Ambuba (Tabung Gas): Bagian I
Oleh: Muhammad Daud Farma
Mahasiswa Daurah Lughah Univ. Al-Azhar Kairo, asal Aceh Tenggara .
Dulu saat masih di Indonesia, aku membayangkan dan berprasangka baik bahwa nanti kalau kuliah di Al-Azhar aku akan di tempatkan di asrama seperti dulu aku di pesantren. Hidup berdisiplinkan santri, shalatnya berdisiplinkan santri dan makan pun tinggal antri. Tidak ada yang lain kecuali belajar dan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler seminggu sekali, diriku pun bertekad kuat untuk mengikuti ujian seleksi ke Al-Azhar University.
Ujian seleksi gelombang pertama diadakan di berbagai pulau di Indonesia. Khusus kami yang di pulau Sumatera Utara, ujian seleksi gelombang pertama diadakan di UIN Medan Sumatera Utara pada 25 Mai 2014.
Alhamdulillah namaku tertera di dalam pengumuman hasil seleksi ke Timur Tengah di website Diktis Kemenag untuk gelombang pertama. Itu berarti diriku berhak mengikuti ujian tahap selanjutnya, yaitu gelombang kedua.
Ujian seleksi gelombang kedua diadakan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tanggal 11 Juni 2014. Syukur Alhamdulillah namaku juga ada di pengumuman kelulusan hasil ujian seleksi gelombang kedua di website Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional (IAAI).
Sungguh itu adalah sebuah kesyukuran bagi kami yang diberi kesempatan untuk belajar ke Universitas Al-Azhar. Aku dan ibu menangis bahagia dan bangga, karena aku diberi kesempatan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk belajar di Al-Azhar. Ayah dan ibu meyakinkan untuk tetap istiqamah dan tidak sombong.
Aku juga sadar bahwa tidak ada yang perlu disombongkan. Bisa lulus ujian seleksi ke Al-Azhar bukanlah karena kepintaran dan bukan hanya karena kesungguhan, akan tetapi diriku bisa lulus ujian seleksi salah satunya ialah karena doa-doa kedua orangtua dan guru-guru serta sahabat-sahabat. Aku juga merasakan itu. Karena kebiasaanku yang selalu meminta doa kepada kedua orangtuaku di kala ujian. Kebiasaan itu pun terus aku lakukan sampai sekarang.
Atas kehendak Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan diiringi dengan doa orangtua, guru-guru dan sahabat, aku terbang ke Mesir dengan selamat sampai tujuan. Perjalananku melewati berbagai rintangan dan cobaan. Seperti tiket pesawat Medan-Jakarta kami yang hangus alias gagal terbang.
Tidur di Bandara Soekarno Hatta menunggu sampai pagi untuk pemberangkatan Jakarta-Dubai, Boarding Passku yang dibawa lari oleh seorang Pramugara karena mengejar penumpang yang kabur dari pesawat penerbangan Dubai-Cairo. Sehingga diriku harus menunggunya hingga ia kembali dan 16 Oktober 2014 setibanya di Cairo pun kami ditahan hingga lima jam di ruang imigrasi.
Kutinggalkan kampung halaman, pesantren, guru-guru, sahabat, kakak, adik dan kedua orangtuaku untuk sementara waktu, karena diriku pergi untuk menuntut ilmu dan pergi untuk kembali. Ku tinggalkan mereka dengan linangan air mata bercampur sedih, mengingat akan lamanya tidak berjumpa dan akan saling merindukan, begitu juga dengan diriku yang akan merindukan mereka semua.
Hari demi hari ku lewati dengan senyuman, minggu demi minggu ku lewati dengan kebahagiaan dan bulan demi bulan yang kulewati dengan keluhan.
Oh ternyata!
Mesir tidak seindah yang kubayangkan, Mesir tidak seperti yang aku mau dan Mesir luar dari dugaanku. Tingkah laku orangnya yang seperti orang sedang duel di film, berbicara keras seakan membentak. Sampahnya yang berserakan dan ternyata gadis Mesir juga memakai pakaian yang ketat.
