Cinta Kasih Ibu (Tamat)
Lima tahun
setelah Faiz pergi,tidak ada kabar berita tentangnya. Sang ibu selalu mencoba
berprasangka baik, mungkin anaknya terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga
belum sempat kembali menjenguk ibunya. Iapun mengharapkan
agar bisa berkumpul dengan Faiz tiap kali lebaran tiba. Karena waktu itu
tanggal merah, kebanyakan perantau pulang ke kampung halamannya masing-masing.
Tapi penantian itu selalu berakhir sia-sia.
Ketika
Taufik datang mengunjunginya di Maheng (nama daerah terpencil di Aceh) Ia
senantiasa menayakan keadaan dan keberadaan Faiz.
“Bagaimana
kabar Faiz, nak?” tanya bu Faridah ingin tahu.
“Tidak
ada kabar buk“ jawab Taufik dengan suara lemah.
“Nanti
kalau ada kabar tentang Faiz, tolong beritahu ibu ya“ pintanya pada Taufik.
“Iya
bu, insyaAllah“ sahutnya.
“Bagaimana
Dia pergi tanpa memberitahu kabar padamu Dah“ tanya Khadijah, ibu Taufik.
“Dia
sibuk Jah, lebaran tahun ini Ia akan pulang, saya yakin“ balas bu Faridah.
“Ya,
Saya akan tunggu kepulangannya“ sahut bu Khadijah kesal karena tindakan Faiz.
Menjelang
siang, bu Faridah singgah ke warung dekat rumahnya. Seperti biasa, di awal
bulan Ia membeli berbagai keperluan sehari-hari seperti sabun, beras, minyak
dll. Tiba-tiba matanya tak sengaja melihat majalah yang tergantung di rak
majalah dan koran harian. Tepat di sudut kanan “Khairul Faiz “ batinnya.
Didekatinya lagi cover majalah populer itu, “ ini putraku”, batinnya.
Bu
Faridah mempercepat langkah kakinya menemui Taufik di kebun,Ia bercerita
tentang keberadaan Faiz.
“Sekarang
Faiz jadi orang sukses mak “ kata Taufik sambil melihat profilnya.
Bu
faridah menggangguk paham. Air matanya berderai-berai, terharu melihat anaknya
yang berhasil meraih cita. Kembali Ia bersyukur atas nikmat yang diberikan
Allah.
*******
Untuk
kesekian kali hati ini merindu akan kehadirannya, air bening mulai menguak di
sudut mata.“ Akankah Dia rindu seperti diriku merindukannya“ bu Faridah
membatin.
Akhirnya
Ia pergi mencari jejak Faiz, sang buah hati. Di tengah pencariannya Ia berdoa
agar dipertemukan dengan anaknya.
Ia
berhenti di depan gerbang bangunan indah. Sebuah rumah bergaya modern yang
dipagari beton setinggi empat meter. Dari luar tampak beberapa pohon palm
menghiasi rumah ini. Di sudut kiri ada ayunan besi berwarna kuning, lalu tepat
di depan garasi besar ada taman yang ditumbuhi berbagai macam jenis bunga.
Di
sampingnya ada kolam renang yang kecil,tempat bermain anak-anak. Persis seperti
yang digambarkan dalam majalah yang pernah dibacanya di profil Faiz.
“Han…han…hantu
“ tangis Riva ketika melihat mata bu Faridah.
“Bukan,
ini nenek “ balasnya.
“Hantuuuuuuuuu
“ teriak anak kecil itu sambil menangis nyaring.
Rani
segera berlari ke arah depan pekarangan rumah, tempat anaknya bermain.
“Bukan,itu
bukan hantu nak “ kata Rani seraya menenangkan anaknya.
“Ada
apa Ran “ tanya Faiz yang sudah berdiri di depan pintu utama sambil melanjutkan
langkah.
“Riva
takut lihat ibu ini “ kata Rani seraya menoleh ke arah bu Faridah.
Seketika mata Faiz dan bu Faridah saling bertemu, “ Ibu”
batin Faiz.
“Kamu mengenali ibu ini?“ tanya Rani seolah Ia dapat
membaca pikiran suaminya.
