Pintaku di Atas Jabal Musa



Oleh: A'marel Basyiry
*pemenang juara III el Asyi Award cabang Cerpen pada peringatan HUT 25 el Asyi

Apa ini? dimana aku ini? Angan-angan apa ini? Di bawahku ada gunung tinggi bebatuan yang memukau.

Di atas gunung itu aku melihat rumah kecil yang mengeluarkan suara yang sangat merdu. Sedangkan di atas ku ada lautan biru mempersona, di dalamnya banyak ikan-ikan cantik yang memanjakan mataku.

Aku tepat berada di tengah keduanya, melayang dan terbang menikmati keelokan mereka. Sungguh halusinasi ini mengantarkanku khyalan tingat dewa.

“Moy… Moy… Moy…” Aku mendengar seseorang memanggil namaku. Panggilan itu merusak kesenanganku. Dasar.

Aku terjatuh. Tapi tidak ke bawah, melainkan ke atas. Tanganku mencoba menggapai sesuatu, tapi itu sia-sia.

BUAAMM… badanku terhempas ke dalam laut yang tepat di atas kepalaku tadi. Aku tenggelam. Ikan-ikan yang menawan tadi berubah menyeramkan.

Seluruh badan mereka diselimuti dengan duri, seperti bulu babi. Ikan-ikan itu menyerangku, menyakitiku dengan duri mereka. Aku merasakannnya, kaki ku ditusuk-tusuk kuat. Aku mencoba untuk menghindar, tapi aku tak berdaya.

Aku tak bisa mengelak, terpojok. Sakitnya bukan main. Aku ingin mengatakan sesuatu, seperti mereka ucapkan ketika keadaan bahaya. Iya… kata itu, ‘All…’, ‘All…’, tapi mulutku membisu, aku tak bisa melanjutkannya. Aku lupa, aku sudah lupa, apa yang harus aku lakukan.

“Rahmoy… bangun…!!!” PLAKK. Tamparan kuat menyambar pipiku, aku terkejut. Sekarang semuanya menjadi gelap. Aku sadar, aku sedang bermimpi.

Mataku terbuka perlahan, kulihat tangan Bima ingin menamparku lagi, aku tersentak dan langsung sadarkan diri. Ku lepaskan badanku dari rangkulan Bima. Aku tak mau tamparan tadi mengenai pipiku lagi, sakit tau.

“Allhamdulillah…” ucap Agung begitu nikmat.

“Gila kau Bim !! Orang pingsan kau tampar.” Ekspresi Agung berubah melihat aku yang kesakitan.

“Yang lebih gila itu kau, membangunkanku memakai jarum. Dasar sinting.” Cetusku kepada Agung. Aku melihat tangan kanan Agung memegang jarum. “Pasti dia yang menusuk-nusuk kakiku ketika pingsan tadi.” Dugaku kuat dalam hati.

“Ya… gimana lagi Brow… kau pingsan sudah terlalu lama, jadi ketika jarum ini menusuk ke kakimu, saraf-saraf pada kakimu akan merespon…” Ternyata dugaan benar.

“Ya ya ya… sudahlah.” Aku berdiri dan memotong pembicaraannya. Seperti biasa, ocehannya terlalu panjang untuk di dengar, malas.

Aku melihat anak tangga itu, ternyata tinggi. Wajar aku bisa bisa pingsan dan berandai-andai yang nggak jelas, gila.

Tadi aku terlalu semangat. Aku sangat bahagia. Aku mendapatkan penghargaan dari Sony Photography Awards 2016. Aku melompat riang. Tak sadar di belakangku ada tangga dan… huaahhh… kakiku kananku terpelekok anak tangga itu, badanku terguling 12 kali, kayaknya.

“Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Aku mendengar adzan dari hp Agung. Seperti biasa, aku pergi menjauh dari suara itu. Sungguh suara itu tak sedikitpun menyentuh hatiku.

“Rahmoy, kau mau kemana ?”