Sungguh ini di luar dugaanku. Kusangka orang Arab seperti gadis Mesir semuanya akan memakai jilbab yang panjang dan tebal, pakaian yang besar dan memakai cadar. Oh sungguh ternyata itu hanya pada pakaian para ibu-ibu dan sebagian gadis Mesir yang mau menutup diri. Oh ternyata di Mesir juga sangat banyak sekali yang tidak memakai jilbab. Ternyata yang ku duga dulu itu gadisnya Arab Saudi.
Di balik dari semua itu, ternyata ada kelebihan yang luar biasa. Sehingga negeri ini dijuluki degan sebutan negeri para Nabi, negeri para Ulama dan di Negeri ini terdapat Al-Azhar University. Yang mencetak kader-kader seorang ilmuan dan Muslim sejati. Dan rasa kekecewaanku pun terobati, Alhamdulillah.
Dulu kusangka aku akan tinggal di asrama. Semuanya penuh dengan aturan dan bimbingan. Aku hanya fokus pada mata kuliah. Terkadang berprasangka baik tidak mendapatkan hasil yang baik, akan tetapi berprasangka yang buruk hasilnya akan buruk juga.
Walaupun mendapatkan hasil yang sulit sedangkan sudah berprasangka yang baik, aku yakin itu adalah sebuah proses menuju kebaikan. Karena Rasulullah sudah mengingatkan kita dalam hadist Qudsinya, bahwa Allah sesuai dengan sangkaan hamba-Nya, jika berbaik sangka, maka begitulah yang akan kita dapatkan. Demikian sebaliknya. Dan ku yakin ini adalah sebuah proses yang mengarah kepada kebaikan dan keberhasilan.
Rumah kami yang letaknya tidak jauh dari kampus Al-Azhar Cairo, tepatnya lima belas menit dengan jalan kaki dari rumah menuju kampus dan lebih tepatnya lagi di Jl. Muhammad Sukkari, Gedung 14 Darrasah-Hussain. Tinggal di rumah Masisir seperti rumah kami, dan umumnya bagi Masisir yang bukan tinggal di asrama adalah sebuah perjuangan dan mental yang kuat, dan bukan berarti yang tinggal di rumah tidak mendapatkan beasiswa Al-Azhar. Ada juga kakak senior yang mendapatkan beasiswa Al-Azhar, tetapi mereka lebih memilih tinggal di rumah dari pada di asrama, seperti Madiinatul Bu’uts asrama bagi mahasiswa asing.
Sangat berbeda sekali denganku yang lebih memilih tinggal di asrama daripada di rumah. Walaupun rumah yang megah dan mewah seperti rumah kami. Tinggal di rumah seperti ini tidak jauh bedanya dengan hidup berumah tangga, sebuah rumah tangga yang hidup harmonis walaupun tidak romantis.
Perlu diketahui bahwa, Mahasiswa Al-Azhar yang laki-laki sangat pandai memasak berbagai ragam masakkan. Masak apa saja insyaAllah khair, walaupun terkadang rasanya hambar dan keasinan. Sebab, mau tidak mau harus tinggal di rumah dan masak sendiri. Karena beasiswa Al-Azhar di utamakan untuk yang sudah tingkat tiga saja, walaupun ada beberapa orang yang mulai dari tingkat satu langsung masuk ke Madinatul Bu’uts.
Sungguh beruntunglah bagi para gadis yang berjodoh Mahasiswa Al-Azhar. Karena selain berilmu, mereka juga sangat ahli dalam bidang memasak. Yang pasti sebagai istri tentu nantinya bukan hanya terus-terusan menjadi penghidang masakan untuk sang suami, akan tetapi ada juga saatnya sang istri sebagai penikmat masakan yang dihidangkan oleh suami.
Hari Jumat adalah hari giliranku memasak. Sungguh malang nasib seorang yang masih membujang. Nikah belum mampu, dekat dengan lawan jenis belum halal, mau pacaran kuliah belum tamat dan akhirnya sudi tidak sudi, masak sendiri, makan sendiri dan tidur pun sendiri. Untung saja nyuci tinggal masukkan ke dalam mesin cuci. Kalau tidak, waduh sakitnya tuh di hati. Yang masih membujang sabar.
