Mahar Berduri

Oleh: Farhan Jihadi
rozana.fm
"Saya terima nikah dan kawinnya Fatimah binti Daud dengan mas kawin seikat mawar dibayar tunai," ucap Mahmud tegas. 



Para hadirin terlihat keheranan, sebagian berbisik-bisik, bagaimana mungkin gadis secantik dan secanggih Fatimah di negeri itu dinikahkan ayahnya dengan mas kawin hanya berupa seikat mawar. Hal ini tergolong sangat langka di negeri Achin, negeri tua yang bertetangga dengan Samudra Hindia itu hidup dalam tradisi dan adat yang kental, termasuk dalam tradisi pernikahan. Dan hal seperti ini tak pernah terjadi sebelumnya.

Kejadian yang hampir mustahil ini tentu saja membuat tamu undangan terkesima, seolah tidak percaya, belum lagi yang menjadi mempelai wanitanya bukanlah sembarangan perempuan. Adalah Fatimah, putrinya Tuan Daud, saudagar besar di ibu kota. Fatimah bukan hanya berparas cantik seperti ibunya yang memiliki garis keturunan Arab, ia wanita berpendidikan. Fatimah lulusan ilmu kedokteran di kampus bergengsi di Achin, sebelum akhirnya dipersunting Mahmud. 

Negeri Achin cukup kuat menjaga adat dan tradisi warisan leluhur, terutama dalam tradisi pernikahan dan pesta perkawinan. Mahar yang menjadi syarat nikah haruslah berupa emas yang berjumlah besar. Dalam tradisi keachinan, mahar itu barang gengsi yang tidak termasuk dalam kaidah tawar-menawar.

Dalam perkara mahar, Achin punya standar kuat. Seorang pemuda yang sudah cukup umur layaknya Mahmud misalnya, jika ingin mempersunting seorang gadis biasa lagi sederhana di negeri Achin, maka ia haruslah menyediakan mahar paling minimal senilai sepuluh mayam emas. Mayam adalah takaran resmi emas di Achin, satu mayamnya berkisar 3,3 gram emas. Sehingga jika saja satu mayam emas seharga 1,8 juta dalam nilai standar, maka sepuluh mayam akan berjumlah 18 juta rupiah. Walaupun perempuan negeri Achin terkenal berparas cantik dan terdidik, tetap saja menjadi beban berat bagi pemuda yang terlanjur memaklumatkan cinta dengan perempuan negeri itu.

Jadi, seandainya Mahmud atau siapapun pemuda yang ingin mempersunting gadis berparas cantik serupa Fatimah ditambah jebolan kampus terkemuka, putri dari keluarga terpandang seperti Tuan Daud, pemuda tersebut haruslah ikhlas menyediakan setidaknya dua puluh Mayam emas paling minimal. Dan ini belum termasuk seserahan, uang hangus, isi kamar dan segala tetek-bengek lainnya. Untuk itu, Mahmud tentu harus punya brangkas dengan isi rupiah lebih seratus juta.

Mahalnya mahar wanita Achin inilah yang telah menyebabkan krisis batin sangat mendalam bagi para pemuda dan perjaka di negeri itu. Terlebih, bagi pemuda yang juga mengalami krisis finansial pada waktu yang sama. Umur mereka semakin hari, semakin bulan, semakin tahun, semakin sulit diajak berkompromi dengan waktu.

Jiwa-jiwa yang sejatinya sudah sangat siap menghujani seorang wanita dengan kasih sayang seakan kian dipersulit mendapatkan wadahnya. Tradisi mahar ini telah membelenggu jiwa-jiwa kesepian. Mencerabut harapan pemuda untuk membina kisah cinta yang halal dalam ikatan suci pernikahan.

Maka sangat tak heran jika jamaah para undangan terkejut saat mendengar lafaz ijab qabul Mahmud yang hanya berupa seikat mawar. Jamaah bertanya-tanya, “Apakah Tuan Mahmud sudah hilang akal? Atau ia sedang ikut-ikutan membuat sensasi demi mencalonkan diri di Pilkada tahun depan?”

