mukmin, yang kedua cahaya hati mereka yaitu makhrifatullah, yang ketiga cahaya tauhid Lailaahaillah Muhammad Rasulullah ...... ( riwayat)

Riwayat ini disebutkan secara sempurna olah Ibnu Arabi Al-Hatimi dalam buku “Tankihul Azhan wa Miftahul Makhrifati Al Ihsan”, dan Diyar Bakhri dalam buku “ Al Khamis Fi Tarikh Anfus Nafis.” Pendapat yang mengatakan riwayat ini  terdapat dalam musannaf Abdurrazaq adalah salah, karena sama sekali tidak terdapat di dalamnya, baik dalam Musannaf dan tafsirnya. Al-Hafizd As-Sayuti berkata dalam bukunya “Al Hawi FiI Fatawa” riwayat ini tidak memiliki sanad yang bisa di jadikan pegangan dan ianya palsu.

Berkata syeikh Al-Muhaddis Ahmad Ibnu Siddiq” dalam mukaddimah bukunya “Al-Mugayyar ‘Ala Jami’ As-Saghir” : “Sesungguhnya hadist yang pertama di ciptakan nur Nabimu hai Jabir, dan Allah menciptakan dari nur tersebut segala sesuatu adalah maudhu’. Penyebar palsunya adalah lafal hadistnya kacau dan munkar maknanya. Hal senada juga diutarakan oleh Al-Muhaddis Abdullah Al-Harari, bahwa memang hadist tersebut maudhu’. Para muhaddis telah menghukumkan kepalsuan hadist tersebut, seperti As-Saghani dalam kitabnya Maudhu’at dan Al-Hafizd Al-Ajluni dalam kitabnya “Kasyiful khafa” Sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Ali Jumah dalam “Al Bayan.” Namun ia memiliki pendapat bahwa hadist tersebut maudhu’, tapi kandungannya bisa ihtimal. Namun pendapat mengenai kandungannya benar tidak ada ulama-ulama lain yang menguatkannya.

Memang ada hadist sahih yang terdapat dalam Mustadrak Al-Hakim, kitab tafsir jilid II hal 418, yaitu, "Sesungguhnya aku hamba Allah ,  penutup para nabi, ayahku masih berada dalam tanah (belum diciptakan) dan aku memberitakan kepada kalian tentang hal tersebut:  Segala doa bapakku Ibrahim, berita gembira Isa, dan mimpi ibuku, demikian pula sekalian ibu-ibu para nabi bermimpi juga. Dan sesungguhnya ibu Rasulullah saw. melihat ketika ia melahirkan Rasulullah, nur yang menerangi istana Syam, kemudian Rasulullah membaca ayat (Al Ahzab 45-46).

Imam Al-Hakim berkata: hadist ini sahihul isnad walaupun tidak disebutkan dalam shahihain. Al-Hafizd Zahabi mengakuinya, sebagaimana diutarakan oleh Dr. Said Muhammad Salih sawabi dalam “Al muin Raiq sirati khairi khalaik”, namun menurut Syeikh Abdullah Siddiq bahwa Al-hafizd Zahabi tidak menyetujuinya tapi hanya mengomentari salah seorang rawi yang dhaif. Sedangkan Dr. Sawabi mengikuti pendapat Dr. Qal‘aji pentahkik buku “Dalailu An-Nubuwah” yang menyatakan bahwa Imam Zahabi menyetujui pensahihannya.

Maksud hadist ini hanya ingin menunjuki bahwa Rasulullah telah disifatkan risalah kenabiannya dalam qadha Allah sebelum keberadaan para malaikat. Ini tidak menunjiki awaliyah secara mutlak tapi hanya menyifatkan risalah saja.

