Manasik Haji, Wahyu Persatuan Umat
Oleh: Husni Nazir M. Amin, Lc*
Hikmah paling besar dari pensyariatan ibadah haji adalah untuk menjaga
persatuan umat Islam. Umat Islam sejak kelahirannya di kota Mekah 1.436 tahun lalu,
hari ini hampir mencapai dua miliar penduduk yang tersebar ke berbagai pelosok
belahan bumi. Untuk mempersatukan umat yang sangat besar ini, perlu sebuah
perkumpulan yang mampu mempertemukan mereka pada suatu tempat di waktu yang
sama.
Bukan hanya agama Islam, kebutuhan akan sebuah persatuan juga dirasakan
oleh setiap umat manusia di atas bumi ini. Tanpa sebuah persatuan mustahil
kepentingan bersama bisa tercapai. Presiden Amerika yang ke-16 Abraham Lincoln
ketika meredam perang saudara mengatakan, “A house divided cannot stand
(sebuah rumah yang terbagi tidak akan pernah bisa berdiri).” Kata-kata ini sebenarnya
berasal dari “United we stand, divided we fall.”
Bukti besarnya perhatian Islam terhadap persatuan, dalam Islam terdapat
tiga ibadah yang diperintahkan, dengan hikmah untuk menjaga keutuhan tubuh
Islam. Ketiga pilar ibadah tersebut adalah salat Jemaah, salat Jumat dan ibadah
haji.
Dalam kitab Fikih Manhaji karangan Syekh Mushthafa Al-Khin disebutkan,
bahwa banyak sekali ibadah yang disyariatkan untuk membangun persatuan di
antara umat Islam.
Dalam suatu tatanan masyarakat kecil, seperti dusun, kampung dan kemukiman,
Islam mensyariatkan salat jemaah lima waktu sehari semalam. Dalam ruang yang
lebih besar seperti kecamatan, kabupaten dan negara, Islam mewajibkan seminggu
sekali salat Jumat. Sedangkan antarnegara, Islam mensyariatkan ibadah haji.
Terkhusus ibadah haji, setiap tahun jumlah umat Islam yang berangkat ke sana
terus meningkat sangat signifikan. Data terakhir diperkirakan jumlah jemaah
haji tahun 2015 berkisar pada angka satu juta setengah. Angka ini akan terus
bertambah untuk tahun-tahun yang akan datang.
Melihat jumlah yang sangat besar ini, khususnya ketika mereka berkumpul di
Baitullah, atau di Padang ‘Arafah, spontan mengingatkan kita akan firman Allah
Swt. “Sungguh, (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu
(Al-Anbiyak: 92).”
Namun masing-masing kita pasti bertanya, dimana pengaruh dari jumlah yang
sangat besar ini, dimana hikmah ibadah haji sebagai pemersatu umat. Kenapa
perpecahan di jantung umat Islam semakin menjadi-jadi, di saat jumlah umat
Islam yang berkumpul di sana semakin hari semakin besar?
Sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Ramadhan Al-Buthi dalam buku
Tuntunan Manasik Haji karangan Syekh Taufiq Ramadhan Buthi anaknya, bahwa
banyak sekali umat Islam hari ini yang sebenarnya tidak menyadari hikmah haji
yang satu ini. Bagi mereka ibadah haji hanyalah amalan lahiriah saja.
Ketika umat Islam berjumpa di bawah naungan Baitullah, kita tidak bisa
membedakan satu dengan lainnya, seolah mereka adalah datang dari satu keluarga
yang sama. Perbedaan kulit, bahasa, profesi dan tanah air terkikis dengan
kautnya ikatan tauhid antara mereka. Namun, ketika mereka mulai berpisah dan
pulang berombongan ke negara dan tempat tinggal masing-masing, mereka melupakan
semua ini dan mulai menyibukkan diri dengan permasalahan juz-iyyah dan khilafiah
di antara mereka. Mereka memotong tali tauhid yang mengikat erat mereka dengan
pisau-pisau kedengkian yang berbenih dari pesaingan dalam mengumpulkan harta
duniawi.
