Downtown



Oleh: Muhammad Najid Akhtiar
*pemenang juara I el Asyi Award cabang Cerpen pada peringatan HUT 25 el Asyi

00 WK. Aku masih di sini, di tengah keramaian Downtown yang tak kunjung sepi. Heran, kenapa sedini ini orang-orang masih berlalu-lalang seakan tak punya tempat untuk pulang. Dan yang lebih heran lagi, aku salah satunya. Tersesat? Tidak. Aku tidak tersesat. Medan ini lebih aku kenali bahkan daripada tanah kelahiranku sendiri. Dibanding kampung halaman di mana aku mengurung diri di kamar 4x4 sehari semalam tanpa alasan, tentu saja aku lebih kenal alun-alun ini tempat aku merayau kelintaran tanpa tujuan. Malah aku yakin penduduk sini sampai kenal aku siapa. Yah, walaupun tak kenal nama. Tapi tampang serta perawakanku pasti tak asing di mata mereka.


Puk! Tiba-tiba ada yang menepuk punggungku. Segera aku berbalik tidak terima. “Mau apa kau?!” tanyaku murka. Cari pasal? Gak tahu apa dia aku dulu pesilat Shorinji Kempo?! Tidak menjawab, lelaki besar berkumis tebal itu malah tertawa lebar. Tambah panaslah aku. Hampir saja aku sarungkan tinju ke ulu hatinya ketika di berujar: “Ma’leisy.” Untung saja aku sudah cukup profesional untuk menahan kepal tanganku. Kalau tidak, behh… 3 jam tak mampu berjalan dia.

“Bukan maksud aku mengganggu kamu saudaraku,” sambungnya. “Aku melihat kau sendirian di sini. Bolehkah aku duduk di sini menemanimu?”

Lumayan bagus juga bahasa fushha dia. Tapi aku sedang tidak berselera melayani dia, jadi cuma menggangguk mempersilahkan.

“Terima kasih. Perkenalkan, namaku Ahmad. Aku sering duduk di café itu di malam hari.” 

“Ana Muhammad,” jawabku singkat.

“Bagus sekali namamu. Nama terbaik milik insan terbaik. Ma sya Allah…”

“Rabbena yukhallik. Namamu bagus juga, walaupun tak sebagus namaku.”

“Hahaha… Tidak, tidak. Namamu dengan namaku itu howa-howa. Muhammad dan Ahmad itu sama. Maknanya sama walau pengucapannya beda.”

Aku tersengih. Tertawa untuk sekadar formalitas.

“Tapi aku ingatkan kamu. Kalau kau pencuri, lebih baik kau jauh-jauh sana. Aku sudah cukup berurusan dengan pencuri. Aku benci pencuri. Semoga Allah melaknat para pencuri.”

Sekarang giliran dia yang tertawa. Entah di mana letak lucu dari perkataanku tadi. Atau, dia ketawa sekadar formalitas juga?

“Tidak… Tidak wahai saudaraku. Demi Allah, aku bukan pencuri. Pencuri itu tidak bagus. Perbuatan ahli neraka. Kau tahu betapa kekasih dan teladan kita Muhammad Saw. membenci pencuri. Kau kenal Syekh Ali Gom’ah? Beliau juga membenci pencuri. Kau tahu, ada dua jenis orang yang aku benci di dunia ini, tiada tiganya. Pertama, pengkhianat. Kedua, pencuri. Aku berlindung kepada Allah daripada dua ini. Kau harus berhati-hati dari mereka wahai saudaraku. Berlindunglah engkau kepada Allah dari makar mereka.”

Aku mengangguk-ngangguk. Yaya, termasuk… Penguasaan materi dan retorika sudah bagus. Kalau saja kau tak membuang umurmu di café gak jelas begini, mungkin saja kau menjadi ulama besar seperti Syekh Ali Jum’ah. 

“Kau mahasiswa?” tanyanya lagi.

“Iya, mahasiswa.”

“Di Al-Azhar?”

“Iya.”

“Fakultas apa?”

“Fakultas Bahasa Arab.”

“Bahasa Arab? Ngapain kamu mengambil Fakultas Bahasa Arab? Mengapa tak kau ambil Fakultas Ushuluddin, atau Syariah Islamiyah, atau Dakwah? Itu lebih bagus untuk wafidin seperti kamu.”

“Aku suka saja. Biar keren.”

“Hahaha... Keren apanya? Kau menyibukkan diri belajar Bahasa Arab, sedangkan orang Arab sendiri sudah tidak peduli lagi dengan bahasa mereka.”

“Justru itu, ketika orang tak acuh, harus tetap ada yang peduli.”