Hari ini adalah tanggung jawabku atas keluarga yang kecil ini, keluarga yang cukup mewah dan harmonis. Siapa saja yang gilirannya memasak, berarti dia jugalah yang menjadi imam rumah tangga kami, layaknya imam di sebuah rumah tangga sungguhan. Memikirkan besok makan lauknya apa dan belanja apa, belanja ke pasar seperti inang-inang. Perginya membawa uang, pulangnya membawa sayuran, ikan, cabe dan bawang.
Belum cukup memikirkan itu saja, ada kalanya juga gas yang habis. Maka mau tidak mau kami harus menunggu pembawa tabung gas yang lewat, bahkan mendatangi ke markasnya. Karena kalau terusan menunggu, bisa jadi tidak makan nasi dan harus membeli makanan orang Mesir.
Hal itu terjadi padaku, gas rumah kami sudah habis sejak dua hari yang lalu, terpaksa diriku dan kakak senior mendatangi ke markasnya. Karena sudah terlalu lama menunggu sejak dua hari yang lalu, namun belum juga pembawa gas datang dan melewati jalan di depan rumah kami.
Siang itu selesai shalat Jumat, aku sedang asiknya nyantai sambil berbaring di atas pulau kapukku yang empuk, tiba-tiba handphone-ku berbunyi dengan nyanyian, Ayuwa... ayuwa... ayuwa. Segera saja ku ambil handphone-ku lalu kubuka, dan ternya ada inbox yang masuk dari kakak senior.
“Far, Gekhe khoh bende, ende lot gas nde aku go soh ni hande, kutimai ko ni markas. Babe bende tabung gas no pake koper na.” Artinya: “Far, cepat datang kemari, ini ada gas In. Aku sudah sampai divsini, ku tunggu kau di Markaz, bawa kemari tabungnya memakai koper ok.” Dengan bahasa daerah kami yang sedikit mirip logat Melayu dan Batak.
Tanpa menunggu lama, aku langsung membalas inboxnya “Masak gedi? Tuhu da? ‘Ai ken me! We aku khoh sade gat khoh beno te” (Masa sih? Yang benar? Cobaa swear! Ya aku sendiri yang akan datang ke sana).
Bersambung…
Dulu saat masih di Indonesia, aku membayangkan dan berprasangka baik bahwa nanti kalau kuliah di Al-Azhar aku akan di tempatkan di asrama seperti dulu aku di pesantren. Hidup berdisiplinkan santri, shalatnya berdisiplinkan santri dan makan pun tinggal antri. Tidak ada yang lain kecuali belajar dan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler seminggu sekali, diriku pun bertekad kuat untuk mengikuti ujian seleksi ke Al-Azhar University.
Ujian seleksi gelombang pertama diadakan di berbagai pulau di Indonesia. Khusus kami yang di pulau Sumatera Utara, ujian seleksi gelombang pertama diadakan di UIN Medan Sumatera Utara pada 25 Mai 2014.
Alhamdulillah namaku tertera di dalam pengumuman hasil seleksi ke Timur Tengah di website Diktis Kemenag untuk gelombang pertama. Itu berarti diriku berhak mengikuti ujian tahap selanjutnya, yaitu gelombang kedua.
Ujian seleksi gelombang kedua diadakan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tanggal 11 Juni 2014. Syukur Alhamdulillah namaku juga ada di pengumuman kelulusan hasil ujian seleksi gelombang kedua di website Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional (IAAI).
Sungguh itu adalah sebuah kesyukuran bagi kami yang diberi kesempatan untuk belajar ke Universitas Al-Azhar. Aku dan ibu menangis bahagia dan bangga, karena aku diberi kesempatan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk belajar di Al-Azhar. Ayah dan ibu meyakinkan untuk tetap istiqamah dan tidak sombong.
Aku juga sadar bahwa tidak ada yang perlu disombongkan. Bisa lulus ujian seleksi ke Al-Azhar bukanlah karena kepintaran dan bukan hanya karena kesungguhan, akan tetapi diriku bisa lulus ujian seleksi salah satunya ialah karena doa-doa kedua orangtua dan guru-guru serta sahabat-sahabat. Aku juga merasakan itu. Karena kebiasaanku yang selalu meminta doa kepada kedua orangtuaku di kala ujian. Kebiasaan itu pun terus aku lakukan sampai sekarang.