“Gak, yuk masuk ke dalam “ sahutnya menepis kebenaran yang
ada.
Merekapun masuk ke rumah megah itu, namun menyisakan
kesedihan yang sangat dalam pada hati perempuan tua itu, pelan-pelan bu Faridah
melangkah kaki, kembali ke rumahnya, “ ternyata Faiz tidak mengenaliku lagi.”
******
Dua
bulan berikutnya, ada kejadian aneh yang dialami Faiz. Hatinya tidak tenang.
Kehidupannya tidak secerah dahulu. Perusahaannya bangkrut, tenaga kerja
berkurang, ditambah mertua yang acapkali marah-marah kepadanya. Apa sebenarnya
yang terjadi?
Pikiran
Faiz menerawang membayangi bu Faridah, wanita buta yang dihina dan dicaci
kawan-kawannya dulu, wanita yang selalu tersenyum dikala yang lain cemberut,
wanita yang sangat tegar menghadapi masalah. “Ibu”, parau suara
Faiz menyebut namanya.
Lalu
Faiz memutuskan untuk kembali ke rumah ibunya.
“Ibu…ibu…“
panggil Faiz. Panggilan itu tidak mendapat sahutan. Kembali Ia menutup pintu
serta menuruni anak tangga rumah.
“Faiz“
panggilan itu membuatnya menoleh ke arah kanan.
“Taufik“,
tersenyum Taufik melihat sahabatnya yang sukses itu.
“Kenapa
baru sekarang Kamu pulang Iz“ tanya Taufik.
“Apa
karena Kamu sudah bangkrut, sehingga Kamu minta didoakan ibu, sekarang sudah
terlambat Iz. Kamu sukses dan kaya, itu berkat doa ibumu. Sekarang…“ Taufik
menahan pedih di hatinya.
“Sekarang
tidak ada lagi yang mendoakanmu” tambahnya.
“Sudahlah
Faiz, ini ada titipan untukmu dari ibu” sambil menyerahkan selembar kertas
kusam dari sakunya.
“Dulu,
ketika kamu tidak pulang ibumu selalu menayakan kabar. Dia juga banyak
bercerita tentangmu. Kamu menjamunya dua bulan yang lalu. Istri dan mertuamu
juga sangat ramah, begitu katanya“ Taufik mengulang kembali cerita bu Faridah.
“
Okay kalau begitu, Saya pamit dulu “ kata Taufik sambil beranjak pergi.
Assalamualaikum
Faiz, anak ibu.
Bagaimana kabarmu
nak ? semoga dirimu selalu dalam lindungan Allah. Di sini ibu selalu
mendoakanmu semoga rahmat dan hidayah-Nya selalu tercurahkan untukmu. Mungkin
Faiz malu mengakui ibu sebagai ibu Faiz. Maafkan ibu ya nak , ini bukan
kehendak ibu. Tapi inilah ibu, manusia biasa yang penuh keterbatasan.
Tepat tanggal 26
Desember 2004, tsunami melanda Aceh. Kita sekeluarga dibawa arus. Hanya saja
Kita masih diberi napas untuk hidup. Berbeda dengan ayah yang telah pergi
bersama ombak badai tsunami. Pada saat itu matamu dioperasi karena terkena
racun. Semenjak itu ibu relakan sebelah dari mata ibu untuk Faiz. Inilah yang
ingin ibu sampaikan kepadamu. Tapi ternyata ibu tidak punya kesempatan bertatap
langsung denganmu. Semoga Kamu selalu dalam lindungan-Nya.
Wassalamualaikum..
Faiz
tidak mampu mengucap sepatah katapun, hatinya pilu mengenang masa lalu yang
membuat sang ibu sakit hati. Penyesalan demi penyesalan muncul berkelibat di
pikirannya, menangis pilu mengharap ibunya kembali.
Kini,
tidak ada lagi doa di tiap sepertiga malam untuknya.
Doa yang mengiringinya
pada kejayaan, kesuksesan dan kemudahan dunia. Karena si pemilik doa itu telah
kembali ke hadirat Allah, membawa asa yang tidak tercapai hingga Ia menutup
mata.
Bagian Pertama Click Here
Bagian Pertama Click Here
Posting Komentar