“Hahaha…” dia tertawa lagi. “Kau benar. Kau benar. Kau memang keren.”

“Hah! Aku bilang juga apa,” sengihku bangga.

“Andai saja ada 1000 orang lagi sepertimu pasti Bahasa Arab mencapai masa puncaknya sekarang.”

“1000 orang? Kau terlalu banyak mujamalah. Masih banyak kok, orang yang peduli.”

Dia ketawa lagi. “Shadaqta ya akhi… Shadaqt.”

“Shadaqtu ‘ala eih? Bahwa kau banyak mujamalah atau bahwa banyak yang peduli.”

“Dua-duanya. Haha…”

Kali ini kami tertawa bersama. Bukan cuma dia sendiri. Bukan pula aku sendiri. Tertawa lepas. Bukan lagi tawa sekadar formalitas. Suasana hening beberapa lama.

“Rokok?” tanyanya menyodorkan Manchester miliknya.

“Tidak, terima kasih. Aku tidak merokok.”

“Bolehkah aku merokok?”

“Silahkan.”

Dia menoleh ke belakang dan meludahkan dahak pekat di kerongkongan, sebelum mengambil sebatang lalu meletakkannya di bawah kumis tebalnya. Kepulan asap keluar seakan membumbung menutupi pandangan. Kutahan nafasku mencoba memalangi paru-paru dari nikotin dan sahabat-sahabatnya yang durjana itu. Aku sebenarnya tidak suka rokok. Namun aku mengerti juga betapa hidupnya bergantung pada linting tembakau tersebut. Jadi, sudahlah.

Aku arahkan pandanganku ke jalanan. Downtown masih ramai seperti biasa. Walau jalan-jalan sudah mulai lenggang, tetapi kau bisa menjumpai bilangan manusia memenuhi café-café dan sudut-sudut perkotaan. Itu, coba kau periksa di sana, di balik kelam. Di sana juga pasti akan kau temukan orang. Orang hitam. Bukan, maksudku bukan orang Afrika hitam. Kumohon, jangan rasis! Maksudku orang hitam, para berandalan dan penjahat. Para pelaku kriminal yang bersembunyi di balik gelap menanti peluang untuk beraksi.

“Kau sendiri mahasiswa?”

“Tentu saja. Magister. Aku sekarang sedang menulis tesis. Dua bulan lagi munaqasyah insya Allah. Aku mohon doamu.”

Magister? Tesis? Munaqasyah? 2 bulan? Aku terpana. Aku betul-betul terpana. Coba saja kau lihat rupa dan gayanya. Kau pasti juga akan terpana. 

“Wallahi? Fakultas apa?”

“Fakultas Dar el-‘Ulum, jurusan Syariah Islamiyah.”

Astaghfirullah, keterlaluan sungguh sikapku. Tak terhitung sedari tadi betapa banyak aku berburuk sangka kepadanya. Ah, dungunya aku. Bukankah aku sudah tahu bahkan jauh hari sebelum tiba ke Bumi Kinanah ini, bahwa umat Mesir tak dapat dilihat dari penampilan. Tampan berdasi rapi bukan tentu seorang akademisi, demikian juga buruk berpakaian lusuh tidak pasti seorang pengemis. Yah, seperti calon master di depanku ini. Aku kembali terdiam. Tak mampu berkata-kata. Manakala dia menyambung kewajibannya menghabisi Manchester.

“Apa pendapatmu tentang As-Sisi?” tanyanya.

Aku tahu ke mana pembicaraan ini akan berujung. Sebenarnya aku tertarik untuk membahasnya. Tapi, tidak. Kita ada etika dalam berbahasa. “As-Sisi? As-Sisi siapa? Aku tak kenal siapa dia.”

“Presiden Mesir sekarang. Berkat dia Mesir kembali aman terkendali.”

“Oh, presiden Mesir. Tapi sudahlah, aku tidak mengerti apa-apa tentang politik.”

“Hahaha…” kembali dia tertawa disambut oleh batuk panjang berkandung kahak.

“Oke, oke. Saya mengerti,” sambungnya masih terbatuk-batuk. “Saya setuju dengan sikapmu. Kalian wafidin memang seharusnya tidak ikut campur urusan politik Mesir. Kalian tak perlu kenal siapa As-Sisi, siapa Morsi. Kalian belajar saja.”

Aku masih bungkam. Aku sebenarnya tidak setuju dengan pendapatnya. Namun sekali lagi, kita punya etika dalam berbahasa. 

“Ya nhar aswad, kalau kau perhatikan baik-baik keadaan dunia saat ini, kau akan sadar bahwa kita sedang berada di akhir zaman.”