Setelah kita memasuki dunia hadist , sekarang penulis ingin melihat hadist tersebut dari tinjauan dunia tasawuf mengenai hakikat nur muhammad, lebih kurang ada dua orang sufi yang mengenalkan konsep ini kepada kita, diantaranya Al-Hallaj yang terkenal dengan ittihadnya.  Menurut Al-Hallaj Nabi muhammad memiliki dua hakikat: Yang pertama nur azali, sebelum penciptaan segala sesuatu, dan dari nur inilah segala sesuatu terbentuk. Sedangkan yang kedua nur yang baru, yaitu Nabi Muhammad saw. dalam bentuk ketika ia telah diciptakan.

Disayangkan dari pendapat ini (qidamnya nabi muhammad) akan timbulnya pendapat “Wahdatul Adyan” penyatuan agama, karena asal segala sesuatu dari nur yang qadim berasal dari nur Tuhan. Pendapat ini bertentangan dengan  Al-Quran dan As- Sunnah, sehingga Fuqaha yang semasa hidup dengan Al-Hallaj menjatuhkan hukuman penjara kepada Al Hallaj:

Pendapat ini diikuti Ibnu Arabi yang dikenal dengan pemahaman  Wahdatul Wujudnya. Menurutnya, dari nur Muhammad terbentuk segala sesuatu, termasuk  kesempurnaan sifat-sifat manusia hingga ia mencapai derajat "insan kamil,” yaitu dengan penjelasan tuhannya. Namun pendapat ini tertolak menurut pendangan Islam dalam tinjauan ilmu tauhid.

Penulis akan membahas lebih luas lagi mengenai Ibnu Arabi dan konsep Wahdatul Wujud dalam judul selanjutnya.

Persoalan kedua :

Seputar Pengkafiran Syeikh Ibnu Arabi.

Dalam beberapa tulisan, penulis mendapati berbagai kontradiksi antara ulama tentang Syeikh Muhyiddin Ibnu Arabi, (pengarang buku Fushus Hikam, Futuhatu Makiyah). Sebagian mereka mengkafirkan dan mencela Ibnu Arabi, (terdapat perbedaan antara Ibnu Arabi dan Ibnul Arabi, yaitu Ibnul Arabi Al-Maliki pengarang Ahkamul Qur'an, Al Awasim Minal Qawasim) antara lain: Syeikh Islam Ibnu Taimiyah dalam “Al Ubudiyah,” Syeikh Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam fatawanya, KH. Sirajuddin Abbas dalam “40 permasalahan agama” dan banyak ulama lainnya.

Sedangkan disisi lain banyak pula para ulama yang memuji dan menganggap Syeikh Ibnu Arabi sebagai Syeikh Al-Akbar dan menganggapnya  sebagai Imam para sufi, di antara mereka: Syeikh Muhammad At- Tijani dalam “Ahlul Haq ‘Arifunabillah, Syeikh Abdu Qadir Isa dalam “Haqiq An Tasawufiyah”, Syeikh Abdullah Hamni dalam “Bayan Sahih”, Syeikh Muhammad dalam “Duru’ Wiqayah” , dan Imam Sya’rani dalam “Al Yamaqid wal Jawahir fi Aqaaid Akbar.” Dari sini kita dapat melihat ada dua posisi ulama mengenai Syeikh Ibnu Arabi. Nah, mari kita melihat alasan mereka yang mengkafirkannya.

Beberapa alasan pengkafiran Ibnu Arabi antara lain: Pendapat Ibnu Arabi tentang qidamnya alam, wahdatul wujud, wahdatul adyan, mengagunggkan wali dari para Nabi, dia juga menyatakan penghuni neraka merasa senang dengan azab yang mereka rasakan. Mengenai hal-hal yang di sandarkan kepada Ibnu Arabi tersebut, para ulama berkomentar: Al-Faqih pengarang Darul Mukhtar berkata: “Siapa yang berkata tentang Fusus Hikam karangan Syeikh ibnu Arabi keluar dari syariat, tujuan penulisan untuk menyesatkan manusia, pembacanya murtad”, apa yang harus di lakukan? Beliau menjawab: “Benar didalamnya memang ada kata-kata yang bertentangan dengan syariat, akan tetapi semua yang terdapat didalamnya adalah pemalsuan yang dilakukan oleh Yahudi. Imam Sya’rani berkata: “Ibnu Arabi berpegang kepada kitab dan sunnah. Pendapat ini juga di setujui oleh Syeikh Tijani bahwa segala hal yang berasal dari buku Ibnu Arabi bertentangan dari syariat, maka ianya pemalsuan yang dilakukan kaum Yahudi.