Namun begitu, kejadian langka ini tentu saja membuat sebagian undangan sedikit bernafas lega. Terdengar bisik-bisik di antara undangan berpendapat, sederhananya mahar putri Tuan Daud ini akan menjadi momen inspirasi bagi orang tua lain untuk menikahkan anaknya dengan mahar yang sederhana, sehingga dapat menurunkan angka kesendirian dan krisis kesepian yang semakin tahun menunjukkan persentase kenaikan di Achin.

Sebagian lagi punya pendapat berbeda. Mahar berupa seikat mawar yang sederhana itu juga turut menyebabkan sebagian kecil tamu undangan berpikir menyimpang. Mereka menganggap mempelai wanita tidak lagi suci sehingga dinikahkan dengan mahar demikian kecil, untuk menyamarkan hal itu digunakanlah seikat mawar agar terkesan romantis.

Meski begitu, mayoritas para undangan tetap berpikir positif dan menganggap ini akan menjadi prosesi akad nikah dengan mahar paling unik dan romantis yang pernah mereka lihat semasa hidup mereka secara langsung di negeri dengan tradisi ketat seperti Achin. 

***

Sementara para undangan sibuk dengan pikiran dan pendapatnya masing-masing, para saksi nikah masih saling berpandangan dan belum juga memberikan jawaban berupa kata "Sah". Mahmud harus mengulang lafaz ijab qabul, yang sempat salah. Sudah tiga kali nafasnya terhenti di kalimat "seikat mawar". 

Para tetamu undangan beserta sanak famili yang berhadir di mesjid terlihat mulai keheranan, Fatimah juga mulai khawatir. Banyak yang tidak mengerti detik-detik sakral seperti itu. Maklum, yang berhadir kebanyakan masih lajang nan bujang yang merapat bersama kelompok kesepian.

Jantung Mahmud berdegub kencang. Keringat tampak mulai terpancar keluar dari keningnya. Setelah menarik nafas panjang dan menghembuskannya, Mahmud berusaha bersikap tenang dan mencoba mengulang kembali:

"Saya terima nikah dan kawinnya Fatimah binti Daud dengan mas kawin seikat mawar yang diikat dengan rantai emas 50 mayam dibayar tunai," ujarnya, seperti laporan inspektur upacara kepada komandan upacara. Tegas.

"SAH!"

Fatimah anak gadis Tuan Daud kini sah menjadi istrinya. Ia kini sudah melewati satu anak tangga, dari fase mencintai menjadi fase memiliki. Wajah Mahmud yang terlihat gelisah tiba-tiba berubah begitu menyegarkan. Tenang dengan sedikit senyuman. Berbeda dengan tamu undangan, mereka masih belum bisa memahami dengan cermat proses akad nikah yang semula sempat dianggap akad nikah dengan mahar sederhana, seikat mawar. Mahar yang tadinya terkesan romantis itu kini hilang. Lenyap bersama angan-angan tamu undangan. 

Sebagian besar tamu undangan yang tadinya keheranan menjadi terkejut. Tamu undangan yang datang bersama kesendirian hidup, kini lemas, seolah waktu sedang berhenti di tempat. Tanpa kemajuan. Tamu undangan yang berharap menemukan belahan jiwa. Para pemuda lajang yang sudah berkepala tiga; kelompok duda dan pria beristri yang sempat berpikir ingin membuka cabang kedua; mereka semua terdiam, menelan ludah pahit dalam-dalam. Gairah kehidupan baru yang sempat mereka rasakan beberapa saat hilang. Menyisakan kebingungan. Sebagian memaki dalam hati. Sebagian lagi memilih bersabar, sabar yang menyakitkan.

"Heh, sudah kuduga. Mana ada wanita yang mau dipersunting dengan seikat mawar...?" Gerutu Agam, seorang diantara para undangan yang tadi sempat berpikir menyimpang.

"Haha, kalau seandainya kau yang menjadi wanita, kau juga pasti tak mau hanya diberi seikat bunga, kan. Kecuali bunga bank...?" Seseorang menyela sambil menghadap Agam.

"Bukankah perempuan suka diberikan bunga, bukankah hal itu terlihat indah, bukankah dan bukankah, hal itu romantis bukan...?

