Bijaksana Dalam Berdoa
Oleh: Mulyadi M. Nur*
Seorang
murid bertanya pada sang guru dalam sebuah majelis:
"Ya
Syekh, bukankah doa orang yang terdhalimi itu tidak ada hijab? Kami sering
mendengar dalam khutbah-khutbah pada hari jum'at, sebagian khatib mendo'akan
kehancuran, mendo'akan kebinasaan, dan mencaci Bashar Assad atau
presiden-presiden diktator negara lainnya."
Terlihat
dari raut wajah syeikh perasaan kecewa saat mendengar pertanyaan tersebut dari
muridnya, tapi apalah guna seorang guru jika bukan untuk membimbing muridnya.
Beliau menjawab, "Wahai anak-anakku, biarkan mereka dengan apa yang
mereka katakan, kamu tidak mampu jika hendak mengubah para khatib itu. Tapi
ubahlah cara kita menyikapi dan memahami makna hadis Rasulullah bahwa doa orang
terdhalimi tidak ada hijab sehingga ketika nantinya kamu jadi khatib kamu tidak
ceroboh dalam berkata dan berucap. Bukankah sebaiknya kita doakan agar Allah
memberikan hidayah-Nya kepada mereka sehingga kediktatorannya digunakan kepada
penerapan syariat Allah? Mendoakan agar sifat keras dan bengisnya digunakan
untuk merobohkan setiap benteng musuh islam. Mendoakan agar sifat tiraninya
digunakan untuk mendapatkan kembali tanah haram kita yang ketiga, Al-Quds. Bijaksanalah
dalam bersikap wahai anak-anakku.”
Bukankah
ini lebih baik ketimbang kita mencaci dan melaknat diatas mimbar yang dimana
disana berdirinya sang pembawa Risalah Ilahi, yang memangku jabatan sebagai
utusan Tuhan, memikul beban umat sepanjang zaman, menjadi guru untuk seluruh
manusia hitam atau putih warna mereka.
Beliau seorang panglima yang dari
lisannya menyadarkan pemilik kekaisaran Romawi bahwa mereka tidak akan berdaya
jika berhadapan dengannya. Beliau juga seorang pemimpin yang dilindungi bukan
karena takut akan kekejamannya tapi karena dari pembawaannya yang tenang
dihiasi untaian senyum dibibirnya sehingga dicintai oleh para sahabat melebihi
kecintaan terhadap diri mereka sendiri. Beliau sang pemimpin yang setiap tetes
keringatnya menjadi kasturi umatnya, sang raja yang selalu menjadikan yang kuat
pelindung bagi lemah dan yang lemah selalu mendapatkan haknya. Beliau adalah Muhammad
Rasulullah Shallahu alaihi wasallam.
Pernahkah
kita dengar dari lisan beliau sebuah kata cacian? laknat? Jika tidak, kenapa
kita yang diberikan nikmat lisan para Nabi (khatib) menyimpang dari risalah yang
beliau bawa? Bukankah beliau selalu bertutur kata lembut? Kenapa kita
menafsirkan hadis Rasulullah bukan seperti yang beliau inginkan? Bukankah kita
para pembawa panji Rasulullah merupakan pewaris dari para sahabatnya? Karena
itu ubahlah sikap sombong kita menjadi penolong dan penabur kedamaian. Setidaknya angkatlah tangan kita dan menengadahlah ke langit dengan rendah diri dengan berkata :
"Ya
Allah, berikanlah kepada kami hidayah dan orang-orang yang hidup dengan kami
walau berbeda ras dan kulit, berpisah jarak lautan atau daratan, berbeda tingkatan
dan derajat, tinggikanlah derajat kami di dunia dan akhirat. Ya Allah,
tuntunlah pemimpin kami yang telah engkau berikan kepadanya kerajaan-Mu di bumi
kepada kebaikan dan integritas yang tinggi, karena Engkau memberikan kekuasaan
kepada siapa yang Engkau kehendaki dan mencabutnya dari siapa yang Engkau
kehendaki. Janganlah Engkau binasakan kami karena buruknya akhlak orang-orang
di sekitar kami. Berikanlah hidayah-Mu kepada mereka dan kami. Ya Allah Engkau
kuasa atas segalanya. Qudrah-Mu di atas segala qudrah, tidak ada tempat
berlindung kecuali dibawah payung-Mu dan payung Nabi-Mu. Jika Engkau tidak
melindungi kami sungguh kami berada pada golongan yang merugi. Kepada-Mu kami
bertawakal ya Allah Sang Pengasih dan Penyayang di dunia dan akhirat."
Lantas
adakah alasan lagi bagi kita kecuali sama-sama bermuhasabah dan berdoa yang
baik-baik? Kadang kita merasa benar padahal pada hakikatnya salah. Kemudian ketika
mendapat teguran dari orang lain yang kita anggap rendah dan sedikit pengetahuan
agamanya, kita enggan untuk bertaubat karena sombong dan angkuh. Dimana
posisi kita jika dibandingkan dengan Sayyidina Umar Ibnu Khattab yang setiap
waktu selalu menitikkan air mata hanya karena kekhilafan yang beliau lakukan. Padahal
khilaf beliau karena ijtihad yang beliau lakukan. Jika ijtihadnya salah
mendapatkan satu pahala dan jika benar mendapatkan dua pahala (satu pahala
karena melakukan dengan metode yang benar (manhaj islami), dua pahala karena
melengkapinya dengan ajaran Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah).
Cukuplah satu hadis ini untuk membuat kita sadar kenapa Islam bisa menaklukkan
kekaisaran Roma dan Persia pada masa sahabat Radhiallahu ‘anhum. Sedangkan
kita tidak melakukan apa-apa kecuali saling menghujat yang tiada akhir. Jangan
menyalahkan orang lain tapi salahkan diri kita yang tidak bisa melakukan
apa-apa disaat musuh agama datang dari segala penjuru.
Rasulullah bersabar dan
melarang malaikat menghancurkan penduduk Thaif saat mereka melempari beliau
dengan batu. Beliau berkata, "Aku berharap semoga Allah memberikan hidayah dan menjadikan dari
keturunan mereka orang-orang yang selalu mengingat-Nya. Ya Allah tunjukkanlah
hidayah kepada kaumku. Sesungguhnya mereka tidak mengetahui."
Masihkah
kita ragu untuk berdoa dengan doa yang baik? Rasulullah mendoakan yang
baik-baik kepada penduduk Thaif yang masa itu masih dalam keadaan kafir. Sedangkan yang kita doakan dengan keburukan sekarang adalah saudara kita sesama Muslim. Sungguh
Rasulullah tidaklah di utus kecuali untuk menyempurnakan akhlak. Mari
kita bijaksana dalam berdoa dan jangan sia-siakan doa kita dengan keburukan.
Ya
Allah hanya ini yang sanggup di jangkau oleh nalar pikiranku atas perkataan
ulama-Mu. Ini yang aku lihat dari pendirian serta keyakinan mereka yang sampai
pada pengetahuanku. Bimbinglah kami selalu! Aamiin. Waallahua'lam. 1)
*Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir Fakultas Bahasa Arab, Universitas al Azhar.
Posting Komentar