Mengulas Isyarat Tauhid dalam Surat Al-Baqarah (Bagian I)

*Oleh: Khalid Muddatstsir, Lc.

Image:Google
Tauhid merupakan perkara yang sangat urgen bagi kehidupan Muslim. Bagaimana tidak, keselamatan seorang Muslim di akhirat kelak sangat tergantung kepada keabsahan tauhidnya. Fakta dakwah Sayyidina Muhammad Saw. periode Mekah yang sangat menekankan kepada akidah Islam serta membumikan Laa ilaaha illa Allah menjadi bukti vitalnya peran tauhid.

Al-Quran sebagai kitab suci pedoman hidup manusia dipenuhi dengan ayat-ayat tauhid. Ketika mentadabburi Al-Quran akan didapati ayat-ayat yang mengindikasikan tentang keesaan Allah. Indikator yang mengetuk akal dan hati secara bersamaan yang membuat manusia semakin sadar akan keagungan Tuhan Yang Esa dan kelemahan dirinya selaku hamba.

Tak terkecuali Surat Al-Baqarah, surat terpanjang dalam Al-Quran berisi isyarat-isyarat kuat yang menegaskan tentang ketauhidan. Surat Al-Baqarah adalah surat Madaniyah yang ayatnya berjumlah 286. Rasulullah Saw. pernah mengabarkan tentang keutamaan surat Al-Baqarah, beliau berkata, “Janganlah kamu jadikan rumahmu seperti kuburan, sesungguhnya setan akan lari jika dibacakan surat Al-Baqarah.” (H.R. Muslim)



Penciptaan Semesta

Allah Swt. Berfirman dalam Al-Baqarah ayat 21-22:
“Wahai manusia, sembahlah Tuhan yang menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (21). Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu, dan langit sebagai atapnya. Dan dia menurunkan hujan dari langit, lalu dia menghasilkan buah-buahan sebagai rezeki bagimu, maka janganlah kamu menjadikan sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui (22).”

Allah Swt. Memulai ayat di atas dengan menyeru kepada semua manusia tanpa terkecuali. Mengajak mereka untuk menyembah-Nya yang menciptakan segala sesuatu. Juga mengajak mereka untuk tidak menyekutukan-Nya. 

Kenapa demikian? Allahlah yang telah menciptakan mereka dari ketiadaan. Alah yang mengatur semuanya sehingga kemudian menjadi sebuah gugusan manusia dari generasi ke generasi. Tidak ada manusia yang mengklaim punya andil terhadap penciptaan dirinya sendiri atau manusia lainnya. Tidak satu makhlukpun yang mengaku menciptakan semesta, karena yang demikian memang sebuah kemustahilan. Terus kenapa masih ada yang ingkar? Apakah mereka kehilangan kemampuan untuk memaksimalkan fungsi akal mereka? Wal ‘iyazu billah. 

Selanjutnya, jika manusia tidak menyia-nyiakan potensi akal yang dianugerahi Allah, mereka akan sampai pada kesimpulan bahwa Allah adalah al-Mubdi’ (Pencipta sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya). Sehingga jika dilanjutkan, akan sampai pada titik bahwa Allah itu Esa. Faktanya tidak terbantahkan kecuali mereka yang sudah tertutup mata hati dan tersumbat nalar pikirannya. 

Jika manusia mau melihat sekelilingnya mereka akan mendapati bumi yang terhampar luas, langit tanpa tiang yang tinggi menjulang. Juga awan yang menumpahkan air secara terukur dan teratur yang menyebabkan hamparan tanah bumi menjadi subur. Makhluk hidup dapat merasakan berbagai kenikmatan duniawi dari buah-buahan dan beragam jenis makanan. 

Sungguh yang demikian tidak mungkin diatur dan dilakukan oleh manusia. Karena jika itu adalah ulah manusia, sudah barang tentu manusia lain juga mampu (berpotensi) melakukannya disebabkan adanya persamaan unsur dan komponen yang menyusun mereka. Akal sehat manusia akan menafikan seluruh klaim demikian. Seluruh keajaiban semesta kembali ke satu muara, Allah Swt. Sang Pencipta. 

Kekuasaan Mutlak

Allah berfirman dalam Al-Baqarah ayat 107:
“Tidakkah kamu tahu bahwa Allah memiliki kerajaan langit dan bumi? Dan tidak ada bagimu pelindung dan penolong selain Allah.”

Ayat ini menyadarkan manusia akan posisinya sebagai hamba. Allah Swt. menegaskan bahwa tidak ada penolong bagi hamba selain-Nya. Semua kekuasaan adalah milik Allah. Allah adalah pemilik timur dan barat (Q.S. Al-Baqarah; 115). Kemanapun manusia berpaling baik dengan mata maupun dengan hati, maka ia akan mendapatkan Allah. Allah yang berbeda dengan Makhluk-Nya. Laisa Kamislihi Syai’un.

Adalah sebuah kebodohan mereka yang menuduh bahwa Allah mempunyai anak (Q.S. Al-Baqarah; 116), Maha Suci Allah dari yang mereka sangkakan. Kenyataannya seluruh makhluk adalah hamba Allah, tunduk kepada keagungan-Nya, patuh karena kesempurnaan-Nya, berada di bawah kekuasaan-Nya 

Tuduhan bahwa Tuhan mempunyai keturunan sangat bertolak belakang dengan keabsolutan dan kesucian Zat Allah dari perkara yang tidak layak bagi-Nya Subhanah. Selain juga berbenturan dengan akal sehat. Adalah sebuah kecacatan berpikir ketika di satu sisi mengakui-Nya sebagai tuhan, tapi di sisi lain menyamakan Ia dengan makhluk fana yang serba terbatas. Ini adalah kesesatan yang nyata. 

Bagaimana tidak, anak secara manusiawi membantu dan mengangkat martabat orang tuanya, menjadi penerus gen mereka supaya tidak terputus. Orang tua pasti membutuhkan kepada si anak di hari tua mereka, di masa uzur mereka. Apakah hal demikian yang akan disandarkan pada Zat Tuhan Yang Agung? Sungguh tidak layak. Allah Swt. lebih hebat dari hal tersebut. Itu adalah sebuah kekurangan yang tidak mungkin dimiliki oleh Zat Allah. 

Al-Iftiqar Alamatu Adh-Dha’fi, membutuhkan kepada sesuatu adalah tanda kelemahan, begitu kata ulama tauhid. Manusia membutuhkan yang lain karena mereka lemah. Makhluk lemah tidak layak jadi tuhan, karena Zat Tuhan pastinya Maha Kuasa dan tidak membutuhkan kepada siapapun. 

Nah, Jika demikian, dapat disimpulkan bahwa Allah tidak mungkin mempunyai anak (Maha Suci Allah dari sangkaan mereka). Karena jika itu terjadi, akan menghilangkan marwah ketuhanan-Nya. Berketurunan adalah ciri makhluk. Sedangkan Allah berbeda dengan makhluk. Sungguh sebuah kemustahilan sangkaan cacat tersebut. Wallahu A’lam.[]

*Alumni Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah dan Filsafat Universitas Al-Azhar Mesir. 

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top