“Aku mau pulang, tidur !!!.”

“Kita sholat dulu !”

“Iya, ntar di rumah aja.”

“kalau sempat” aku menyambungnya dalam hatiku.

Tapi entah kenapa ajakan Agung kali ini sangat berbeda. Badanku seakan-akan ingin peduli, bergerak ikut dengan seruannya.

Betul sekali, ketika aku pingsan tadi, yaa… waktu itu aku sempat ingin mengucapkan nama-Nya, nama yang sudah lama, sangat lama tak pernah keluar dari dua bibirku. ALLAH...

Ahh... apa peduliku. Itu kan cuma khayalan bodoh tak berguna. Dasar Agung sok alim. Tampangnya mirip seperti orang kampung yang selalu menghalangiku. Pengen kujitak juga kepalanya. Yang penting aku masih percaya sama Allah, kalau sholat jangan sekarang, aku lagi sibuk.

Kupacu motor Satria F-ku pergi meninggalkan suasana yang menyesakkan itu. lebih baik di rumah, mendengar music metalica kesukaanku. Asyik.

Di dalam kamar badanku terhempas di atas kasur, aku terpelongok memandang langit-langit kamarku, hampa. Aku merasa apa yang kulakukan selama ini tak berarti, apa yang kugapai tak kumengerti. Padahal aku telah memiliki segalanya.

Musik, aku mahir bergagam macam alat music. Wajah, aku sering di kejar-kejar para wanita, mereka terkesima dengan ketampananku. Suara, aku adalah seorang penyanyi café, dan terkenal di kampusku. Ehhh… apalagi, ngg…. Oo yaa… Uang, nggak banyak sihh, tapi lumayanlah bisa hidup di Bali, punya motor, dan rumah (ngekos).

yang intinya apa ?, segala yang kuraih selama ini sangat memuaskan. Tapi itulah, seperti ada yang janggal dalam hati ini. Tidak merasa puas. Seakan-akan aku haus, tapi air yang selalu aku minum tidak menghilangkan rasa dahaga dalam tenggorokanku. Aku bosan, aku sangat BOSAAAANNN.

Tiba-tiba terpintas dalam benakku ingin menelpon kampung. Sudah 3 tahun aku tak berjumpa dengan keluargaku. Jauh setelah aku kabur dari rumah, aku tak pernah lagi berjumpa dengan mereka.

Aku rindu kepada Ayah yang selalu menasehatiku. Aku rindu sama Ibu yang selalu menyuruh memotong rambutku. Aku rindu kepada senyuman imut adikku. Aku rindu sekali kepada keluargaku. Ahaa… mungkin ini yang menjadi kejanggalan dalam hidupku.

Ahh.. bodo amat. Nggak mungkinlah, Aku yakin mereka pasti sudah lupa denganku. Apalagi ayah, huu… ke laut ajalah. Lebih baik aku mengurus diriku sendiri.

Kring… kring… suara hp-ku berdering. Nomor asing, tak ada namanya.

“Hallo, dengan siapa ? dan mau apa?”

“Hallo Rahmoy, apa kabar ?…”

“Ini aku Shinta. Moy, malam ini kita jalan yuk…”

“sialan, ternyata cewek centil yang biasa menggangguku” gumamku dalam hati.

“Sorry aku lagi capek, sekarang aku mau istirahat. Ok, bye…”

Tut… tut… tutt… aku langsung memutuskan pembicaraan. Dasar cewek sialan. Emangnya aku ini cowok apaan. Cuihh… ingin ku ludahi aja mukaknya.

Seperti yang kubilang tadi, wajahku tampan, banyak gadis Bali mencoba mendekatiku. Tapi tak satu pun dari mereka yang bisa mengetuk pintu hatiku. Aku pun tak tahu mengapa ?, seakan-akan ada seseorang yang selalu berdoa untuk menjaga kehormatanku.