Pemalsuan terhadap para ulama-ulama Islam bukan hanya terjadi pada Syeikh Ibnu Arabi saja, akan tetapi ada beberapa ulama yang lain yang tertimpa hal serupa, diantaranya: Bait-bait syair yang bertentangan dengan ajaran Islam, disandarkan kepada Syeikh Abdul Ghani An- Nabilisi. Imam Sya’rani juga menyatakan bahwa sebagian karangannya dipalsukan sebagaimana ia sebutkan dalam “ latiful Manan”. Hal serupa juga menimpa Imam lughawi Syeikh Mujduddin Fairuzahadi, yaitu sebuah kitab pelecehan terhadap Imam Abu Hanifah yang di sandarkan kepada beliau. Begitu juga yang menimpa Syeikh Abdul Qadir Jailani dalam buku  “Al Ghaniyah”  sebagaimana yang di utarakan oleh Al-Allamah Al-Fakih Ibnu Hajar Al-Makki . Pemalsuan terhadap Imam Al-Ghazali dalam beberapa tempat dalam buku “Ihya Ulumuddin,” namun naskah tersebut didapati oleh Al-Qadhi Iyadh dan memerintahkan untuk membakar naskah tersebut.

Sebenarnya bukan hanya di buku tasawuf saja yang sering terjadi  pemalsuan penulisan, bagi mereka yang menggeluti dunia tafsir, pasti mengetahui adanya israiliyat dalam buku-buku tafsir, yaitu pernyataan kaum Yahudi dan Nasrani, (penggunaan lafazd israiliyat merupakan bentuk taglib/peng-umuman, karena banyaknya unsur israiliyat). Demikian pula dalam dunia hadist dan sejarah terdapat pemalsuan. Di akhir persoalan kedua ini, penulis ingin mengutip aqidah Syeikh Ibnu Arabi, beliau berkata: “wahai saudara dan orang yang aku cintai, semoga Allah ta’ala Esa, bersih dari sekutu, berkuasa tidak berserikat, pencipta tidak memiliki wakil, zat-Nya tidak butuh kepada yang lain.

Setelah pemaparan ini, kita tentu memiliki posisi masing-masing, penulis yakin kita akan bersikap adil setelah memiliki bukti yang nyata.

Persoalan ketiga :

Wahdatul Wujud dan Wahdatussyuhud serta Syatahat dalam Dunia Sufi

Persoalan wahdatul wujud merupakan salah satu persoalan yang menimbulkan pertikaian dalam dunia sufi, yang akhir-akhir ini dijadikan dalil mereka yang berpaham liberal sebagai bentuk penyatuan agama. Benarkah para sufi mengakui kebenaran wahdatul wujud ?. penulis akan mengutip komentar para sufi sendiri :

Sheikh Muhammad Hafiz At-Tijani dalam bukunya “Ahlul Haq Arifunabillah” berkata : “ Apabila anda mengambil sepotong adonan tepung kemudian anda membentuknya seperti pohon, kemudian anda menghancurkannya, kemudian anda membentuk dari adonan tadi bentuk manusia kemudian dihancurkan kembali dan dibentuk menjadi sepotong roti. Inilah perumpamaan wahdatul wujud, dimana segala sesuatu berasal dari satu zat yaitu Allah. Sehingga sering diistilahkan dengan paham serba tuhan, yang pada akhirnya bahwa segala sesuatu mulai dari tuhan, agama, binatang, alam adalah satu. Aqidah seperti itu berasal dari keyakinan agama hindu dan tidak ada seorang ulama pun baik salaf maupun khalaf yang membenarkannya. 