“Iya,” jawabku singkat.

“Kau lihatlah fitnah bertebaran di mana-mana. Kau lihat propaganda Amerika untuk merusak citra Islam, menghancurkan ikon Islam di mata dunia. Kau tahu Da’ish? ISIS. Itu mereka yang buat. Amerika membuatnya untuk menanamkan doktrin di dalam otak manusia bahwasanya Islam itu teroris. Bahwa Islam mengajarkan penganutnya untuk menjajah seluruh dataran dunia hanya untuk kepentingan orang Islam. Bahwa Islam berasaskan kekerasan. Semoga Allah menghancurkan rumah mereka. Ma ‘andahusy mukh! Ma ‘andahusy dhamir! Mush keda walla eih ya Muhammad?

“Iya.”

“Padahal Islam agama yang sempurna. Agama yang menawarkan kedamaian. Agama yang menunjukkan ketenteraman hidup antar manusia. Tapi merekalah yang menghancurkan. Membuat umat Islam saling curiga dan berprasangka sesama. Semoga Allah melaknat mereka.”

“Iya.”

Dan kuliah tengah malam tentang fitnah akhir zaman pun berlanjut sampai menjelang fajar. Kembali aku dibuat kagum olehnya. Aku tak menyangka sebatang Manchester yang dihirupnya tadi dapat memberinya energi yang seperti tiada habisnya. Berapi-api dan berair-air. Berkali-kali aku mengangkat tangan menghentikan syarahannya yang sangat dahsyat. Bukan untuk bertanya, saudara. Ah, kau tahulah kenapa. Sampai akhirnya aku memberi jarak lebih satu meter darinya.

“Ada apa saudaraku?”

“Tidak ada, hanya saja…”

“Hanya saja apa?”

“Hanya saja mulutmu agak bau. Haha…”

“Ha… Itu hal biasa. Bau inilah yang akan memikat hati gadis Mesir nantinya. Haha...”

Kembali kami tertawa. Bangga pula dia. Aku tak tahu apa gerangan jawabannya jikalau kukritik tentang tampangnya. Tentunya setelah itu ia lanjutkan kembali khutbah akhir zamannya. Ketika azan Subuh berkumandang, aku bangkit mengajaknya shalat di Masjid Gharib, salah satu masjid favoritku ketika bertamasya di Downtown.

“Semoga Allah memberkatimu, saudaraku. Tetapi aku punya pengajian yang harus kuikuti setelah shalat Fajr di Husein.”

“Khairan ya Ahmad. Kalau begitu saya pergi duluan. Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.”

*****

Selesai subuh, seperti biasa aku duduk di bangku tua di shaf akhir masjid seraya membaca azkar shabah. Pagi ini aku merasakan tenang lebih dari biasanya. Tak kupungkiri, pertemuanku dengan Ahmad sedikit sebanyak berpengaruh juga pada kerahayuanku pagi ini. Aku keluar masjid dengan penuh khusyu’ dan ta’zhim. Alunan dzikir tak henti-hentinya menghiasi bibir. Dek, ini sedang masa takwa abang dek. Ah, andai adek sempat lihat.

Dengan senyum manis aku hentikan sebuah minibus.

“Darrasah?”

“Naiklah!”

Masih dengan efek slow motion kuseluk sakuku mengambil dompet. Dompet? Di mana dompet? Kurogoh semua kantong yang kupunya sekujur badan ini. Dompetku. Samsungku. Pencuri! Dia! 

“Nazzilni ya ‘ammo!”

“Fi eh ya basya?”

“Aku tak punya uang om! Kau mau ngantar aku gratis?!”

Mendengar kata-kata uang si om langsung berhenti. Tak peduli rutukan si om, aku beranjak lebih peduli akan rutukan dalam hatiku. Bangsat! Aku lari kembali ke tempat pertemuanku. Benar, tak ada apa-apa di sana. Café. Segera aku datangi café yang ditunjuk semalam. Aku temui lelaki yang duduk di meja kasir.

“Bollak, Ahmad fein?”

“Ahmad? Ahmad mein?”

“Ahmad yang duduk bersamaku di sana semalam?”

“Oh, dia Ahmad? Aku gak kenal dia. Imbarih awwil marrah asyufuh.”

Arrgghhh… Aku merutuk di dalam hati. Tak tahu sumpah serapah apa yang mau kukeluarkan. Karena hakikatnya aku memang tak pandai menyumpah. Aku terduduk. Tipu. Semuanya tipu-tipu. Namanya. Magisternya. Sidangnya. Ada pengajian di Husein? Omong kosong! Tertipu. Aku tertipu. Lagi.

