Kopi Bang Dolah
Oleh: Farhan Jihadi
Rutinitas di sebuah warung kopi sangat ramai pagi itu. Aroma kopi arabika dari dataran tinggi Gayo menyebar hingga ke tengah jalan seakan mencoba merayu orang-orang untuk singgah sebentar, menyeruput kopi.
Suara penghuni warung tak kalah ramainya. Mereka sibuk dengan obrolan masing-masing. Suara mereka serupa suara lebah madu saat sarangnya dilempar. Berisik dengan nada berantakan, walau terkadang indah untuk didengar. Geliat warung kopi yang terletak di persimpangan desa itu mulai bernafas kembali semenjak beberapa tahun lalu, saat damai tiba di Aceh.
Pada masa konflik, warung kopi itu dulu pernah dibakar suatu malam oleh mereka yang disebut sebagai orang tak dikenal. Warung kopi Bang Dolah itupun hangus terbakar. Tak ada yang tersisa selain puing-puing kehancuran dan beberapa sendok kopi yang menghitam.
Setelah damai, sekarang kondisinya jauh berubah. Sekarang warungnya lebih luas dan tidak lagi berdindingkan kayu seperti tempo dulu. Dinding beton dibalut cat berwarna hijau muda membuatnya lebih cerah. Pengunjungnya pun sekarang jauh lebih ramai. Aura kebahagiaan memenuhi setiap sudut warung.
Seorang bapak dengan kaos hitam bergambar peta Aceh masuk warung. Sarung bermotif kotak-kotak melekat di pinggangnya. Tubuhnya tidak terlalu tinggi dengan warna kulit sedikit lebih cerah dari warna bajunya. Matanya tajam menatap sekitar. Semua orang di warung memperhatikan dan menyapanya dengan wajah penuh keakraban. Senyumnya mengembang lalu tertawa lepas saat Bang Dolah pemilik warung membisikinya sesuatu.
Hampir saja tidak ada kursi tersisa. Beruntung Bang Dolah menyimpan kursi untuknya. Ia langganan tetap warung kopi itu. Bang Dolah kemudian meletakkan sebuah kursi plastik berwarna hijau berdekatan dengan dapur peracik kopi sebagai tempat duduknya. Pagi itu ia lebih memilih duduk sendiri menolak ajakan beberapa kawan bergabung bersama mereka.
Katanya duduk dekat dapur peracik kopi lebih nyaman, lebih mudah baginya mencium aroma kopi. Alasannya klise, aroma khas kopi yang dipanaskan dalam suhu tertentu membuatnya nyaman.
Ia tak lagi asing bagi penduduk daerah itu. Orang-orang mengenalnya dengan nama Cek Mat. Dulu ia merupakan salah seorang kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ia bertanggung jawab terhadap salah satu sagoe (daerah), lebih tepatnya ia merupakan panglima sagoe. Sebagai panglima sagoe, ia bukan hanya disegani oleh kawannya sesama GAM tetapi juga ditakuti oleh Tentara Republik Indonesia.
Ia direkrut di sebuah pesantren tradisional pada saat seorang anggota GAM bersembunyi di asramanya. Di asrama pesantren itu ia menyatakan niatnya untuk bergabung dan membantu perjuangan Gerakan Aceh Merdeka. Beberapa tahun setelahnya, ia diangkat menjadi panglima sagoe untuk daerahnya.
Cek Mat memiliki sifat yang ramah dan mudah berbaur dengan masyarakat. Tak jarang ia juga sering membantu masyarakat. Cek Mat memiliki latar belakang pendidikan dan agama yang kuat dari pesantren tradisional sehingga terkadang ia juga mengisi ceramah-ceramah agama. Hanya sebagian masyarakat yang tau bahwa Cek Mat adalah panglima sagoe bagi daerah mereka.
Pada masa konflik, Cek Mat ialah salah seorang yang paling dicari. Itu terjadi setelah iring-iringan truk berisi puluhan pasukan tentara yang baru didatangkan dari Pulau Jawa diserang di daerahnya. Konon, belasan tentara baru tersebut tewas dalam serangan nahas itu. Cek Mat dan kelompoknya dituding sebagai dalang dalam kejadian itu. Tentara marah besar. Mereka menyusupkan mata-mata untuk mencari tahu sosok Cek Mat untuk dibunuh tapi ia tak pernah ditemukan. Masyarakat melindunginya.