Imam Al-Hafizd As-Sayuti dalam “ ‘Al Hawi Lil Fatawa” berpendapat siapa saja yang mendakwahkan tuhan menyatu dengan makhluknya maka ia kafir. Hal serupa juga disampaikan oleh Imam Izzuddin bin Salam dalam “Qawaid Kubra” bahwa siapa saja yang menduga tuhan menyatu dengan makhlukNya maka ia kafir. Demikian pula pendapat Al-Allamah Al Mujaddid Muhammad Al-Hamid yang mengingkari Wahdatul wujud dan Ittihad atau Hulul (Keyakinan tuhan menyatu dengan makhluk). Syeikh Muhyiddin Arabi berpendapat, “ Ketahuilah bahwa Allah Esa sesuai ijma’ (konses), Esa tidak ada sesuatu yang menyatu denganNya atau Ia menyatu dengan yang lain, atau melebur menjadi satu.

Para sufi moderen dewasa ini sangat mengingkari Wahdatul wujud dan mereka membersihkan  Tasawuf dari tuduhan tersebut sebagaimana yang selalu dilakukan oleh Syeikh Muhammad Zaki Ibrahim (salah seorang pemurni ajaran Tasawuf di Mesir dari paham-paham sesat). Berbeda dengan Wahdatussyuhud  yang diterima oleh para ulama Ahlussunnah. Mereka menerima paham tersebut. Kita akan membahasnya sekaligus dengan persoalan syatahat (lafadh-lafadh yang keluar dari sufi diluar kendali). Kita awali dengan hadist riwayat Imam Muslim dalam shahihnya, Rasulullah bersabda : Allah sangat bahagia dengan taubat hambanya dibandingkan seseorang di antara kamu berada di sebuah gurun yang tandus, maka tiba- tiba hilang lah tunggangannya (unta) yang padanya ada makanan dan minumannya, maka orang tersebut pun putus asa, hingga ia mendatangi sebatang pohon dan tidur di bawahnya, ketika keputusasaannya memuncak ketika ia bangun tiba- tiba ia melihat tunggangannya telah berada di sisinya, maka ia pun memegang tali kekangnya dan berdoa : “ Ya tuhanku engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu”. Ia salah dalam berdoa karena terlalu bahagia.  

Para ulama ahli Tahkik(peneliti) menjadikan hadist tersebut salah satu dalil bebasnya para sufi yang berucap di luar kendali ketika sibuk dan lezat dengan munajat tuhannya. Mereka mengkiaskan bahwa seseorang yang hilang akal dengan sebab terlalu senang karena mendapatkan kembali tunggangannya yang membawa makanan dan minuman, apalagi seorang yang akalnya hilang dengan sebab lezatnya munajat kepada Tuhannya. Seperti juga seseorang yang hilang akalnya ketika ia meminum air di gelas yang disangkanya air biasa padahal tuak atau anggur. Karena seorang sufi sejati tidak mengatakan hal-hal tersebut kecuali di luar kendali.

Adapun jika perkataan yang timbul berasal  dari unsur kesengajaan  maka tidak ada ulama yang mengatakan kebolehannya. Ketika seseorang sibuk dengan kekasihnya dan melupakan keadaan sekitarnya, bukan berarti keadaan sekitarnya hilang tapi dia saja yang pikirannya berubah. Ketika anda sakit anda merasakan bahwa tubuh anda terbakar misalnya, padahal ia tidak terbakar hanya normal saja, yang salah ialah pikiran anda. Inilah yang di maksud dengan Wahdatussyuhud, seorang sufi tidak melihat, mendengar, merasakan, berbicara kecuali dengan Tuhannya, dan tidak merasakan keadaan sekitarnya.

Jadi, perbedaan antara Wahdatul wujud dengan Wahdatussyuhud jelas. Wahdatul wujud ialah aqidah yang salah dan tertolak. Sedangkan Wahdatussyuhud ialah keadaan sufi ketika hilang kendali karena asyiknya bermunajat dengan Tuhannya. Tidak benar anggapan bahwa sufi ketika dalam keadaan tersebut dianggap gila, melainkan ia lupa dan mabuk dengan Tuhannya. Hal ini diakui Imam Al-Ghazali dan para ulama sufi lainnya.