Haji bukan sekedar ritual.
Perjalanan menuju Baitullah harus di pandu dengan hati yang peka. Peninggalan-peninggalan
sejarah Islam di sana seharusnya tidak hanya di kunjungi sebagai tempat
rekreasi saja. Akan tetapi yang diharapkan kita bisa mengambil pelajaran
darinya, untuk diterapkan ketika meninggalkan Mekah dan pulang ke tanah air
masing-masing.
Lihatlah Mekkah, lembah kering tempat lahirnya Islam yang kemudian menyebar
keseluruh dunia. Agama yang telah menghapuskan kezaliman kebudayaan Persia, Romawi. Tempat ini menjadi saksi bisu
yang akan terus merekam perjuangan umat Islam ketika mereka berjumlah sangat
sedikit. Hingga pada akhirnya Allah muliakan dan menjadikannya sebagai umat
yang kuat.
Di sana kita juga akan melalui Bathhâk,
tempat Bilal bin Rabah disiksa karena mempertahankan akidahnya. Meski berbagai
siksaan diterimanya, namun yang keluar dari mulutnya hanyalah, “ahad,
ahad (Tuhan yang satu, tuhan yang satu)”.
Kemudian juga lembah ‘Uranah di padang Arafah, tempat Rasulullah menyampaikan khutbah perpisahan di
depan lautan para sahabat ketika itu. Di sana Rasulullah menyampaikan pesan
persatuan yang harus senantiasa umat Islam ingat.
Dari atas kudanya Rasulullah Saw. berkhutbah,
“Wahai umat manusia, ketahuilah bahwa tuhan kalian adalah Tuhan yang satu, semua
kalian berasal dari Adam dan Adam berasal dari tanah. Tidak ada perbedaan
antara kaum Arab dan Ajam kecuali ketakwaan, janganlah kalian kembali kepada
kekafiran setelah aku tiada, sehingga kalian akan saling membunuh satu sama
lainnya.”
Di sana pulalah Rasulullah membaiat dan mengambil janji dari umatnya untuk
melanjutkan risalah Islam sampai hari kiamat datang. Amanah untuk menyampaikan
Al-Quran dan Sunah Rasulullah kepada generasi selanjutnya.
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Apabila kamu tidak
bisa menghadirkan kebesaran dan keagungan Allah, lalu dimana letak harga
zikirmu.” Syekh Mulla Ramadhan Al-Buthi dalam pengantar kitab yang tersebut di
atas menuliskan:
“Mereka yang berangkat haji terbagi ke dalam dua
golongan: Pertama, golongan yang pergi untuk sekedar wisata, melihat laut,
gunung, mekah, dan Ka‘bah. Perjalanan seperti ini hanya untuk memuaskan hawa
nafsu saja. Golongan kedua adalah mereka yang berangkat untuk memenuhi
panggilan Allah Swt. Mereka keluar dengan memakai pakaian penghambaan dan
kerendahan kepada Allah, baik secara lahir maupun batin.”
Haji yang dilaksakan seperti golongan kedua inilah
yang bisa memberikan bekas ketika musim haji selesai. Hanya dengan menghayati
setiap jengkal tanah Mekah dan Madinah, kita bisa mengembalikan semangat persaudaraan
dan rasa memiliki antar muslim. Dari sanalah akan terbentuk kebanggaan dan
syukur kita telah dilahirkan dalam agama yang sangat agung ini.
Kemudian perasaan-perasaan ini diharapkan mampu mendominasi
cinta harta, jabatan dan ketenaran. Dengan demikian kita akan memilih berdamai
dengan saudara kita muslim lainnya ketika terjadi perselisihan. Karena kita tau
tidak ada yang lebih berharga dari kita umat Islam selain agama Islam itu
sendiri.
Dan pada akhirnya, ketika masing-masing mampu
mewujudkan perasaan ini dalam kehidupan sehari-hari, otomatis akan menciptakan
keharmonisan, yang berujung kepada persatuan dan kekompakan umat.
Semoga.
*Mahasiswa Program Master Universitas Al-Azhar Jurusan Ushul Fiqh
Posting Komentar