Bahasa Dunia Akhirat

Google Image
Oleh: Muhammad Daud Farma

Show your boarding-pass, please!” Lagi-lagi kalimat itu ditujukan si pramugari kepadaku.

"My Boarding-pass is bring your friend, the one boy and he is the security before you stand here. And he is bring my boarding-pass when I'm cheeking of him." Aku mencoba untuk menjelaskan dengan bahasa Inggrisku yang kacau balau, kosa kata miskin, dan sikap sok percaya diri.

Kujelaskan berkali-kali pada si pramugari, bahwa boarding pass-ku dibawa oleh temannya, pria yang menjaga pintu gerbang sebelum ia berdiri di sini. Pria itu memegang dan membawa boarding-pass-ku ketika aku diperiksanya.

Karena aku belum tahu bahasa Inggrisnya pramugara, aku hanya menyebut ‘security’ atau petugas keamanan. Namun, pramugari itu tetap tak percaya dan tidak menghiraukanku, malah memeriksa pengunjung lainnya.

Para penumpang hampir masuk semua, aku mencoba melangkahkan kaki dan ingin masuk ke dalam. Aku berdiri tepat di depan pintu masuk pesawat di sisi kanan, sedang sebelah kiri, pramugari itu sedang memeriksa boarding-pass para penumpang lainnya.

Kakiku pun kulangkahkan, namun ...

"Show your boarding-pass please!” Si pramugari mencegahku masuk. Aku pun mundur kembali.

Hatiku mulai kacau, gelisah dan pikiranku melayang. Mataku memandang dan melihat ke belakang, berharap pramugara yang membawa boarding-passku muncul, menampakan batang hidungnya. Namun, ia tak kunjung datang.

Aku semakin gelisah, setengah menangis, mata berkaca-kaca, tubuhku bergetar dan kaku. Aku sudah pasrah dan berpikir, kalau lah pramugara yang membawa boarding-pass-ku tidak datang, atau datang tanpa membawanya, atau tanpa sengaja ia sudah menghilangkannya pasti aku akan dideportasi ke Indonesia.

Sedangkan uang di kantongku hanya ada 41 dolar Amerika atau sekitar 500 ribu rupiah. Dolar yang kutukarkan waktu di Indonesia, di Carefour kota Medan, itu pun sisa dari tiket pesawat yang aku bayar sekitar 8,7 jutaan. Karena di Kairo uang rupiah tidak bisa ditukarkan dan tentu tidak diterima saat jual-beli.

Berkali-kali aku beristighfar. Mungkin hari ini aku telah melakukan kesalahan yang tak sengaja kulakukan dan aku tidak tahu apa itu. Aku berdoa dalam hati, semoga di balik ini semua ada hikmahnya. Allah Swt. tengah mengujiku, pikirku.

Aku mulai berandai-andai.

“Kalaulah si pramugara yang membawa boarding-pass-ku tetap tidak datang sampai pesawat berangkat, berarti aku gagal ke Kairo, karena aku sudah tak punya uang lagi untuk membeli tiket. Aku pasti dideportasi ke Indonesia.”

“Kalaulah aku dideportasi ke Indonesia, itu artinya Allah Swt. belum mengizinkanku menuntut ilmu di Mesir.” Pikirku lagi.

Semua penumpang sudah masuk ke dalam pesawat, tinggal diriku sendiri yang belum masuk. Kali ini aku dengar satu kalimat berbeda dari mulut si pramugari, bertanya,"Where is your boarding-pass?"

Dalam keadaan masih panik, aku mengeluarkan handphone-ku, membuka galeri dan menunjukkan boarding-pass-ku yang aku foto saat di ruang tunggu. Akan tetapi, pramugari itu tetap saja tidak percaya dan tidak mengizinkanku masuk. Katanya, "I want the real, not a picture.”

Kucoba menjelaskan dengan terbata-bata, “B... b... u... t... But, Sist...”

Belum sempat aku menjelaskan, tiba-tiba salah satu temanku, Zahid, yang sudah masuk duluan datang menghampiriku, lalu menanyakan masalahku.

Aku pun menerangkan dengan sejelas-jelasnya, "Tadi, waktu giliranku diperiksa oleh seorang pramugara sebelum Kakak ini. Saat giliranku ternyata ada salah satu penumpang yang lari dan keluar dari pesawat. Lalu pramugara itu mengejar penumpang itu, dan boarding-pass-ku dibawa olehnya. Aku juga tidak tahu, entah kenapa penumpang itu lari dan kenapa pramugara itu membawa boarding-pass-ku. Padahal milikku belum sempat diperiksa, dan pramugara itu belum menyuruhku masuk pesawat.”