Namun, ada ulama yang mengingkari Syatahat sufi diantaranya A- Hafiz Ibnu Jauzi dalam “Talbis Iblis” beranggapan bahwa ucapan-ucapan tersebut tidak boleh terjadi karena bertentangan dengan syariat. Dalil yang beliau kemukakan adalah pendapat para sahabat yang mereka ucapkan ketika mereka hampir wafat dimana saidina Abubakar Siddiq berkata :”alangkah baik jika aku hanya menjadi sehelai bulu di tubuh seorang mukmin”.

Menurut hemat penulis secara zahir memang terjadi kontradiksi (pertentangan). Penulis berpendapat bahwa keduanya benar, keadaan yang di kemukakan Imam Al-Ghazali dan ulama-ulama sufi lainnya ialah ketika mereka hilang kesadarannya, sedangkan pendapatnya Al-Hafiz Ibnu Jauzi Al-Hambali Ialah ketika seseorang dalam keadaan sadar wallahua’lam.

Persoalan keempat :

Tasawuf Sunni dan Falsafi serta Pandangan Para Ulama terhadap Tasawuf

Tasawuf Sunni merupakan tasawuf yang berpegang kepada Al-Qur’an dan sunnah dan kehidupan para sahabat. Tidak terlepas dari ajaran Islam sehingga masing-masing  ulama sufi mendefinisikan tasawuf menurut keadaan yang mereka rasakan. Menurut Syaikh Islam Zakaria Al Anshari, Tasawuf adalah ilmu yang dengannya bisa menyucikan diri, memperbaiki akhlak, mengisi zahir dan batin agar tercapai kebahagiaan yang abadi. Sedangkan pemuka sufi Imam Junaid Bagdadi berpendapat, "Tasawuf adalah berakhlak mulia dan menjauhi akhlak tercela." Kalau boleh penulis meminjam istilah Buya Hamka Al-Minang Kabau bahwa tasawuf adalah Takhalli, Tahalli dan Tajalli. Takhalli mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela, Tahalli menghiasinya dengan perbuatan terpuji dan Tajalli ialah akhlak terpuji menyatu dengan manusia tersebut.

Mengenai sumber Tasawuf tidak lain merupakan dari Al-Qur’an (baca surah Ali Imran :191, surah Taha :130, surah Al-Kahfi : 28, surah At-Taubah : 51) dan banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang lain. Begitu pula sumber kedua diambil dari kehidupan Rasulullah Saw. mulai dari kezuhudan, akhlak, cinta faqir-miskin, anak yatim dan sifat kesabarannya merupakan tongkat estafet risalah yang diemban para sahabat beliau. Mereka adalah pemula-pemula tasawuf, seperti Saidina Abubakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Zhar Al-Ghifari, Salman Al-Farisi, Abdullah bin Mas’ud dan sahabat-sahabat lainnya. Kemudian fase sesudah mereka ada Hasan Basri, Ata' bin Rabah dan Imam mazhab yang empat, mereka semuanya adalah para sufi hakiki.

Pertanyaannya yang timbul ialah mengapa para sahabat tidak menamakan diri mereka dengan sufi, yang jawabannya sebagaimana diutarakan Imam Al-Qusairi dalam Risalahnya bahwa Lafazh "sahabah" lebih utama karena kemuliaan Rasulullah saw.. Adapun perbuatan mereka adalah perbuatan sufi. Setelah kita sedikit membahas Tasawuf sunni, terkadang kita sering mendengar Tasawuf Falsafi, walaupun ada ulama yang tidak senang mengandeng kata tasawuf dan falsafi karena falsafi bukan berasal dari tasawuf tapi ia merupakan produk  Hindu, Yunani, dan praktek-prektek Budha yang di dalamnya memiliki konsep Ittihad , Hulul, Wahdatul wujud. Tidak ada seorang pun dari ulama Islam yang mengakuinya. Namun, para Orientalis mendakwahkan bahwa Tasawuf islam berasal dari luar islam.

