Hidayah untuk Rosita (Bagian Dua)

Based on true story
Oleh: Ibnu Hafif al-Irsyadi
Google Image

Benar dugaannya, setelah bertemu Qosim keberaniannya semakin bertambah. Ia seperti tertantang untuk membuktikan bahwa kitabnya itu benar. Dari penjelasan singkat Qosim tadi, ia merasa Qosim hanya ingin menyatakan bahwa kitab merekalah yang benar. Atau ia memang berkata sejujurnya, tentang alasan pelarangan ini. Apa yang sebenarnya terjadi?

Rosita kembali melakukan kegiatan yang sudah menjadi kebiasaannya dalam seminggu ini. Duduk di depan meja belajar sambil memandangi Al-Kitab. Kali ini bedanya tanpa adanya hujan yang menemaninya. Juga tanpa adanya rasa takut. Ia langsung meraih kitab suci tersebut dan membuka halaman tengahnya, bukan halaman pertama seperti yang sudah-sudah. Entah terinspirasi dari mana, ia hanya mengikuti kata hatinya. Setelah menarik nafas panjang matanya langsung menuju halaman kanan kitab tersebut. Ia langsung menangkap sebuah kalimat. Pada mulanya adalah Firman:

"Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.
Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia."

Berkali-kali ia membaca kalimat tersebut. Dahinya merengut. Apa maksud kalimat ini? bagaimana bisa kalimat-kalimat ini bertentangan satu sama lain. Pasti ada maksud tertentu dari bait ini, pikirnya. Mungkin ini alasan kenapa Pendeta melarangnya, karena belum tentu diksi bait tersebut akan dipahami gadis SMP sepertinya. 
 
Atau bisa jadi ini memang sebuah kesalahan, sehingga dilarang untuk dibaca, agar kesalahan tersebut tidak terungkap. Seingat dia Pendeta Roland tidak pernah membaca bait ini ketika ia dan mamanya pergi ke gereja. Karena belum begitu yakin, ia membuka halaman yang lain. Ia berharap mendapatkan pencerahan. Ia membuka kitab Kejadian ayat 30-38:
 
"Lot mabuk dan menghamili dua orang putri kandungnya sendiri, dan memiliki anak hasil incest."

Ia terkejut, kalau tidak salah ia pernah mendengar Pendeta Roland berkata dalam khotbahnya bahwa “Lot adalah orang yang benar dan tidak mengenal hawa nafsu setan”. Rosita semakin bingung. Kenapa ada kontradiksi seperti ini. Ia mencoba kembali berpikir, namun nihil. Setelah sekian lama berkonsentrasi tanpa adanya kemajuan, akhirnya ia menyimpulkan akan bertanya kepada yang lebih mengetahui. Hanya ada satu nama dibenaknya, orang yang akan ditanyainya perihal masalah ini. Pendeta Roland.

***

“Baiklah, sampai disini dulu untuk hari ini. semoga dalam seminggu ini kita semua dilindungi oleh Tuhan Bapa. Dan jangan lupa iuran mingguannya,” Pendeta Roland menutup sembahyang mingguan di gereja katolik St.Thomas. Para jamaah keluar dengan tenang sambil melapor pada suster bendahara gereja guna menyelesaikan administrasi. Termasuk Rosita dan keluarganya.

“Ma, duluan pulang aja ya. Rosita ada perlu sebentar.” Mama dan Papa Rosita saling berpandangan dan dengan serentak menganggukkan kepala mengizinkan anaknya untuk menyelesaikan keperluannya. Toh mereka sedang di dalam gereja, mana mungkin putri mereka melakukan yang tidak-tidak.

“Terima kasih Ma, Pa.” Rosita tersenyum dan berbalik sambil berlari kecil. Ia tidak mau kehilangan targetnya hari ini, Pendeta Roland. Banyak hal yang ingin ditanyakannya tentang Al-Kitab, juga tentang larangan membaca kitab tersebut.

“Pendeta Roland. Pendeta Roland,” Rosita memanggil sang Pendeta sambil ngos-ngosan. Betapa tidak, ia mesti naik ke lantai tiga melewati puluhan anak tangga demi mengejarnya.
“Iya saya.” Ujar Pendeta Roland sambil menoleh ke belakang. “Eh Rosita anak Bapak Martin, kamu sudah terlihat besar sekarang. Sudah gadis.” Tentu saja Pendeta mengenali semua jamaahnya, toh jumlah mereka sangat sedikit. 
 