*****

23 WK. Aku masih terjaga. Aku belum tertidur. Aku tak bisa tidur. Tidak tidur 39 jam tak lantas membuatku tertidur. Jangan tanya kenapa. Kau tahu kenapa. Total kerugian 4595 le. Isi dompet termasuk segala jenis kartu bolehlah 95 le. Harga dompet lupakan saja. Samsung Note IV-ku itu loh.

Omen, setelah berjuang menahan lapar 3 tahun lamanya. Tak ada lagi gadget untuk selfie. Tak ada lagi update berita dan gosip hot terkini. Tak ada lagi chatting-chattingan ria dini hari. Tak ada lagi. Setiap ada pertemuan aku akan salah tingkah sendiri karena gak punya hape untuk dicek setiap tiga menit sekali. Dalam bus aku akan bengong sendiri diajak ngomong oleh orang-orang yang gak dikenal. Kau takkan mengerti betapa tersiksanya!

Dan sekarang di sinilah aku, di atas kasur tipis bertelanjang dada kepanasan. Maaf saudara-saudara, bukan bermaksud pamer badan. Aku sudah tiga bulan tidak bayar uang listrik. Jadi no kipas angin, no penyejuk ruangan. Just like this menggeliat kepanasan. Dan ah, teringat lagi Samsung Note IV-ku yang kehilangan.

Masih terngiang di telingaku, betapa bencinya dia –jangan kau panggil dia Ahmad, dia bukan Ahmad- kepada pencuri. Dua jenis manusia yang dia benci tak ada tiganya. Bla bla bla.. Kutu karpet! Astaghfirullah.

Aku teringat kisah Abu Hurairah Ra. ketika ditugaskan Rasulullah Saw. untuk menjaga zakat fitrah. Seseorang datang mencuri sebagian zakat tersebut. Ketika ditangkap, ia memelas kasihan bahwa ia dan keluarganya sedang membutuhkan. Ia juga berjanji tak akan kembali lagi sehingga Abu Hurairah pun melepaskannya. Kala Abu Hurairah bertemu Rasululullah Saw., Rasul bertanya tentang si pencuri. Abu Hurairah menceritakan segalanya kemudian dijawab oleh Rasul: “Dia berdusta dan akan kembali.”

Kejadian ini berulang tiga kali berturut-turut. Pada kali ketiga, Abu Hurairah enggan melepaskan si pencuri itu lagi. Si pencuri berkata: “Lepaskan aku, akan aku ajari kamu satu kalimat yang bermanfaat.” “Apa itu?” Si pencuri lalu mengajarkan ayat Kursi untuk dibaca sebelum tidur. “Manfaatnya, Allah akan menjagamu dan setan tidak akan dapat mendekati kamu sampai pagi.” Abu Hurairah pun kembali melepaskan pencuri tersebut.

Rasulullah Saw. ketika mendengar hal itu bersabda: “Adakalanya dia itu berkata benar, meski aslinya dia itu pendusta. Tahukah kau dengan siapa engkau berbicara tiga malam ini?” “Tidak,” jawab Abu Hurairah. “Dialah setan.”

Aku tersenyum mengingat kisah Abu Hurairah, juga kisahku semalam. Hei, dia menceramahiku untuk berhati-hati dari para pencuri, serta ber-ta’awudz kepada Allah dari makar para pencuri. Dan ternyata, dialah pencuri.

Aku kembali tersenyum, lebih tepatnya memaksa bibir untuk tersenyum. Di balik itu semua, seharusnya aku sendiri yang mengintropeksi diri. Aku lengah. Aku terlalu percaya diri akan kemampuan bela diriku hingga aku pun terjengah. Dikacangin dengan keahlian mencurinya yang tanpa bayangan. Ingat baik-baik kawan, otot is always lose sama otak. Otot kekar memang keren. Tapi otak besar, itu lagi keren.

Tapi satu hal yang aku sayangkan dari perkataannya semalam. Andai saja aku masih diberi kesempatan oleh Allah untuk berjumpa dengannya. Andai saja dia tahu. “Padahal Islam agama yang sempurna. Agama yang menawarkan kedamaian. Agama yang menunjukkan ketenteraman hidup antar manusia.” Tapi orang seperti dialah yang menghancurkan. Membuat umat Islam saling curiga dan berprasangka sesama. Islam kini sedang dirusak oleh umat Islam sendiri. Semoga kita tidak termasuk di antara mereka. Semoga Allah memberi hidayah kepada mereka, juga kepada kita semua. Amin, Ya Rabb.





Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top