Atas kehendak Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan diiringi dengan doa orangtua, guru-guru dan sahabat, aku terbang ke Mesir dengan selamat sampai tujuan. Perjalananku melewati berbagai rintangan dan cobaan. Seperti tiket pesawat Medan-Jakarta kami yang hangus alias gagal terbang.
Tidur di Bandara Soekarno Hatta menunggu sampai pagi untuk pemberangkatan Jakarta-Dubai, Boarding Passku yang dibawa lari oleh seorang Pramugara karena mengejar penumpang yang kabur dari pesawat penerbangan Dubai-Cairo. Sehingga diriku harus menunggunya hingga ia kembali dan 16 Oktober 2014 setibanya di Cairo pun kami ditahan hingga lima jam di ruang imigrasi.
Kutinggalkan kampung halaman, pesantren, guru-guru, sahabat, kakak, adik dan kedua orangtuaku untuk sementara waktu, karena diriku pergi untuk menuntut ilmu dan pergi untuk kembali. Ku tinggalkan mereka dengan linangan air mata bercampur sedih, mengingat akan lamanya tidak berjumpa dan akan saling merindukan, begitu juga dengan diriku yang akan merindukan mereka semua.
Hari demi hari ku lewati dengan senyuman, minggu demi minggu ku lewati dengan kebahagiaan dan bulan demi bulan yang kulewati dengan keluhan.
Oh ternyata!
Mesir tidak seindah yang kubayangkan, Mesir tidak seperti yang aku mau dan Mesir luar dari dugaanku. Tingkah laku orangnya yang seperti orang sedang duel di film, berbicara keras seakan membentak. Sampahnya yang berserakan dan ternyata gadis Mesir juga memakai pakaian yang ketat.
Sungguh ini di luar dugaanku. Kusangka orang Arab seperti gadis Mesir semuanya akan memakai jilbab yang panjang dan tebal, pakaian yang besar dan memakai cadar. Oh sungguh ternyata itu hanya pada pakaian para ibu-ibu dan sebagian gadis Mesir yang mau menutup diri. Oh ternyata di Mesir juga sangat banyak sekali yang tidak memakai jilbab. Ternyata yang ku duga dulu itu gadisnya Arab Saudi.
Di balik dari semua itu, ternyata ada kelebihan yang luar biasa. Sehingga negeri ini dijuluki degan sebutan negeri para Nabi, negeri para Ulama dan di Negeri ini terdapat Al-Azhar University. Yang mencetak kader-kader seorang ilmuan dan Muslim sejati. Dan rasa kekecewaanku pun terobati, Alhamdulillah.
Dulu kusangka aku akan tinggal di asrama. Semuanya penuh dengan aturan dan bimbingan. Aku hanya fokus pada mata kuliah. Terkadang berprasangka baik tidak mendapatkan hasil yang baik, akan tetapi berprasangka yang buruk hasilnya akan buruk juga.
Walaupun mendapatkan hasil yang sulit sedangkan sudah berprasangka yang baik, aku yakin itu adalah sebuah proses menuju kebaikan. Karena Rasulullah sudah mengingatkan kita dalam hadist Qudsinya, bahwa Allah sesuai dengan sangkaan hamba-Nya, jika berbaik sangka, maka begitulah yang akan kita dapatkan. Demikian sebaliknya. Dan ku yakin ini adalah sebuah proses yang mengarah kepada kebaikan dan keberhasilan.
Rumah kami yang letaknya tidak jauh dari kampus Al-Azhar Cairo, tepatnya lima belas menit dengan jalan kaki dari rumah menuju kampus dan lebih tepatnya lagi di Jl. Muhammad Sukkari, Gedung 14 Darrasah-Hussain. Tinggal di rumah Masisir seperti rumah kami, dan umumnya bagi Masisir yang bukan tinggal di asrama adalah sebuah perjuangan dan mental yang kuat, dan bukan berarti yang tinggal di rumah tidak mendapatkan beasiswa Al-Azhar. Ada juga kakak senior yang mendapatkan beasiswa Al-Azhar, tetapi mereka lebih memilih tinggal di rumah dari pada di asrama, seperti Madiinatul Bu’uts asrama bagi mahasiswa asing.