"Romantis...? Jangan terlalu naif Gam, jangan terlalu banyak menonton drama India apalagi Korea. Film mereka hanya menumpulkan panca indera, khususnya realitas akan cinta dan perasaan. Kita tidak hidup di dunia khayal mereka. Bagi sebagian orang, seikat bunga juga simbol bagi sebagian laki-laki yang belum siap serius atau seperti dangkalnya otak kotormu yang sempat beranggapan bahwa calon istri Mahmud tidak lagi suci."

"Tidak serius bagaimana maksudmu...?"

"Laki-laki yang serius bukan memberinya bunga tapi kepastian."

"Yah, itu sudahlah pasti. Bukankah bunga itu sebagai tanda cinta, sedangkan kepastian itu adalah komitmen...?"

"Tahukah kamu Gam, mengapa mahar wanita di negeri ini sangat mahal...? Agar suaminya nanti tidak mudah bertingkah kurang ajar terhadap istrinya. Ia pun pasti akan berpikir ratusan kali jika ingin menjatuhkan cerai kepada istrinya, apalagi setelah memberinya mahar yang banyak. Bukankah perbuatan halal yang sangat dibenci Allah adalah perceraian. Mahar yang besar bukan hanya untuk istri tapi bisa juga digunakan sebagai investasi bagi suami istri kelak jika dibutuhkan dalam keadaan mendesak."

"Bukankah Islam melekat kuat dalam tradisi negeri kita. Tidakkah tuan mendengar Sabda Rasulullah bahwa pernikahan paling berkah ialah pernikahan yang maharnya sedikit?. Seharusnya mahar juga disederhanakan seperti para sahabat Rasul yang dinikahkan hanya dengan mahar sepasang sandal, cincin besi, baju perang usang..."

"Apakah ada pemuda di negeri kita yang kecintaan dan ketangguhan imannya terhadap Islam seperti sahabat Rasulullah, Gam...?" Orang itu memotong kalam Agam dengan cepat, memutuskan kalimat yang belum sempurna terucap, lantas ia melanjutkan.

"Tahukah Kamu, mengapa anak perempuan dalam adat negeri ini mewarisi rumah dan disebut sebagai po rumoh, pemilik rumah? Itu agar jika ada keributan rumah tangga, maka bukan istri yang harus keluar angkat kaki dari rumah, melainkan suami. Adat dan tradisi kita terlalu menjaga kehormatan perempuan, Gam. Sudah sebijaknya bagi kedua pasangan untuk menjaga keharmonisan keluarga terutama suami, karena jika tidak, maka suaminya akan butuh modal besar lagi untuk melamar anak gadis lain di negeri ini," ujarnya sambil tersenyum kecil.

Di saat Agam sedang terlibat diskusi alot, Mahmud dan Fatimah terlihat sedang melakukan sesi pemotretan setelah prosesi akad nikah berakhir. Agam masih juga belum menemukan hubungan antara kehormatan wanita, mahar yang tinggi dan membina rumah tangga. Bagi dirinya yang masih hidup dalam kegelapan perasaan dan dihimpit kesendirian, sulit mengerti teori rumah tangga yang rumit.

Mahar yang tinggi di negerinya itu membuat Agam dan laki-laki senasib dirinya hanya bisa menghadiri upacara dan pesta pernikahan, lalu pulang bersama kesepian. Agam masih belum mengerti, kesendirian yang terlalu lama telah membuat jiwanya tidak lagi sejalan dengan adat istiadat negeri. Adat istiadat telah melukai hatinya.

"Bagaimana dengan cinta...? Bukannya yang lebih dibutuhkan manusia khususnya wanita adalah cinta. Bukannya mahar yang tinggi...? Agam bertanya lagi setelah sempat terdiam beberapa waktu.

"Cinta itu bukan ucapan tapi wujud pembuktian, seberapa banyak lafaz cinta yang kau ucapkan akan tidak berarti tanpa pembuktian. Dan itu tidak cukup dengan seikat mawar, bukan juga segenggam mahar. Tapi setidaknya mahar menjadikan laki-laki terlihat lebih serius, terlihat lebih mapan dihadapan wanita."

"Baiklah tuan, saya tidak ingin memperpanjang perkara ini. Anggap saja saya sedikit mengerti. Apakah Tuan juga menikah dengan perempuan dari negeri ini...?