Rata-rata gereja katolik maupun protestan yang ada di Indonesia memiliki daftar anggota yang terikat dengan berbagai administrasi. Dan sudah menjadi peraturan umum bahwa mereka yang bukan anggota tidak diperbolehkan mengikuti sembahyang mingguan.
Oleh karena itu, setiap Pendeta lebih kurangnya kenal dengan setiap jamaahnya, terlebih hal tersebut juga menyangkut nama baik Pendeta. Karena Pendeta yang tidak mengenal jamaahnya seperti penggembala yang tidak mengenal kambingnya, bisa jadi kambingnya hilang diambil penggembala lainnya.

“Ada apa anakku?” Pendeta Roland tersenyum sambil mengajak Rosita duduk di bangku panjang yang tersedia di depan setiap ruangan.
“Aku ingin bertanya beberapa hal,” ucap Rosita sambil terus ngos-ngosan.
“Baiklah, tapi tenangkanlah dirimu dulu. Sebentar bapak ambilkan minum.” 
Tanpa meminta persetujuan Rosita, Pendeta itu bangkit dan masuk ke ruangan terdekat dari tempat mereka duduk dan kemudian keluar dengan membawa secangkir air putih dingin. “Minumlah! Agar kamu sedikit tenang.”
“Terima kasih,” Rosita menenggak air itu sampai habis dan kemudian menarik nafas panjang.
“Sekarang, sudah agak tenang kan?” Rosita mengangguk, “Ayo apa pertanyaannmu anakku?” Pendeta Roland kembali tersenyum.

“Ini tentang Al-Kitab Pendeta Roland. Ada beberapa hal yang bergelayutan di pikiranku. Beberapa hari ini aku sudah membaca…” belum sempat Rosita menghabiskan perkataannya,
“Apa? Kau membaca kitab itu sendiri! Tanpa ada yang membimbing. Maafkan aku Tuhan Yesus, lindungilah anak ini dari setan iblis terkutuk. Kau tahu setiap kalimat yang kau baca setan juga ikut membaca. Kau sudah dirasuki anakku.” Sang Pendeta sudah bangkit dari tempat duduknya. Ia meraung-raung, marah sambil menunjuk-nunjukkan telunjuknya ke arah Rosita.

“Sudah kukatakan jangan pernah sekali-kali membacanya dalam kesendirian. Kau akan tersesat.” Mata Pendeta Roland memerah, ia lebih terlihat kerasukan setan dibanding Rosita sebagaimana anggapannya.
“Tapi kenapa? Kenapa aku tidak boleh membacanya? Bukankah Al-Kitab adalah pedoman kita, seharusnya kitab itu dibaca setiap hari agar bisa memandu kita seperti kitab-kitab suci lainnya.” Rosita sebenarnya takut, apalagi melihat murka sang Pendeta. Namun ia sudah terbiasa merasakan hawa takut yang sedemikian rupa. Hal tersebut sudah cukup untuk melemparkan pertanyaan pamungkasnya.

“Siapa yang mengajarimu Rosita? Kau benar-benar sudah tersesat.”
“Aku belajar sendiri.” Rosita bangkit dan pergi meninggalkan Pendeta tersebut tanpa menghiraukan panggilannya yang terkesan membentak. Ia telah menemukan jawabannya. Walaupun ia sadar Pendeta tersebut pasti akan menghubungi orang tuanya, dan tentunya ia akan dihukum. Namun ia tidak takut.

Ia seperti telah keluar dari sebuah ruangan gelap gulita tanpa cahaya dan sedang memasuki ruangan yang penuh cahaya, walaupun terasa agak sakit, karena ia sudah terbiasa dengan gelap. Namun ia terus melangkah. Ia merasa telah menang melawan rasa takutnya selama ini. Ia siap menanggung setiap konsekuensinya.

Benarlah setibanya di rumah papanya langsung menghardiknya dan menyita Al-Kitab kesayangan miliknya. Mamanya hanya bisa menangis melihat kelakuan papa dan juga penyimpangan yang dilakukan anak sulungnya. Untung Gea adik satu-satunya Rosita sedang pergi bermain sehingga tidak melihat kejadian menyeramkan ini.

Rosita dihukum selama dua hari tidak keluar rumah. Tetunya tanpa Al-Kitab di tangannya. Mamanya mengirimkan surat mohon izin sakit kepada wali kelasnya. Hal tersebut cukup untuk menutupi alibi Rosita yang sedang dihukum. Selama masa hukumannya Rosita lebih sering menangis, bukan karena ia telah menyimpang dengan membaca kitab tersebut. Namun karena mamanya sendiri tidak membelanya.

Mungkin juga karena ia menyadari ada kesalahan dalam larangan membaca tersebut, serta marahnya Pendeta dan keluarganya. Selama dua hari ini yang paling dinantikannya adalah pertemuannya dengan Qosim, dia ingin bertanya banyak hal. Tentang kitab suci, tentang agama-agama, dan juga tentang kebenaran. (Bersambung)

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top