Sangat berbeda sekali denganku yang lebih memilih tinggal di asrama daripada di rumah. Walaupun rumah yang megah dan mewah seperti rumah kami. Tinggal di rumah seperti ini tidak jauh bedanya dengan hidup berumah tangga, sebuah rumah tangga yang hidup harmonis walaupun tidak romantis.
Perlu diketahui bahwa, Mahasiswa Al-Azhar yang laki-laki sangat pandai memasak berbagai ragam masakkan. Masak apa saja insyaAllah khair, walaupun terkadang rasanya hambar dan keasinan. Sebab, mau tidak mau harus tinggal di rumah dan masak sendiri. Karena beasiswa Al-Azhar di utamakan untuk yang sudah tingkat tiga saja, walaupun ada beberapa orang yang mulai dari tingkat satu langsung masuk ke Madinatul Bu’uts.
Sungguh beruntunglah bagi para gadis yang berjodoh Mahasiswa Al-Azhar. Karena selain berilmu, mereka juga sangat ahli dalam bidang memasak. Yang pasti sebagai istri tentu nantinya bukan hanya terus-terusan menjadi penghidang masakan untuk sang suami, akan tetapi ada juga saatnya sang istri sebagai penikmat masakan yang dihidangkan oleh suami.
Hari Jumat adalah hari giliranku memasak. Sungguh malang nasib seorang yang masih membujang. Nikah belum mampu, dekat dengan lawan jenis belum halal, mau pacaran kuliah belum tamat dan akhirnya sudi tidak sudi, masak sendiri, makan sendiri dan tidur pun sendiri. Untung saja nyuci tinggal masukkan ke dalam mesin cuci. Kalau tidak, waduh sakitnya tuh di hati. Yang masih membujang sabar.
Hari ini adalah tanggung jawabku atas keluarga yang kecil ini, keluarga yang cukup mewah dan harmonis. Siapa saja yang gilirannya memasak, berarti dia jugalah yang menjadi imam rumah tangga kami, layaknya imam di sebuah rumah tangga sungguhan. Memikirkan besok makan lauknya apa dan belanja apa, belanja ke pasar seperti inang-inang. Perginya membawa uang, pulangnya membawa sayuran, ikan, cabe dan bawang.
Belum cukup memikirkan itu saja, ada kalanya juga gas yang habis. Maka mau tidak mau kami harus menunggu pembawa tabung gas yang lewat, bahkan mendatangi ke markasnya. Karena kalau terusan menunggu, bisa jadi tidak makan nasi dan harus membeli makanan orang Mesir.
Hal itu terjadi padaku, gas rumah kami sudah habis sejak dua hari yang lalu, terpaksa diriku dan kakak senior mendatangi ke markasnya. Karena sudah terlalu lama menunggu sejak dua hari yang lalu, namun belum juga pembawa gas datang dan melewati jalan di depan rumah kami.
Siang itu selesai shalat Jumat, aku sedang asiknya nyantai sambil berbaring di atas pulau kapukku yang empuk, tiba-tiba handphone-ku berbunyi dengan nyanyian, Ayuwa... ayuwa... ayuwa. Segera saja ku ambil handphone-ku lalu kubuka, dan ternya ada inbox yang masuk dari kakak senior.
“Far, Gekhe khoh bende, ende lot gas nde aku go soh ni hande, kutimai ko ni markas. Babe bende tabung gas no pake koper na.” Artinya: “Far, cepat datang kemari, ini ada gas In. Aku sudah sampai divsini, ku tunggu kau di Markaz, bawa kemari tabungnya memakai koper ok.” Dengan bahasa daerah kami yang sedikit mirip logat Melayu dan Batak.
Tanpa menunggu lama, aku langsung membalas inboxnya “Masak gedi? Tuhu da? ‘Ai ken me! We aku khoh sade gat khoh beno te” (Masa sih? Yang benar? Cobaa swear! Ya aku sendiri yang akan datang ke sana).
Bersambung…
Posting Komentar