Zahid Mustawa, salah satu temanku alumni pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Medan yang bahasa Inggris-nya lebih baik dariku, mencoba menjelaskan kepada si pramugari sesuai keterangan yang kuberikan. 
Segera pramugari itu menelepon petugas yang di luar, kemudian menjelaskan boarding-pass-ku yang hilang dibawa oleh seorang pramugara. Pramugari itu memahami keterangan Zahid, meskipun terlihat ia masih kebingungan dan tidak percaya, bahwa ada pramugara yang melarikan boarding-passku.

Waktu tinggal 15 menit lagi. Pesawat Emirates Airlines penerbangan Dubai-Cairo dijadwalkan berangkat pukul 15.20 waktu kota Dubai. Aku makin takut. Setelah kian lamanya berkaca-kaca, akhirnya air mataku menetes membasahi pipi. Aku menangis.

Menangis teringat jerih payah kedua orang tuaku. Menangis betapa banyaknya uang yang telah mereka keluarkan. Menangis karena tidak jadi belajar di Universitas Al-Azhar, salah satu universitas tertua di dunia. Menangis karena Allah belum mengizinkanku pergi, hanya sampai di sini, kota Dubai.

Menangis karena sebelumnya aku pernah ketinggalan pesawat, penerbangan Jakarta-Medan. Saat itu aku hendak pulang ke kota Medan usai seleksi Universitas Al-Azhar gelombang kedua. Dan hari ini apakah aku harus merasakannya lagi?

Lima menit kemudian, pramugara berkepala botak, berwajah tampan, sedikit berewokan, dan berbadan tinggi. Ia datang dengan lemas, karena tidak berhasil menangkap dan membawa penumpang yang kabur, yang ia kejar sejak sejam yang lalu. Pramugara itu datang menghampiriku, dan memberikan boarding-pass-ku.

Aku langsung bertakbir dan memuji Allah, "Allahu-Akbar, Alhamdulillah, Laa hawla walaa quwwata illa billah.”

Langsung kurangkul Zahid, karena bukan main gembiranya, ialah yang telah meyakinkan diriku untuk tetap bersabar dan berhasil menjelaskan kepada si pramugari yang sikapnya menjengkelkan itu. Pramugari yang sebelumnya tak mempercayai segala penjelasanku.

Akhirnya, pramugari itu meminta maaf kepadaku, atas sikapnya dan kesalahan temannya yang telah membawa boarding-pass-ku. Aku hanya tersenyum getir, mataku melirik tajam padanya karena rasa jengkel di hatiku belum reda. Aku pun langsung masuk dan duduk di nomor kursi yang telah ditentukan.

Mesin pesawat berderu, siap lepas landas meninggalkan Dubai, dan terbang ke Kairo dengan waktu tempuh sekitar tiga jam. Aku ber-husnudzhan bahwa mulai hari ini aku jadi orang Mesir, tinggal di kota Kairo, dan resmi jadi mahasiswa Al-Azhar.

"Mesir... Egypt... Kairo... Al-Azhar... I'm coming..." Kata itu terucap dari hatiku yang dalam dan ikhlas.

Para pramugara dan pramugari mulai menjelaskan tata cara mengenakan sabuk pengaman. Mereka yang berwajah bule, bertubuh langsing, berhidung mancung, tampan dan cantik, dan yang suka tersenyum itu ternyata berbicara dengan dua bahasa, yaitu Inggris dan Arab, saat menjelaskan.

Ya Allah, andaikan saja dari tadi aku tahu kalau si pramugari tadi bisa berbahasa Arab, Insya Allah, khair deh. Aku kesal terhadap diriku sendiri. Itulah pentingnya bahasa. Dengan bahasa kita dapat mengguncang dunia dan dengan bahasa kita mampu mengelilingi dunia.

Hari itu juga, aku berjanji pada diriku bahwa aku harus bisa bahasa dunia dan akhirat, yaitu Inggris dan Arab. Bahasa Inggris adalah bahasa dunia, dan bahasa Arab adalah bahasa akhirat. Itulah alasan kenapa aku mengambil kuliah di Fakultas Bahasa Arab. Aku ingin menguasai bahasa dunia dan akhirat, dan ingin mengelilingi dunia.

By language we can shake the world.
By language we can go around the world.
By language world in our hands.
 
Kairo, 10 Desember 2014

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top