Kring… Kring… Kring… hp-ku berbunyi kembali. Masih nomor asing juga. “Ini pasti cewek yang tadi” Emosiku naik.

“Sudah kubilang aku lagi isrirahat… !!!” bentakku kuat.

“Astaghfirullah…” kejar seorang laki-laki dari ujung telpon genggamku.

“Sorry salah orang, hehe… ini dengan siapa ?”

“hhmm… kami dari Sony Photography hanya ingin memberitahukan, bahwa para pemenang perlombaan kemaren akan pergi ke Mesir. Tolong persiapkan berkas-berkas anda. Sekian , assalamu’alaikum.” Tutttt…

Eeee… Yah… malah ditutup lagi, daasar. Ke Mesir… apa nggak salah, Mesir kan tempatnya… aduh… malas aku membahasnya di sini.

Coba ke Amerika, akan lebih ‘Woow’ bisa jumpa dengan band papan atas kesukaanku. Atau ke Paris, yang lebih indah pemadangannya. Atau ke Thailand ajalah, sebatas pengen ngomong sama mereka ‘suwadi khap khap lung’, kurasa itu lebih asyik dari pada ke Mesir. Betul nggak.

***

“Moy !!!” tok… tok… tokk…

“Iya… ada apa?” Aku membuka pintu, aku melihat muka Bima ketakutan, pucat.

“anu… si bocah alim di pukuli Moy” Bocah alim ?!... otakku langsung nyalar, dia pasti Agung.

“Di mana ?”

“Dekat nongkrongan anak-anak”

Kulaju kencang motorku untuk menyelamatakan anak itu. dia memang banyak tingkah, sok ngajari orang. Tapi aku yakin 100 persen, dia tak salah.

“Itu dia” mataku melotot tempat yang ditunjuk Bima.

“Kurang ajar, nggak seimbang, 6 lawan 1” Geramku.

Kami berusaha secepatnya menyusul, tapi telat. Agung sudah tergeletak tak berdaya, kepalanya berdarah. Aku melihatnya dari kejauhan, kepalanya di pukul keras dengan botol minuman. Preman gadungan itu langsung lari dengan kedatangan kami.

“Woowww… ------ (sensor), jangan lari…!!” Aku berusaha mengejar, tapi melihat Agung yang sekarat, aku tak tega.

Bima memegang kepala Agung, berusaha menghentikan darah yang keluar dari kepalanya. Darahnya tak henti mengalir. Aku panik, apa yang harus aku lakukan. Jangan sampai temanku ini mati.

Aku dan Bima saling berpandangan. Tubuh Agung lemas, bibirnya menjadi putih, sangat pucat. Desahnya berbunyi tiada henti “Allah…, Allah…, Allah…”

“Anak ini memang gila” Keluhku,

Tiba-tiba mobil sedan Toyota meleset di hadapan kami.

“Ayo… cepat masuk.” Kami tak mengenalnya. Aku tak peduli. Yang penting sekarang Agung selamat. Mobil itu melaju kencang menuju rumah sakit. Agung langsung di larikan ke kamar UGD.

“Aku kemaren membentak mereka, karena ketika Adzan Maghrib berkumandang, mereka malah main gitar sambil mabuk-mabukan. Aku tak terima, terus aku patahkan gitar mereka.”

“Dasar bocah edan, hampir saja nyawamu melayang.” Akhirnya, setelah 2 hari di rawat, aku bisa bercanda lagi dengan Agung. Orang baik yang pernah aku kenal. Ia lah orang yang pertama menolongku, ketika aku pergi kabur ke Bali dengan tangan kosong.

Tapi hanya sebentar, omelannya kian memanjang. Ceramahnya membuat aku bosan, malas. Ohh… Akhirnya, ia berhenti bicara, ketiduran.

