Dia Bukan Jodohku (Bag. 1)
By
: Raystaycool
Angin pagi musim dingin menyapa seorang pemuda yang
sedang menghafal Al-Quran dalam perjalanan. Pagi-pagi sekali setelah shalat
subuh, ia sudah keluar dari flatnya di Matariah menuju Hussein. Kegiatannya
dimulai dengan menyetor hafalan Al-Quran, menghadiri talaqqi di Masjid al-Azhar
dan muhadharah kuliah.
Selesai kuliah ia sambung lagi dengan talaqqi hingga
waktu isya, kemudian berlabuh ke flat tepat pukul 12 malam. Pergi pagi pulang
malam menjadi makanannya sehari-hari, kecuali hari Jum'at dan Sabtu.
Malam Jum'at adalah waktu evaluasi mingguan, tahajud dan
muhasabah bagi Viki. Memohon ampunan atas dosa-dosa yang telah ia lakukan.
Sesekali ia menyesali kelalaiannya dari tingkat satu sampai tiga, yang
menurutnya tak ada kemajuan.
Tak terbendung, air mata pun menetes lembut di atas
hamparan sajadahnya. Penyesalan inilah yang membakar semangatnya menjalani
sisa-sisa waktu di Kairo. Sedangkan Sabtu, hari refreshing-nya.
Sabtu ini, Viki memilih silaturrahmi ke flat abang
kelasnya di Sabi'. Di sana mereka berbincang-bincang hangat, layaknya kakak
beradik dalam satu keluarga. Seketika, ia teringat abang kandungnya yang begitu
cuek padanya, jarang menyapanya, apalagi cerita.
Kedua orangtuanya pun sudah lama meninggal sehingga membuatnya
kurang merasakan kehangatan keluarga. Apalagi dalam keadaannya yang jauh
seperti ini, chatting saja tak pernah.
"Ah, biarlah! dia tak mungkin berubah"
teriaknya dalam hati.
Setelah lama berbincang seputar aktivitas harian,
layaknya seorang pria yang berstatus kepala dua, perbincangan mulai ngawur.
"Jadi setelah Lc ini, planningnya dengan
siapa?" tanya Dani, abang kelasnya.
"Maksudnya?" Viki penasaran.
"Ah, itu saja perlu penjelasan, planning nikah,
Vik!" kata Dani.
"Hmm, umurku baru dua puluh tiga tahun ketika lulus,
ngapain buru-buru coba? Abang yang udah dua lima, duluan dong" Viki
menyindir.
"Kalo aku sih sudah terlanjur ambil S2 di
al-Azhar, jadi harus fokus thesis dulu dua tahun lagi. Kalau kau kan
belum terikat dengan apa pun, kesempatan!" ia menggoda.
"Kalau saja selesai itu dua tahun, kalau tidak bagaimana? mau lima tahun lagi?" Viki menahan tawa.
"Kalau saja selesai itu dua tahun, kalau tidak bagaimana? mau lima tahun lagi?" Viki menahan tawa.
"Parah, bukannya doain yang bagus!"
"Laaah, itu sudah yang paling bagus lho, biar kamu
cepat-cepat nikah!" ia diam, lalu melanjutkan, "Tapi menurutku, mau
kasih makan apa coba istri nanti kalau nikah saat kita belum ada
pekerjaan" suaranya merendah.
"Ini ni, kamu keliru, Vik. Allah telah mengatur
rezeki masing-masing hamba, jadi jangan takut!" bantah Dani.
Diskusi terus berlangsung seru, banyak hikmah
mengelilingi obrolan mereka. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh
malam. Viki pun pamit.
***
Perbincangan mereka tadi masih membekas diingatan Viki dalam perjalanan pulang.
Perbincangan mereka tadi masih membekas diingatan Viki dalam perjalanan pulang.
Memorinya memutar-mutar kembali kisah SMA dulu. Saat Viki
sedang bercengkrama dengan sang kekasih hati, Maya, yang ditemani kawan
sekelasnya, Novi.
"Viki ambil kuliah apa nanti?" tanya Novi.
"Mungkin antara Teknik Elektro dan Informatika. Novi
apa?"
"Novi sih belum jelas, bimbang antara jalur IPA atau
IPS. Kalau Maya?"