Damai datang, ia kembali ke kehidupan normalnya. Ia memilih menjadi petani dan guru agama di desanya. Penghasilannya tak seberapa dibandingkan dengan teman seperjuangannya. Kawannya sesama GAM banyak telah sukses menjadi pejabat dan petinggi di beberapa daerah di Aceh.
Ia juga beberapa kali diajak untuk turun dalam dunia politik seperti yang digeluti oleh sebagian besar kawannya itu namun ia menolak. Sikapnya tegas. Ia lebih memilih menjadi masyarakat biasa. Jauh dari lingkar kekuasaan dan politik. Tiada seorangpun yang dapat membujuknya. Niatnya tidak berubah, sama seperti niat awalnya bergabung dengan GAM untuk mewujudkan cita-citanya melihat kehidupan rakyat Aceh menjadi yang lebih baik. Bukan untuk tujuan yang lain.
Tiada seorang pun yang dapat mengubah pendiriannya itu. Ia selalu punya jawaban menarik jika seseorang mengajaknya bergabung dalam dunia politik seperti saat Bang Dolah menggodanya di warung kopi itu untuk terjun dalam politik.
"Mat, jika kau mendaftar sebagai calon bupati atau seorang anggota dewan maka semua masyarakat pasti akan memilihmu. Saya yakin akan menang mutlak."
"Tidak Dolah, aku tau politik di negeri kita seperti apa. Sekarang lihat, para koruptor yang ditangkap itu dulunya mereka adalah aktifis dan sebagian lagi mahasiswa yang dulu aktif memperjuangkan hak-hak rakyat. Sekarang mereka menginjak-injak rakyat. Aku tidak ingin seperti itu Dolah," ujar Cek Mat menjelaskan.
"Tapi aku yakin kau tidak akan berubah, apalagi seperti mereka itu."
"Kau belum tau Dolah, coba lihat lagi kawan-kawanku di pemerintahan. Mereka mengkritik pemerintah sebelumnya tapi mereka sendiri lebih buruk dalam memimpin. Bahkan mereka melupakan janji-janji manis politik mereka dulu."
"Aku tidak mau suatu saat aku melupakanmu Dolah. Melupakan warga kampung ini. Ini suatu kejahatan besar bagiku Dolah. Apalagi jika sampai melupakan warung kopimu ini." lanjut Cek Mat menjelaskan lalu tertawa.
"Tapi katanya politik itu dapat mensejahterakan rakyat"
"Iya, ia dapat mensejahterakan rakyat tapi tak jarang menginjak rakyat dengan berbagai topeng termasuk memakai topeng kesejahteraan. Politik negeri kita itu seperti kopi hitam dalam gelasku ini. Gelap. Jika satu atau dua tetes susu kau celupkan dalamnya tetap warnanya hitam. Bahkan satu sedokpun belum cukup dan jikapun kau campurkan susu sebanyak kopi hitam ini warnanya akan menjadi coklat, tapi tidak dengan politik negeri kita. Ia tetap akan hitam. Kamu mengertikan maksudku Dolah...?"
"Ya, aku mengerti Mat"
"Taukah kau Dolah, karena kurang baik melekat, buah jatuh dari pohonnya. Karena ekonomi yang kurang baik, rupiah juga jatuh. Itu hukum alam namanya. Sekarang kita lihat politik. Lihat pejabat kita, mereka yang tidak bisa memimpin malah sekarang ngotot dan memaksa diri untuk naik lagi 2017 nanti sebagai calon pejabat. Antara pejabat dan penjahat dekat persamaannya di negeri kita. Tahukah kau mengapa mereka naik lagi Dolah. Apa tujuan mereka...?"
"Yang pasti mereka bukan mau kopiku Mat." Dolah menjawab sambil tertawa. Setelah kejadian itu, Bang Dolah tak lagi menggodanya untuk bergabung dalam politik. Bang Dolah harus menyerah, Cek Mat bukan tipe orang yang mudah dirayu jika tekadnya sudah bulat. Pendiriannya tak bisa digoyang apalagi dirobohkan.
"Kukatakan padamu Mat, harga kopiku hari ini tidak naik untukmu," bisik Dolah setiap Cek Mat melangkah masuk ke dalam warung kopinya.
Posting Komentar