Malam ini hati seakan terpanggil, untuk membentangkan sajadah. Nasehat-nasehat dari Agung selama ini perlahan masuk dalam benakku. Tau nggak ?!, bapak yang menolong Agung kemaren, sangat aneh brow…

ia begitu cepat menghilang setelah sampai di rumah sakit. Sepanjang perjalanan ia tak berbicara selain berbisik sendiri, kurasa ia sedang berdzikir. Tak sedikit pun ia melirik kami. Yang lebih seramnya lagi, ia memakai baju dan peci putih.

Hiihh… bulu kudukku meriang mengingat bapak itu, mistis. Kejadian yang menimpa Agung membuat hatiku tersedu. Hanya dengan mengucapkan kata ‘ALLAH’, manusia bisa menjadi keramat. Mungkin Allah bisa mengobati kehampaan dan kejanggalan yang aku alami.

Aku mencoba mengingat sedikit gerakan wudhu’. Muka atau tangan dulu ya…? Sialan, aku sudah lupa.

“Aisshh… di mana aku meletakkannya.” Aku membongkar semua rak bukuku, mencari buku panduan sholat. Hari ini aku harus bisa berwudhu’, nggak ada certia, harus bisa. Titik.

“Iya Pak…” aku mengangguk-ngangguk di hadapan Pak Kasman, Ustads daerah komplekku. Mulai kejadian yang menimpa Agung, hatiku bagaikan tersentuh embun di siang bolong, sejukkk. Aku meminta nasehat dari Pak Kasman di Mushalla.

“Jadi, kenapa kamu kabur dari rumahmu…?”

“Aku kabur karena ayah tak mendukung kemauanku.”

“Terus kenapa kamu ke Bali ?”

“Di Jakarta terlalu banyak mesjid, aku sering mendengar suara adzan Pak, berisik. Soalnya untuk apa mendengar adzan, sedangkan kita nggak sholat. Aku mencari tempat yang sedikit mesjidnya. Yaa… dan itu cuma ada di Bali.”

Pak Kasman menelan ludah, seakan-akan sampai ke tali pusat jantungya, seram.

“Apakah Allah masih bisa menerimaku Pak ?”

“Kenapa nggak, Allah itu benci sama dosa, bukan pendosa. Rahmat-Nya selalu terbuka untuk hambanya”

“Tapi badanku tatoan Pak, gimana aku akan sholat !!”

“Anak metal yang sholat, itu luar biasa, orang tatoan beribadah tulus pada Allah, itu baru mantap”

Pak Kasman mengajukan jempolnya tepat di hadapanku. Aku tersenyum, seakan melangkah lebih maju kejalan Allah.

Di setiap doaku, aku meminta ampun kepada Allah. Hati ini seakan diciptakan hanya untuk menyebut nama-Nya. Aku sedang mabuk, asyik berdzikir di atas sajadahku.

***


“Allhamdulillah… sampai juga.” Ehh… aku mulai ketularan sifat Agung. Negara Mesir nggak ada uniknya bagiku. Baru sampai di Mesir aku sudah tak tertarik, panas. Tak seperti digambarkan novel-novel, omong kosong.

“ngg… Mas, gadis itu siapa namanya…?”

“Ooo itu, dia istri aku”

Huk hk… hukk… aku tersedak mendengar ungkapan dari pria berkepala botak itu. Aku tak yakin.

“Bukan yang itu Mas, tu… yang make jilbab biru sedang baca Al-Qur’an”

“Ohhh… itu si Afifah, dari Aceh.”

Wihh… Aceh punya, cantik, mana hidungnya mancung lagi.

Huhh… huuuhhh, ampun… ampun.

Malam ini kami para pemenang Photography akan mendaki gunung Sinai. Katanya di situ tempat Nabi Musa berbicara dengan Allah, tempat mustajab untuk berdoa. Kami berangkat di malam hari, sampai sana ketika adzan shubuh. Begitu.

Aku harus ke sana. Tapi seperempat perjalanan aku kecapean, aku ketinggalan. Untung ada orang ada orang Mesir, sehingga aku tak tersesat.

