Iskandaria, Saksi Bisu Puncak Peradaban Dunia

Ilustrasi Perpustakaan Iskandaria Lama (Sumber: Crystalinks)


Oleh: Teuku Rizki Maulana Utama*

Sejarah adalah hal yang menarik untuk diungkapkan. Berbagai misteri secara tidak langsung menuaikan bermacam-macam alur kotroversial yang mestinya kita telaah dan cari kebenarannya.

Terjadinya perang antara ilmu pengetahuan dan mitologi tentu adalah sebuah saksi sejarah dimana banyak sekali penyelewengan-penyelewengan yang terjadi, akan tetapi hanya sedikit dari sekian banyaknya penyelewengan tersebut yang dapat diketahui.

Meski perang yang terjadi di antara dua kubu tersebut selalu dimenangkan oleh ilmu, tidak berarti bahwa konfrontasi antara kedua belah pihak tersebut selalu dimenangkan oleh ilmu pengetahuan. Carl Sagan, seorang ilmuwan dan astronom terkenal, menuturkan bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan telah tampil dengan kukuh sekitar tiga abad sebelum masehi di Iskandaria Mesir, sebuah kota yang didirikan oleh Iskandar Agung dari Macedonia. Berkat jiwa terbuka dari Iskandar Agung, kota yang memungut namanya itu segera menjadi pusat ilmu pengetahuan bagi umat manusia.

Kekayaan Iskandaria yang terpenting dan paling mengagumkan ialah perpustakaannya yang penuh dengan buku-buku ilmiah. Dalam perpustakaan itu untuk pertama kalinya umat manusia mengumpulkan dengan penuh kesungguhan dan secara sistematis pengetahuan apapun di dunia ini.

Selain itu di Iskandaria tampil banyak ilmuwan yang masyhur. Seperti Hiparchus yang mencoba membuat peta konstelasi bintang-bintang dan mengukur tingkat cahaya bintang-bintang. Lalu Euclidus penemu sebenarnya ilmu ukur atau geometri. Kemudian Dionysius yang meneliti organ-organ suara manusia dan meletakkan teori tentang bahasa. Dan Herophlius ahli fisiologi yang menegaskan bahwa organ berfikir manusia bukanlah jantung seperti yang diyakini saat itu melainkan otak, dan masih banyak lainnya ahli-ahli ilmu yang muncul pada saat itu.


Ada pula Hypatia, seorang wanita ahli matematika dan astronomi yang mati terbakar bersama perpustakaan dan segenap isinya berupa buku-buku ilmiah di atas papyrus bertulis tangan sebanyak sekitar setengah juta buah setelah tujuh abad didirikan.

Peristiwa yang sangat tragis dan ironis. Siapakah dalang di balik semua itu? Tidak lain adalah orang-orang fanatik dari kalangan para penganut agama mitologis. Kalangan kaum Nasrani yang menurut Ibnu Taimiyah mengubah agama al-Masih itu, sehingga penuh dengan dongeng atau mitologi yang berwatak tidak ilmiah.

Hypatia lahir pada tahun 370 Masehi pada saat masyarakat manusia pada umumnya menganggap bahwa wanita tak lebih berharga dari harta benda. Di masa hidupnya Iskandaria sedang di bawah kekuasaan penuh Romawi, dengan sistem perbudakannya yang mengancam kebebasan manusia. Saat itu Gereja Kristen juga sedang mengkonsolidasi dirinya dan mencoba untuk mengikis habis pengaruh dan budaya pagan.

Hypatia berdiri persis di pusat kekuatan sosial yang hebat itu, dan mulailah ia dituduh yang bukan-bukan. Namun Hypatia tetap bertahan dan tetap mengajar dan menulis, sampai pada tahun 415 M, dalam umur 45 tahun, ia dicegat oleh segerombolan kaum fanatik Kristen lalu dibakar bersama perpustakaan agung bersejarah itu.

Sama halnya seperti pada tahun 1543, Copernicus menerbitkan makalahnya tentang jagad yang berpusat pada matahari (heliosentris). Melawan ajaran Genesis bahwa jagad raya berpusat pada bumi (geosentris). Lalu muncul Galileo setengah abad kemudian dengan teleskopnya meneguhkan pandapat Copernicus dengan Heliosentrisnya. Dan pada tahun 1616 Galileo dihukum karena dianggap melawan ajaran yang benar.

Itulah contoh dari ketidakadilan dari menangnya mitologi atas ilmu pengetahuan. Kalau saja perpustakaan Iskandaria tidak menjadi korban fanatisme, maka barangkali Einstein sudah tampil lima abad yang lalu. Atau mungkin malah seorang Einstein tidak pernah ada, sebab perkembangan ilmu pengetahuan yang menyeluruh sudah terjadi. Dan mungkin saja pada abad kedua puluh Masehi, sedikit saja umat manusia yang masih tinggal di bumi, karena sebagian besar telah menjelajah dan mengkoloni di bintang-bintang.


Bangunan Perpustakaan Iskandaria Baru, diresmikan April 2002.

Kalau pada tahap sekarang ini kita baru akan masuk era globalisasi dengan adanya kemudahan transportasi seperti pesawat jumbo, maka jika seandainya pusat ilmu di Mesir itu tidak dibakar kaum fanatik dan warisan ilmiahnya berkembang terus, kita sekarang sudah memasuki era antar bintang (instellar era).

Tapi itu hanyalah pengandaian yang sangat spekulatif, dan faktanya pengandaian itu tidak akan pernah terjadi. Perpustakaan Iskandaria telah habis dibakar. Waktu terus berlalu dan generasi telah berganti. Tentunya kita harus bersyukur dari apa yang sudah dibawa dan diwariskan oleh para pendahulu. Dan kini tiba masa kita, mewujudkan apa yang telah tertunda.[]


Referensi:
 Islam Doktrin dan Peradaban, Dr. Nurchalish Madjid


*Mahasiswa tingkat I Universitas Al-Azhar, Fakultas Syari'ah wal Qanun.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top