"Novi harus cepat-cepat mikir tu. Kalau Maya ambil Psikologi,
kuliah empat tahun, kerja satu tahun, terus nikah" Maya menjawab dengan
yakin."Berarti Maya target nikah umur dua puluh tiga gitu?" tanya
Novi.
"Iya! Soalnya umur di atas dua puluh tiga udah
dibilang perawan tua dalam keluarga Maya, karena kakak semua nikahnya sebelum
umur dua puluh tiga. Oya, ingat tu Viki, Umur dua tiga!" ucapnya sambil
tersenyum.
Suasana hening sejenak. Dalam pikirannya, Viki terus
mencerna apa yang baru saja dikatakan Maya.
Umur dua puluh tiga? Sulit bagiku untuk menikah
"Hmm, umur dua puluh tiga Viki belum jadi apa-apa
lagi, gimana mau nikah" ucap Viki mengerutkan dahi.Tiba-tiba bel tanda
masuk pelajaran berbunyi sekaligus mengakhiri obrolan mereka.
Setelah kejadian itu, sikap Viki ke Maya berubah, ia
mulai menjaga jarak, tak yakin hubungan itu akan berhasil. Maya adalah cinta
pertamanya, cinta yang datang dari pandangan pertama. Walaupun Maya yang
mengungkapkan cinta terlebih dulu padanya.
Viki bukanlah tipe lelaki yang mempermainkan wanita, jika
sekali ia melangkah, ia harus komitmen. Komitmen dalam hubungan, itu yang
selalu diharapkan Viki.
Tapi sejak saat itu komitmennya rapuh, dia sudah pada
kesimpulan "Maya terlalu egois, ia hanya memikirkan keadaannya, tanpa mau
memahami Aku"
Maya juga merasakan perubahan Viki. Ia menyesali
ucapannya yang tak semestinya ia ucapkan, rasa bersalahnya terus berkepanjangan,
sampai akhirnya Maya mengirim sms kepada Viki.
"Viki, Maya minta maaf ya, Maya enggak semestinya
begitu, Maya tau itu terlalu egois"
Lama Maya menunggu balasan dari Viki namun hpnya itu tak juga berdering. Di sekolah pun Maya dan Viki tidak saling bertemu seperti biasa.
Kesedihan Maya semakin bertambah setiap harinya, hatinya
sakit. Di kelas, Maya tampak lesu, tak setegar dulu.
"Kenapa kamu dengan Viki? ada masalah? cerita dong
sama Dara, jangan didiamin" teman sebangkunya mencoba menghibur.
"Enggak kenapa-napa, Dar" jawab Maya datar.
"Maya enggak bisa bohong sama Dara, Dara tau kok
kenapa" Dara menarik nafas panjang,"Hmm, kan dari awal Dara sudah
bilang, jangan lafazkan cinta itu sebelum waktunya datang, tapi titipkan ia
pada Sang Pemilik Cinta"
"Jadi sekarang bagaimana Dar? Jangan pojokin Maya
lagi dong!" tanya Maya sedih dan kesal.
"Sekarang coba Maya muhasabah diri. Yakinlah bahwa
itu taufiq dan hidayah dari Allah, supaya kita sadar dan tidak melanjutkan
hubungan itu" nasihat Dara lembut.
"Iya, Dar, Maya coba ikuti saran Dara. Maya juga minta
maaf dari awal enggak mau dengarin nasihat Dara" Maya pilu.
Sedikit demi sedikit Maya sadar maksud perkataan Dara,
bahwa aplikasi cinta yang dijalaninya ini tersesat. Maya merenung cukup lama,
membandingkan keadaannya saat 'sendiri' dengan sekarang. Ia sadari ia khilaf.
Walau terlambat, dengan tekad yang kuat, ia titipkan
cintanya ini kepada Allah bagaimana semestinya, dan setelah hatinya tenang Maya
meng-sms Viki lagi,
"Viki, Maya minta maaf, Maya salah. Sekarang
terserah Viki, Viki benci Maya, Viki anggap Maya egois. Mulai hari ini kita
jalani aja kehidupan masing-masing. Sekali lagi Maya minta maaf ya."
*bersambung Bagian Dua Click Here
Posting Komentar