Subhanallah, suara yang sangat merdu. Aku begitu khusyuk sholat shubuh di atas gunung Sinai. Ayat-ayat yang di lantunkan imam itu menggugahkan hatiku. Aku sampai ke puncak tepat ketika adzan shubuh berkumandang.

Setelah sholatku, aku berdoa, meneteskan air mata. Hatiku terbawa suasana.

Ya Allah… aku mengingat ayah. Aku rindu sama ibu dan Nisa, adikku.

“Tolong pertemukan aku dengan mereka Ya Allah…” Pintaku ikhlas pada-Nya.

Aku berniat dalam hati, setelah dari Mesir aku akan pulang ke Medan, jumpa dengan keluargaku. Berbakti pada orang tuaku.

Masya Allah, udara yang segar, pemandangan yang memukau. Sama seperti khayalanku ketika pingsan 2 minggu lalu, menakjubkan. Pagi hari di atas gunung tempat nabi Musa berbicara pada Allah. “Allahu Akbar” takbirku menggema dalam hatiku.

Sekarang aku baru sadar bahwa seseorang hanya akan merasa tenang apabila taat kepada Allah dan Rasulnya. Dulu, aku mencari popularitas, ingin terkenal. Tapi hasilnya apa ?, kosong, tak ada isinya.

Sepulang dari gunung Sinai, kami pergi ke kota Dahab. Di sana ada laut, keren dan cantik. Kawan-kawanku mengajak pergi untuk main, snorkeling di atas laut Blue Hole. Kedalamannya sampai 110 meter. Dan katanya tempat menyelam terbaik ke-2 di dunia, ahh… tapi aku tak tertarik.

Aku bersikeras tak mau ikut. Aku takut kakiku di tusuk oleh bulu babi, cukup dalam mimpi saja aku menderita. Tak mau ku bawa ke alam nyata.

Begitu banyak tempat yang kami jelajahi, luar biasa. Aku merasa puas. Sebelum pulang ke tanah air, kami singgah ke masjid Al-Azhar.

Allaaaahu Akbarr… air mataku mengalir sangat deras. Mungkinkah aku dalam mimpi, kucubit pipiku begitu kuat, sakit. Ya Allah… ini kenyataan. Allah begitu cepat mengabulkan permintaanku.

Di masjid Al-Azhar. Sumpah, bulan dan bintang pun dapat menyaksikannya. Aku berjumpa dengan keluargaku. Semuanya, Ayah, Ibu, bahkan Nisa. Aku memeluk mereka, terlebih kepada Ayah, aku rangkul kuat badannya. Bayangkan, penyesalan begitu dalam selama 3 tahun, Allah beri kesempatan pada hari ini, di masjid agung ini, untuk berjumpa dengan mereka. Subhanallah.

Ayah dan Ibu pergi umrah plus sekalian melihat Nisa yang ternyata kuliah di Mesir, Universitas Al-Azhar. Kami berbincang begitu banyak. Ayah sudah melupakan kejadian diantara kami. Alhamdulillah. Aku sangat senang ya Allah.

Obrolan kami terhenti. Aku tak tahu apa tujuannya. Ia menghampiri kami, aku tertegun. Itu Afifah, ia menyalami Ayah, Ibu juga Nisa. Terus bagaimana denganku ??, sedih… aku di kacangi. Ternyata Afifah adalah tetangga kami di Medan. Ia orang Melayu bukan orang Aceh. Bapak berkepala botak itu asal ngomong.

Senyumku melebar, seakan peluangku begitu besar, melihat perbincangan Afifah, Ibu dan Nisa begitu akrab. Ya Allah… apakah ini bertanda juga bagiku ?. ehmm.

Terima kasih ya Allah… engkau masih terima taubatku. Engkau masih mendengar doaku. Engkau terus menegurku. Tiada lagi yang aku pinta ya Allah… selain menjaga keluarga ini tetap bersamaku.



Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top