"Tidak. Belum. Saya sedang mencari bunga, siapa tahu ada diantara tamu undangan itu. Mencari bunga itu seperti meminta hujan di musim kemarau. Harus sering berdoa dan shalat minta hujan yang banyak. Barulah turun hujan."

"Apa hubungannya Tuan...? tanya Agam penasaran.

"Kalau enggak ada hujan, bagaimana mungkin bunga bisa tumbuh dan mekar"

"Hah....? Janganlah Tuan tunggu hujan turun, kita bisa tanam sendiri dan siram sendiri. Setelah itu barulah berdoa agar dia tumbuh dengan baik dan mekar dengan indah," kata Agam, ia melanjutkan.

"Tapi, saya rasa bukan itu masalah tuan. Saya rasa tuan juga belum berhasil mengumpulkan mahar seperti halnya saya," kata Agam mantap. Pria itu menunduk lama. Tak ada lagi jawaban. Tak ada lagi pembelaan. Kalimat terakhir itu menusuk dengan tepat. Kali ini Agam menang. Telak.

***

"Allahu Akbar... Allahu Akbar..." Azan Zuhur terdengar menggema mengisi seluruh lapisan perut mesjid termegah di negeri Achin. Alunannya beriringan, bersamaan saat seseorang menyentuh pundak Agam.

"Gam, Gam, Gaam," orang itu mulai menggoyang pundak Agam. "Bangun Gam, bangun. Lagi Azan, acaranya sudah selesai."

"Maharnya berapa Mat?" Rahmat terdiam saat ditusuk tajam pertanyaan tiba-tiba yang begitu cepat, ia tak berkata apapun. Alis tebalnya terangkat, dahinya berkerut. Rahmat mengingat-ingat maksud pertanyaan kawannya yang baru saja terjaga.

Melihat kawannya kebingungan, Agam mengulang pertanyaan. "Berapa mayam emas mahar Fatimah, Mat...?

"Seikat mawar"

"Serius...? Cuma seikat mawar, tanpa mayam emas. Yang benar saja Mat...?"

Rahmat mengangguk beberapa kali lalu berkata "Makanya kalau lagi prosesi akad nikah, Kau jangan tidur, jadikan pelajaran. Khususnya bagi jomblo dosis tinggi kayak dirimu itu, Gam."

Agam bangun dan tidak lagi memperdulikan ocehan Rahmat, berjalan menjauh. Agam terlalu senang, batinnya gembira. Hatinya terhibur, wajahnya tersenyum. Ia berharap akan ada orang tua lain yang terinpirasi dari sikap saudagar kaya seperti Tuan Daud dan membuat pemuda lain seperti dirinya mudah melamar seseorang.

Agam melangkah keluar mesjid. Mesjid megah berwarna dominan putih dengan kubah hitam itu sudah terlalu banyak menyaksikan sejarah. Dari sejarah cinta raja-raja dan penduduk negeri, hingga sejarah kelam Perang Belanda. Mesjid yang masih tegak berdiri itu juga masih dipaksa menyaksikan perang cinta melawan tradisi dan adat istiadat yang menyatu kuat dengan mahar yang tinggi.

"Tahukah kau Baiturrahman, hari ini cinta telah menang melawan tradisi." Begitulah batin Agam ketika menatap mesjid itu seakan berbicara dengannya. Ia berdiri gagah bak jendral perang Belanda yang baru saja mengalahkan serdadu negeri Achin di perang besar dulu.

Dari kejauhan Rahmat masih melihat Agam tersenyum sendirian di luar mesjid. Apa yang sedang dipikirkan Agam tidak seorangpun tahu, tidak juga dengan Rahmat. Ia hanya menatap kawannya itu dengan keheranan lalu berujar pelan.

"Agam bodoh. Benarkah ia tidak tahu bahwa maharnya Fatimah berupa seikat mawar yang diikat rantai emas 50 mayam? Biarlah, nanti dia juga akan tahu sendiri. Seharusnya dia ikut jejakku, nulis di Steemit, atau jika Bitcoin sudah diharamkan, kuyakin dia cocok jadi Youtuber, siapa tahu bisa kaya mendadak."[]

Baca juga cerpen lainnya: Gadis Apartemen Seberang 

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top