Setelah pemaparan penulis, tentunya  kita tidak setuju dengan tuduhan semacam ini. Sebelum penulis mengakhiri bahasan singkat ini. Diakhir tulisan penulis ingin menutup dengan pendapat para ulama umat dan pandangan mereka terhadap tasawuf :

-      Imam Maliki bekata      : “Siapa yang belajar fiqih dan tidak belajar Tasawuf sesungguhnya ia fasik, siapa yang bertasawuf tapi tidak memahami fikih sesungguhnya ia zindik, siapa yang mampu memadukan keduanya maka sempurnalah ia”.

-      Imam Syafi’i berkata     : “Aku bergaul dengan para sufi maka aku memetik dari mereka 3 hal : Yang pertama, waktu adalah pedang, jika kamu tidak memotongnya, maka ia akan memotongmu. Yang kedua, jiwamu jika tidak diisi dengan hal yang bermanfaat maka akan disibukkan dengan kejahatan. Yang ketiga, tidak memiliki sesuatu adalah pelindung (misalnya kita tidak memili harta, berarti kita terhindar dari pertanyaan di akhirat nanti).

-   Imam Ahmad memerintahkan anaknya untuk bersahabat dengan sufi yang awalnya beliau mengingkari para sufi. Namun  setelah beliau bersahabat dengan seorang sufi, beliau mengetahui kemuliaan mereka.

-      Syeikh Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam fatawanya jilid II hal 17 : Para sufi terkadang merupakan orang-orang yang paling benar sesuai masa mereka, mereka sahabat yang paling sempurna di era mereka dan siddiq pada era pertama lebih sempurna dari mereka.

-    Imam Syatibi dalam I’tisam berpendapat: ”Dan apapun perkataan mereka dalam persoalan-persoalan rumit, tasawuf tidak termasuk bid’ah, tidak pula benar secara menyeluruh akan tetapi ada perbandingannya.

Masih banyak lagi pendapat ulama-ulama kita yang penulis tidak tuliskan di sini karena akan butuh lembaran-lembaran lagi. Setelah pemaparan dari awal hingga akhir, penulis berharap usaha yang sederhana ini menjadi amal yang baik dalam timbangan di akhirat kelak. Penulis yakin banyak terdapat kekeliruan dan kesalahan dalam tulisan ini, kepada para pembaca yang budiman agar sudi mengingatkan penulis bila salah dan tersilap . Wallau’alam.

Daftar Bacaan:
  1. Syeikh Muhammad Zaki Ibrahim. Usul Wusul. Cet. V. Kairo, Dar-Assalam, 2005.
  2. Syeikh Muhammad Zaki Ibrahim. Abjadiyah Tasauf, Cet.  V. Kairo, Muasasah Ihyau Turas Sufi.
  3. Syeikh Abdul Qadir isa. Haqaiq an Tasauf, Kairo, Dar al Muqattam, 2005.
  4. Syeikh Ahmad Rifa'I al Husaini. Al Qawaid Syariyah, Cet. I. Bairut, Dar el Masyarii', 2006.
  5. Syeikh Muhammad Hafiz At Tijani. Ahlul Haq Arifuna Billah, Kairo, Dar Gharib, 2005.
  6. Syeikh Abdullah Al Harari. Bayan Sarih, Cet. I. Bairut, Dar el Masyarii', 2004.
  7. Syeikh Muhammad 'Alawy. Tahzir Min Mujazafah Bittakfir, Kairo,Dar Jawami' Kalim, 2005.
  8. Al Hafiz Ibn Jauzi. Tal bis Iblis, Cet. I. Kairo, Dar Ibn Rajab, 2003.
   Bawabah I, Nasr City, Cairo, 10 Juli 2009.


                                                 ***

*Penulis adalah alumni Fakultas Ushuluddin Al-Azhar Mesir; baru saja menyelesaikan pendidikan Magister di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.


Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top